Eksistensi ekonomi Islam belum begitu dikenal pada sekitar tahun 1950-an apalagi berbentuk sebuah konsep yang termasuk dalam kriteria bangunan disiplin ilmiah. Ketika itu, sedang berlangsungnya zaman keemasan ideologi ekonomi sosialisme dan kapitalisme sehingga sistem ekonomi Islam masih belum bisa menunjukkan eksistensinya sebagai sistem yang kental dengan muatan keadilan dan kebersamaan, walaupun sebenarnya pada masa awal sejarah perkembangan Islam abad ke-7, Islam sudah memiliki sistem ekonomi yang difungsikan sebagai pengatur aktivitas ekonomi.
Melayani masyarakat banyak daripada hanya segelintir elite, di persimpangan sejarah perjalannanya, semakin menunjukkan arogansi hegemoni yang membabi buta. Hak-hak kepemilikan individu dinafikan dengan dalih atas nama kebersamaan sehingga pada akhir riwayatnya, justru menjadi sebuah boomerang tersendiri yang menjungkirbalikkan sistem sosialisme ke arah kehancuran.
Akhir-akhir ini kritik terhadap ekonomi konvensional semakin nyaring terdengar dari berbagaikalangan, termasuk dari para ekonom sendiri. Beragam kritik yang dilontarkanbukan ditujukan epistemologisnya, melainkan justru karena kekhawatiran padakecenderungannya menuju sofistifikasi keilmuan, di mana ia dianggap sudah”sempurna”. Akan tetapi, di balik kesempurnaan itu ilmu ekonomi semakinmenampakkan karakter mekanis dengan menciptakan teori-teori dan rumus-rumusmatematis guna menjelaskan berbagai fenomena sosial masyarakat, sehingga tanpasengaja telah terjadi reduksi besar-besaran terhadap fakta sosial manusiasebagai pelaku ekonomi yang sejatinya memiliki sifat dinamis.
Berbagai ahli ekonomi muslim memberikan definisi ekonomi islam yang bervariasi, tetapi pada dasar nya mengandung makna yang sama yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang , mengansalisis dan akhirnya menyelesaikan permasalahan – permasalahan ekonomi dengan cara yang islami. Dalam pandangan islam ilmu pengetahuan adalah suatu cara yang sistematis untuk memecahkan masalah kehidupan manusia yang berdasarkan segala aspek tujuan (ontologis) metode penurunan kebenaran ilmiah (epistemologi) dan nilai – nilai (aksiologi) yang terkandung pada ajaran islam.
Aksiologi yang dipahami sebagai teori nilaidalam perkembangan nya melahirkan sebuah polemik tentang kebebasan pengetahuan terahadap nilai atau yang bisa di sebut sebagai netralitas pengetahuan. Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang di dasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih di kenal sebagai value bound. Terkait dengan pendekatan aksiologi dalam ilmu ekonomi islam maka muncu llah dua penilaian yang yaitu etika dan estetika[1]. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masala – masalah moral. Moral menempati posisi penting dalam ajaran islam, sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW “ sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan aklhlak” .
Moralitas islam di bangun atas suatu postulat ibadah (rukun islam) artinya bahwa moral ini lahir sebagai konsekuensi dari rukun iman dan rukun islam. Semakin tinggi keimanan seseorang, keyakinan itu akan diikuti dengan pengetahuan dan perbuatan yang bersesuaian. Untuk bisa mengembangkan ilmu ekonomi islam maka perlu adanya hukum untuk mengatur para pelaku ekonomi dalam mengembangkan ekonomi islam supaya berjalan sesuai nilai atau moral yang sesuai dengan syari’ah.
Maka, hubungan antara asksiologi dengan penerapan maqashid asy - syari’ah di dalam ekonomi islam sangatlah tepat, di karenakan kedua – dua nya membahas nilai atau moral sebagai tema pembahasan utama nya. Adanya lima pokok tujuan syari’ah di dalam maqashid al-syri’ah itu merupakan pengejewantahan dari ada nya aspek aksiologi di dalam ekonomi islam itu sendiri.
Masuknya teori maqashid asy-syari‟ah dalamwilayah ekonomi Islam dapat ditemukan secara langsung dalam landasan etika.Para pelaku ekonomi tidak hanya dituntut untuk dapat menguasai sumber-sumber ekonomi yang strategis tetapi juga memanfaatkannya untuk kepentingan umat dengan mengacu pada kemaslahatan dharuriyah, hajiyyah, dan tahsiniyyah. Dengan demikian, bagi kajian ekonomi teori maqashid asy-syari‟ah adalah salah satu usaha logis yang wajib diterapkan sebagai konsekuensi dari pemahaman ekonomi yang berkeadilan di satu sisi dan berketuhanan di sisi lain.
Selain itu, kemudian akan dipahami kemaslahatan sebagai kebutuhan manusia termasukjuga dikaitkan dengan lapangan ekonomi akan mengikuti teori-teori ekonomi yang sesuai dengan pencapaian visi dan misi Islam dalam hal ini, Survei-survei perkembangansoaial dan kondisi real dalam masyarakat serta inferensi tekstual harusdijadikan acuan dalam menentukan strategi ekonomi
Secara singkat ketentuan di atas dijelaskan sebagai berikut: untuk menyelamatkan harta, Islam mensyari‟atkan hukum-hukum mu‟amalah dan menjalankan aktifitas ekonomi disamping melarang langkah-langkahyang merusaknya seperti kecurangan. Ketentuan ini tentunya berkait dengan ketentuan untuk memelihara jiwa karena tujuan menjalankan aktifitas mu‟amalah juga bertujuan memelihara kehidupan.
Kemudian ia juga berkait dengan ketentuan menjaga keturunan secara tidak langsung. Berkaitan secara langsung dengan ketentuan menjaga agama karena nilai-nilai dasar dalam hukum mu‟amalah diambil dari dasar agama yang bersifat universal. Sementara ketentuan untuk menjaga harta ini juga berkaitan dengan ketentuan untuk menjaga akal karena kecenderungan untuk memuaskan kebutuhan hidup secara berlebih-lebihan membuat orang kehilangan akal
Demi melancarkan tujuan menjalankan aktifitas ekonomi dibutuhkanlah berbagai fasilitas bela harta. Misalnya perbankkan, lembaga pegadaian, lembaga asuransi, baitul maal wattamwil, dan sebagainya. Tanpa lembaga ini, kegiatan pemutaran uang bisa saja dilakukan. Misalnya dengan menyimpan uang di rumah atau melakukan usaha kecil, atau meminjam uang kepada orang lain.
Namun, dengan kehadiran lembaga-lembaga ini sangat membantu masyarakat untuk mengelolah, menyimpan dan memutar keuangannya. Pada tahap tersier, pilihan untuk menentukan bank mana yang diinginkan diserahkan kepada kemantapan dan kemampuan lokal atau model lembaga pegadaian apa dan model asuransi apa yang diinginkan diserahkan sesuai dengan kemantapan masing-masing
Namun, model lembaga yang diinginkan tidak boleh keluar dari nilai-nilai dasar Islam dan asas-asas dasarnya. Sehingga pengembangan lembaga-lembaga tersebut yang benar-benar mengakomodir nilai dan asas dasar perekonomian Islam menjadi kebutuhan yang mendesak (daruriyyah) sebagai upaya menjaga harta, yaitu kehalalan, kesucian dan proses yang benar. Untuk menuju lembaga di atas, dibutuhkan prosedur yang baik. Pilihan untuk menentukan prosedur diserahkan sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Sedangkan model prosedur yang harus dijalankan adalah pilihan masyarakat Islam untuk berkreasi. Di sini, kreatifitas ekonom Islam dituntut lebih keratif untuk mengembangkan model-model ekonomi yang dapat menjangkau dua sisi. Sisi pertama, memberikan suatu model sederhana mengenai prilaku manusia dan untuk menjamin suatu pola yang dapat diramalkan dari tingkah laku pasar, bukan spekulasi, manusia ekonomi dianggap sebagai rasioanal dalam seluruh tindakan sekalipun dalam realitasnya tidak seluruh tindakannya rasional.
Rasionalitas, yang merupakan jantung ilmu ekonomi neo-klasik, adalah asumsi fundamental model ekonomi dalam teori moderen. Sisi kedua, memberikan dasar metafisik, yaitu prinsip-prinsip trasendental yang telah mendorong kelahiran ilmu terus membentuk fondasi metafisik bagi kelimuan, suatu fondasi yang diasumsikan secara luas meskipun jarang dinyatakan.
Penerapan maqashid syari’ah dalam kegiatan ekonomi adalah dengan memaknai ulang kemaslahatan manusia sebagai kebutuhan manusia. Ada lima kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan agama, kebutuhan jiwa, kebutuhan menjaga keturunan, kebutuhan akal, dan kebutuhan menjaga harta. Misalnya kebutuhan dalam kontek ekonomi disebutkan bahwa ada kebutuhan dharuriyah dalam melaksanakan ibadah, yaitu perlengkapan ibadah yang minimal sedangkan tambahan dengan segala macam aksesorisi badah merupakan kebutuhan hajjiyah dan tahsiniyah.
Peran produsen Islam adalah membidik peluang-peluang ini untuk dijadikan sebagai lahan bisnis yang baik. Kebutuhan menjaga jiwa diwujudkan dalam bentukpemenuhan kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Kebutuhan paling minimal untuktiga jenis kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan dharuri. Sedangkan tambahan kebutuhan yang menjamin hidup lebih baik adalah kebutuhan hajiyyah dan kebutuhan tahsiniyyah, yang menjamin kehidupan lebih mudah
Aji Fauzie
Mahasiswa Pasca Sarjana Ekonomi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H