Mohon tunggu...
Dayangsumbi
Dayangsumbi Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Musik, Filosofi

Blogger Writer and Amateur Analys, S.Komedi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Humanisme dalam Interaksi Hubungan Manusia dengan Digitalisasi Algoritma

30 Desember 2021   10:19 Diperbarui: 22 Mei 2022   15:18 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Digitalisasi mulai menyebar di segala lini kehidupan mulai dari perekonomian, pendidikan, bahkan kesehatan. Digitalisasi mulai membaur di kehidupan kita sehari-hari. Digitalisasi selalu di inisiasi dengan prosedur terstruktur dari algoritma yaitu input, process, output. Digitalisasi yang telah membaur ini apakah memiliki nilai-nilai humanisme dalam perkembangannya.

Apakah digitalisasi ini berdampak positif pada humanisme atau malah sebaliknya ? Apakah digitalisasi yang di inisiasi algoritma ini memiliki keindependenan ? Apakah adanya algoritma yang independen ini merupakan perwujudan Tuhan baru bagi manusia ? Apakah Algoritma ini suara Tuhan ?

Kita bahas satu-persatu, di mulai dari apa itu digital algoritma ? Algoritma pertama kali diciptakan oleh seorang tokoh yang bernama Abu Ja’far Muhammad Ibnu Musa Al-Khawarizme, menurutnya algoritma adalah serangkaian metode yang tersusun untuk menyelesaikan sebuah persoalan.

Dalam buku Algoritma dan Pemrograman, digital algoritma merupakan sederetan instruksi (dalam Bahasa yang dimengerti komputer) yang mengatur apa-apa yang harus dikerjakan oleh komputer untuk mendapatkan ouput keluaran yang diharapkan sesuai yang kita inginkan.

Algoritma bisa disajikan dalam bentuk model Bahasa atau pun Pseudocode dan dalam bentuk visual yaitu Flowchart. Ada pun Unified Modelling Language yaitu sebuah bentuk metode algoritma visual yang terdiri dari simbol-simbol yang terstruktur guna membuat alur kerja yang dibuat berdasarkan input, process untuk menghasilkan sebuah output yang diharapkan.

Kita telah mengetahui sedikit dasar-dasar dari digitalisasi algoritma, yang kesimpulannya adalah metode-metode yang terdiri dari Bahasa maupun simbol-simbol yang dibuat berdasarkan input, process dan output untuk menyelesaikan sebuah persoalan yang diharapkan hasilnya sesuai keinginan kita.

Bagaimana dengan Humanisme ? Humanisme jika ditelusuri dari jurnal-jurnal yang membahas secara epistemologi dan historis berakar dari Bahasa latin yaitu humus yang berarti tanah atau bumi. Lalu, istilah itu berkembang menjadi homo, manusia (makhluk bumi) dan humanus yang lebih menunjukan sifat yaitu membumi atau manusiawi. Istilah yang senada lainnya adalah humilis, yang berarti kesederhanaan dan kerendahan hati.

Humanisme klasik berbicara tentang keyakinan dasar bahwa manusia adalah makhluk kodrati atau adikodrati (diluar kodrat alam). Namun, gerakan humanisme ini baru muncul dan digagas pada abad pertengahan lebih tepatnya pada zaman renaisans.

Intinya, Humanisme menunjukan sebuah aliran yang mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik serta semangat manusia dalam menghidupkan rasa perikemanusiaan. Paham yang menganggap manusia sebagai objek studi terpenting.

Begitulah sedikit pengertian tentang apa-apa yang kita ingin bahas. Apakah digitalisasi berdampak positif bagi humanisme atau sebaliknya ?

Digitalisasi nampaknya seperti perkakas yang biasa kita gunakan dan memiliki nilai bercabang atau bahasa lainnya yaitu bermata dua, memiliki nilai-nilai positif dan negatif tergantung pengguna dan untuk apa digunakan. Tetapi, sebagaimana perkakas (benda) yang merupakan sebuah objek yang memiliki esensi dan eksistensi untuk apa dan mengapa itu berada dapat pula dirumuskan. Dalam buku “ The Question Concerning Technology “ Menurut Filsuf Martin Heidegger, “ Dimana pun kita tetap tidak bebas dan akan terikat dengan teknologi. Apakah kita dengan penuh semangat menegaskan atau menyangkalnya. Tapi, hubungan itu akan menjadi bebas jika kita terbuka terhadap eksistensi manusia kita pada esensi teknologi. Ketika kita menanggapi esensi ini, kita akan dapat mengalami teknologi dengan batas-batasnya sendiri. “

Menurutnya ada 4 faktor yang dalam sejarah filsafat selalu menjadi acuan. Pertama, causa materialis. Kedua, causa formalis. Ketiga, causa finalis. Keempat, causa efficiens.

Causa Materialis, penulis mengandaikan bahwa penyebab material atau materi dari adanya digital algoritma ini adalah kemampuan manusia itu sendiri dalam menggunakan digital algoritma, tetapi ini masih dipertimbangkan. Menurut penulis pengandaiannya begini materialis merupakan bentuk materi, causa materialis, penyebab atau bahan dasar material (kebendaan). Sedangkan manusia itu sendiri adalah bentuk materi meski pun pikiran yang menggerakkan. Walaupun, hal itu merupakan perdebatan dalam filsafat antara akal itu bagian dari fisik atau sebaliknya maupun yang menganggap bahwa entitas keduanya tidak terpisah. Tetapi, pikiran yang sudah diejawantahkan menjadi tindakan-tindakan penggunaan maupun pembuatan digital algoritma. Itu sudah menjadi sesuatu yang berbentuk materi ( being Mater ) yang menurut etika Kant sudah termasuk dalam tindakan moral dan jika melakukan tindak kriminal akan dikenakan hukuman..

Causa Formalis, pengandaian dari ini ialah suatu iktikad dari manusia itu sendiri dalam pemanfaat kemajuan zaman terutama digitalisasi algoritma itu sendiri. Untuk apa itu dibuat dan untuk apa menggunakannya.

Causa Finalis, dalam hal ini kita juga dengan sepenuh hati menyadari eksistensi (being for) dan esensi baik manusia itu sendiri maupun dari digitalisasi algoritma ini. Dampak dari hubungan yang ditimbulkan dari kemajuan teknologi yang pesat ini terutama digitalisasi algoritma terhadap manusia itu sendiri maupun lingkungan disekitarnya. Singkatnya seberapa besar dampak yang ditimbulkan dari interaksi manusia terhadap digitalisasi algoritma ini pada manusia itu sendiri maupun pada lingkungan.

Causa Efficienshal ini membawa dampak final dari interaksi manusia dengan digitalisasi algoritma. Seperti, seberapa berguna dan dibutuhkannya hal ini serta dampak dari seberapa besarnya ketergantungan kita terhadap digitalisasi algoritma.

Interaksi dari manusia dan digitalisasi algoritma baik dari eksistensi (being for) dan esensi dari hal ini itu sesungguhnya bernilai sangat humanis, contoh-contohnya seperti untuk pengelolaan data dan sumber daya supaya cepat dan mudah disajikan pada pengguna demi kepentingan kebutuhan menyelesaikan persoalan baik dalam proses kerja maupun kegiatan lainnya. Dalam kata lain supaya manusia dapat meminimalisir waktu dan efisiensi dalam kerja. Sehingga manusia dapat memiliki waktu lebih lama bersama manusia lainnya dalam bersosialisasi dan membagi kasih serta mengistirahatkan tubuhnya dalam menjaga metabolisme tubuh. Meskipun dilapangan masih ada penyimpangan-penyimpangannya.

Kesimpulannya Algoritma membantu kita dalam mengambil keputusan di pelbagai persoalan karena algoritma menyajikan data yang terstruktur dan sesuai klasifikasi yang dibutuhkan sehingga manusia dapat meminimalisir kekeliruannya dan waktunya dalam mengambil keputusan. Sangat begitu humanis bukan ?

Kita telah mengetahui esensi dan eksistensi dari interaksi manusia dengan Digital Algoritma ini. Selanjutnya kita masuk kepada pertanyaan, Apakah Algoritma menghasilkan dan menyajikan data yang independen ?

Dalam algoritma terdapat berbagai metode, salah satunya yaitu Naïve Bayes Classifier. Metode ini merupakan metode yang menggunakan probabilitas dan statistika dalam pengklasifikasiannya. Metode ini dikemukanan oleh Thomas Bayes, Ilmuwan Inggris. Ciri utamanya adalah asumsinya sangat kuat akan independensi dari masing-masing kondisi atau kejadian.

Namun, menurut Oslon Delen dalam metode ini menghitung probabilitas menggunakan syarat bahwa kelas keputusan adalah benar dengan mengingat vektor informasi objek. Algoritma ini juga mengasumsikan atribut objek adalah independen sehingga probabilitas yang terlibat dalam memproduksi perkiraan akhir dihitung dari “master” tabel keputusan. Sehingga salah satu ciri Algoritma yang baik dan benar yaitu memberikan output yang benar dan akurat serta cepat dapat dimiliki.

Teori ini jika dipakai untuk mencari probabilitas lebih baik mana, percaya atau tidak percaya kepada Tuhan. Ini juga dapat menentukan kita memilih untuk percaya. Menurut Pak Fahruddin Faiz, jika ada dua kemungkinan dalam hati kita dalam keraguan percaya atau tidak dengan Tuhan kita dapat menggunakan teori ini.

Probability

Believer

Non - Believer

There’s God

Fortunate

No Fortunate

There’s Nor-God

Fortunate

Fortunate

Kemungkinan bernilai 2 – 1, 2 keberuntungan untuk yang percaya. Sedangkan untuk yang tidak percaya hanya memiliki nilai 1. Ini menggambarkan bahwa menyakini adanya Tuhan dalam pandangan yang pragmatis sangat menguntungkan.Namun, Jika kita memandang Tuhan dalam kemungkinan yang hitung-hitungan ini menurut beberapa Agamawan sangatlah tidak etis. Tetapi, untuk mereka yang baru akan percaya pada Tuhan, para agnostik maupun Non – Believer secara samar mungkin saja dapat mempertimbangkannya karena "tidak akan rugi bagi orang yang didalam hatinya ada keimanan seberat biji-bijian"

Tetapi, Algoritma yang independen ini efektifnya hanya mengambil atau menginput data dari pengalaman di masa lalu (data). Algoritma yang diasumsikan independen ini Apakah merupakan perwujudan Tuhan baru bagi manusia ?

Pertanyaan yang begitu mengejutkan, lagi-lagi nampaknya tidak mungkin menjadi perwujudan Tuhan baru. Bahkan dapat kita lihat bahwa ini merupakan jawaban bahwa manusia seharusnya belajar dari masa lalunya, pengalaman terdahulu.

Informasi yang dikumpulkan menjadi data tersebut, pengalaman-pengalaman berharga di masa lalu yang dikumpulkan dapat di klasifikasikan untuk membuat keputusan dalam pelbagai persoalan di masa yang akan datang.

Seperti mempelajari kisah-kisah dan hikmah yang ada di dalam sebuah kitab suci, kitab peradaban untuk menjalani hidup agar hidup tak jatuh pada kesesatan atau kekeliruan dan kesalahan yang sama. Seperti kata Goethe, “ Orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya.”

Namun, nampaknya kalau sebagai perwujudan Tuhan baru ini tidak mungkin, atau mungkin saja berhala baru. Pastinya saya tidak tahu apakah rasa kebutuhan itu sama dengan menyembah pada selain Allah. Kalau sama, berarti ibu-ibu dan para koki serta kita telah menyembah berhala baru yaitu kompor untuk memasak. Hehehehehe

Kesimpulannya, Algoritma digerakan oleh sebuah mesin yang menjadi alat pentingnya untuk bekerja (process). Lalu, algoritma sendiri menyimpulkan (output) dari jumlah data terbanyak dan terpenting dari masa lalu kita yang tersedia atau di input (data). 

Jika dipenghujung abad ke-8 ada pernyataan “ Vox Populi Vox Dei ” ( Suara terbanyak adalah suara Tuhan ) yang dikemukakan oleh Alcuin dalam suratnya kepada raja Charlemagne. Lalu, ada “ Deus ex Machina “ ( Tuhan hadir untuk mesin ) pada teater-teater Yunani kuno. Apakah pada abad ke-21 ini akan ada pernyataan, “ Deus ex Algorithmus “ 

Bagaimana dengan Tuhan hadir untuk digital algoritma mungkin jawabannya adalah banyaknya kemunculan media-media dakwah ASWAJA yang mencerahkan umat dan juga Cyber Army dari kalangan non pemerintah terutama dari ormas islam. DI awali oleh banser dan sekarang MUI pun memilikinya. Kehadiran media dakwah yang menitikberatkan pada ke objektifan ilmiah merupakan taman surga bagi para pencari keberkahan ilmu. Mencari ilmu secara langsung pada majelis-majelis ilmu pada saat ini memang tidak dimungkinkan karena adanya sebuah pandemic, tetapi hal itu tidak menyurutkan para pencari ilmu untuk mencari keberkahan ilmu. Tetapi, apakah sama ganjaran keutamaan dan keberkahannya dengan hadir di majelis ilmu secara langsung ? saya tidak tahu jawabannya. Juga Kehadiran Cyber Army dalam kalangan ormas islam, ini juga untuk menekan berseliwerannya informasi-informasi yang merugikan islam itu sendiri, seperti islam ekstrem dan para teroris. Kehadiran keduanya merupakan angin segar bagi kenyamanan dan kedamaian umat islam, terutama dalam menggalah keberkahan ilmu yang semakin mudah yang juga berdampak bagi persatuan dan kesatuan dalam menjaga toleransi beragama. Pada pertanyaan terakhir apakah Algoritma menjadi suara Tuhan merupakan pertanyaan terakhir yang akan menjadi bahan muhasabah kita masing-masing. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun