Mohon tunggu...
AjiK KojjeK
AjiK KojjeK Mohon Tunggu... karyawan swasta -

www.belajarsejenak.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rukun Yukkss!!

21 Juli 2015   10:35 Diperbarui: 21 Juli 2015   11:37 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuhan yang dimiliki semua agama, tidak lain ya cuma satu. Emangnya ada tetangganya Tuhan, atau Tuhan ada lebih dari satu? Seperti dalam sila pertama Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tuhan yang Esa itu ya cuma satu. Pada perjalanannya saja orang dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda. Perbincangan dalam tulisan ini bukan dalam rangka membahas agama tertentu atau aliran kepercayaan tertentu. Tulisan ini mencoba menemukan mekanisme dari agama dan Tuhan.

Agama merupakan isu yang sensitif bagi kita semua, sehingga membicarakannya sebagian menganggapnya tabu. Maka dari itu tulisan ini tidak mengarah pada agama tertentu, meskipun pada prakteknya orang kemudian akan merefleksikan pada agamanya masing-masing.

Agama dan Tuhan bagi kita tentu sudah menempati ruang tertentu didalam batin kita. Sehingga tulisan ini pun tidak akan mengusik tatanan di dalam ruang batin kita. Hanya saja sekedar memberikan pembanding, memberikan peta pemahaman baru, siapa tahu saja, terpakai.

 

Beberapa dari kita menjadikan agama hanya sebagai alat dan metode menuju Tuhan, ibarat mau bepergian ke suatu tempat dia mau milih memakai pesawat, kapal atau bis atau alat transportasi yang lain. Jadi jangan heran kalau ada yang memilih jalan kaki, tidak memakai alat apapun untuk menuju Tuhan. Tapi beberapa yg lain menjadikan agama sendiri sebagai tujuan. Agama dia sembah, dia puja dalam kadar kefanatikan yang mendalam sehingga kalau ada agama lain dianggapnya "Tuhan" lain yang harus diberangus. Jadi inget kata kawan: "adillah sejak dlm pikiran". Jadi agama berposisi apa dalam hidup kita? Sebagai alat? Sebagai cara/metode? Atau sebagai tujuan? Atau bahkan barang mainan? Atau komoditas? Atau apa? Lagi-lagi posisioning agama di dalam benak kita, pada perpanjangannya akan menentukan sikap kita dalam kehidupan sehari-hari. Efek lainnya, sebagai umat beragama seberapa rentan kita kemudian untuk diadu domba, kenapa domba? Bukan adu singa? Atau adu jago? Sebab sebagai manusia kita umumnya malas belajar. ‪#‎akuding. Pelajari saja kenapa kok domba?

Dalam setiap agama, pasti ada pola dimana ada kulit, ada daging ada tulang sebagaimana anatomi manusia. Kalau dalam buah mangga ada kulit, ada daging, ada tulang (bijinya:peloknya). Dalam durian juga ada kulit, ada daging dan ada tulangnya (bijinya: ponggenya). Pola kulit; daging dan tulang ada dimana-mana. Begitu pula agama. Bayangin saja kalau yang dimakan kulitnya. Ya kalo agamanya seperti jambu air, yang kulitnya ikut dimakan tidak masalah, lha kalau agamanya macam buah durian, alhasil banyak umat yg mulutnya berdarah, akibat makan kulit agama yg seperti durian. Sederhananya, perlakuan umat terhadap agamanya, ya kalau kulitnya tidak enak ya jangan dimakan. Apalagi cuma makan kulitnya. Bahwa ada juga dagingnya. Ada juga bijinya, nah kalau sudah sampai bijinya, bisa ditanam lagi, agar tumbuh, lagi yang baru. Dan tidak perlu merasa buahnya paling enak. Semua mengemban fungsi masing-masing. Dan satu hal, "jangan sibuk beragama sampai lupa Tuhannya", begitu kata kawan. Beragama yg baik adalah beragama yang berbuah dan buahnya berguna bagi kemaslahatan umat manusia.

Cita-cita dan harapan sebagai pemeluk agama, dan merupakan akhlaq didalam agamanya masing-masing dimana kalau di Islam ada istilah “rahmatan lil alamin.” Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam. Alam disini tentu saja mencakup gunung, sawah, air, laut, pohon dan tentu saja termasuk manusia pemeluk agama lain didalamnya. Makanya bukan “rahmatanlil muslimin” (khusus umat Islam) saja tapi “rahmatan lil alamin”. Bukankah indah hidup bermesraan antar umat beragama. Bukan pada urusan aqidah kita bekerjasama, bukan pada ritual keagamaannya, tetapi dalam kehidupan bertetangga, berbangsa dan bernegara, dalam kehidupan bermuamalah kita semua bisa saling bekerjasama. Saling merasakan keindahan didalam beragama. Agama benar-benar berfungsi sebagai “pembawa kabar gembira” bagi siapa saja. Sudah terlalu banyak energi sejarah yang dihabiskan oleh umat manusia yang bertengkar atas nama agama. Akankah kita menjadi penerusnya atau menjadikannya pelajaran sehingga kedepan yang kita rintis adalah kerukunan antar umat beragama, kebersamaan didalam “mempercantik bumi”, kebersamaan didalam membina cinta kasih antar umat manusia. Semampu kita, kita bina cinta antar sesama, diantara lingkaran kecil kita, keluarga kita, teman bermain kita, teman kantor kita, tetangga kita, sokor-sokor sampai kondisi bangsa kita, mau duduk bersama, mau bersilaturahim antar satu dengan yang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun