Menurut tradisi platonik yang bersumber pada aristoteles akal dibedakan menjadi dua yaitu akal praktis dan teoritis, akal teoritis merupakan akal rasional yang lebih bersifat intelektual meski tidak terpisah dari akal teoritis pada kebijaksaan inilah akal praktis bersumber. Akal praktis juga ditentukan oleh kepemilikan habit, kecenderungan etis yang merupakan hasil dari latihan perilaku baik dan buruk.
Filosof yang menulis di bidang ini, termasuk Al-Kindi, Abu Bakar Al-Razi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibn Miskawaih, Nasr Al-Din Al-Thusi, dan sebagainya  — umumnya selalu membahas daftar sifat baik dan sifat buruk. Dalam daftar sifat baik ini biasanya tercakup: moderasi (ta‘dîl), yakni sifat pertengahan dalam segala hal dan perkawanan (dengan anak, pasangan, kerabat, masyarakat, dan seterusnya). Ibn Sina, misalnya, merinci sifat-sifat baik itu ke dalam: kesabaran, keberanian, kebijaksanan, kedermawanan, kemurahhatian, kesediaan memaafkan, keteguhan hati, kerendahhatian dan kesetiaan pada janji. Mudah diduga bahwa lawan dari sifat-sifat itu identik dengan sifat-sifat buruk. Setelah itu, biasanya diungkap teknik-teknik menanamkan sifat-sifat baik dan melakukan terapi atas sifat-sifat buruk.
Selain membahas etika baik-buruk, tema kebahagian juga mendominasi disertakan dalam pembahasannya. Masalah ini di mulai dengan pembahasan unsur-unsur yang menyusun kebahagiaan seperti apa itu kebahagiaan ? Apa yang menyebabkan orang bahagia ? Para filosof muslim biasanya membagi tiga tingkatan kebahagiaan: pertama, kebahagiaan yang bersifat badani. Kedua, kebahagiaan yang lebih tinggi dan memuaskan yaitu kebahagiaan yang bersifat intelektual. Yang ketiga kebahagiaan spiritual atau kebahagiaan illahi. Puncak dari kebahagiaan ini yaitu kecintaan kita kepada Tuhan. Ibnu Miskawaih mencirikan tanda-tanda bahwa seseorang itu bahagia sebagai berikut: penuh energi, optimistis, penuh keyakinan, tabah/ulet, murah hati, memiliki sikap istiqamah, dan rela (qanâ‘ah). Mudah diduga bahwa sifat-sifat baik mendukung pada peraihan kebahagiaan dan sifat-sifat buruk menjauhkan orang darinya.
Pembahasan yang tidak terlewatkan juga yaitu pembahasan tentang apa saja yang merusak kebahagiaan, termasuk kehilangan milik kita yang berharga seperti kehilangan orang-orang yang kita cintai dan harta. Serta perasaan takut mati.
Terapi terhadap orang yang memiliki gangguan kebahagiaan ini umumnya mengambil bentuk apathea, yakni pelepasan dari keterikatan dan kesibukan duniawi dan jebakan-jebakan nafsunya. Juga kesadaran bahwa musibah dan hal-hal yang tidak kita inginkan sudah merupakan sifat bawaan atau kodratullah penciptaan dan dengan demikian orang harus siap menerima dan menghadapinya. Sedang takut akan kematian adalah kesadaran bahwa kematian adalah niscaya dan itu membawa kita pada keadaan yang lebih tinggi. Ada adagium tentang ini, "ketika kita hidup kematian belum datang dan ketika kematian datang kita sudah tiada".
Itulah ulasan mengenai nilai pokok filsafat islam yang dapat kita pelajari. Dari membahas Ontologi, esensi dan substansi yang terkait dengan proses meng-ada (eksistensial). Lalu, epistemologi proses pencarian untuk dapat mengetahui tentang meng-ada itu baik wujud maupun maujud. Sehingga kita dapat mengidentifikasi nilai dan dampak dari pengetahuan tentang meng-ada itu (aksiologi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H