[caption id="attachment_320904" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi by Flucleflu"][/caption]
HARI HARTINI - Momen 21 April selalu diperingati dengan berbagai macam perayaan di sudut-sudut negeri. Di kalangan pelajar, mengenakan kebaya, dengan berdandan ala "Wong Jowo" sudah tentu lazim adanya. Begitu juga di kalangan pekerja wanita, yang antusias memakai baju kebaya, berkonde, berias bak ratu sehari. Jasa tata rias atau yang biasa disebut salon hari ini kebanjiran pelanggan. Baju-baju kebaya ludes disewa oleh para orangtua yang menginginkan anaknya tampil menawan. Hari Kartini seakan menjadi magnet dan mendarah daging di benak rakyat Indonesia. Tak pernah senyap di saat pertengahan April. Semua pasti berbondong-bondong menyambut hari lahirnya Pahlawan Emansipasi Wanita, RA. Kartini. Riuh-gaduh semarak Hari Kartini barangkali sulit untuk dianologikan lewat kata-kata, itu karena masyarakat dengan caranya sendiri begitu kreatif memaknainya. Tapi adakah kita sadar bahwa masih banyak di antara mereka yang kurang mengerti hakikat sebenarnya Hari Kartini? Mangga kita kaji.
Geliat masyarakat setiap tanggal 21 April boleh dibilang menarik dalam segi antusias. Pasalnya mereka sangat semangat menyambutnya, termasuk yang sudah saya sebutkan di atas. Usut punya usut, ternyata geliat tersebut belum sesuai dengan makna esensi Hari Kartini. Hal tersebut tercermin dari sebagian mereka yang belum mufaham akan identitas RA Kartini. Katakanlah di dunia maya, saya pernah -tidak hanya satu-dua kali- menjadi saksi betapa pengetahuan masyarakat akan pahlawannya begitu minim. Ketika itu saya ditanya, "Mas, tinggal di mana?" Kemudian saya jawab, "Di kota kelahiran RA. Karini. Tahu?" Dia bersaut lagi, "Mana, sih, Mas, Jakarta, ya?" Saya yang lahir dan menetap di Jepara, amat-sangat-terperanjat merasakan betapa payahnya pengetahuan mereka. Bayangkan jika di kota lahirnya saja sudah tidak tahu, bagaimana mungkin mereka mengerti silsilah, perjuangan, dedikasi RA. Kartini?
Kepayahan lain juga terjadi ketika sebagian besar masyarakat menganggap peringatan Hari Kartini sebagai ceremonial belaka, sebatas memakai pakaian yang biasa RA. Kartini kenakan. Hal tersebut sudah tentu bukti klise yang melekat dalam diri mayoritas rakyat Indonesia. Dengan demikian -secara universal- dapat tersimpulkan bahwa dua peristiwa di atas menunjukkan adanya suatu gejolak ketidak-kepekaan dalam diri masyarakat, wabil khusus generasi muda.
Hari Kartini Sebagai Bahan Kontemplasi
RA. Kartini adalah satu dari sekian banyak pahlawan wanita yang gigih memperjuangkan hak-hak kaum wanita. Kehadirannya tak ubah permata di gelap gulita, menepis segala stigma bahwa wanita harus patuh pada hukum adat. Pemikiran-pemikiran yang cerdas dan kritis menjadi tonggak terwujudnya kesetaraan gender kaum wanita masa kini. 21 April adalah hari dan bulan lahirnya yang kemudian lazim kita peringati. Langkah yang paling konkrit dan substansial agar kita dapat mengunduh buah dedikasi RA. Kartini, salah satunya dengan menjadikan Hari Kartini sebagai bahan kontemplasi/perenungan. Di masa sekarang, masa modern, wanita justru lepas kendali dengan mengejar pendidikan setinggi-tingginya. Wanita kini cenderung sibuk dengan seabrek karir. Hal tersebut sangat kontras dengan hakikat wanita yang harus punya tanggung jawab di dalam keluarga. Tak jarang perceraian terjadi karena sang istri sibuk dengan pekerjaannya, sang suami terkadang merasa iri gajinya rendah dibanding sang istri, dan masih banyak lagi contohnya.
Peristiwa di atas sudah pasti melenceng dari amanah RA. Kartini yang menginginkan wanita tetap pada hakikatnya. Seperti yang tercermin di dalam salah satu suratnya kepada Nyonya Abendon, Agustus 1900:
"Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya"
Dari rentetan kalimat itu, dapat ditafsirkan bahwa wanita boleh saja mengejar pendidikan setinggi mungkin untuk kemudian berkarir, tapi mestinya tak abai akan tugas-tugasnya sebagai seorang wanita (lebih khusus istri).
RA. Kartini sebagai figur yang harus dijadikan teladan wanita masa kini. Kegigihan dan keberaniannya perlu dituru sebagai pelecut semangat. Tanpa menyalahi kodrat sebagai seorang wanita yang kudu patuh dengan orang tua atau pun suami. Memaknai momen bersejarah dibutuhkan kedewasaan bagi setiap individu. Bukan malah larut dalam euforia yang justru kontras dari subtansi itu sendiri. RA. Kartini memang bukan dewa yang harus diikuti gerak-gerik dan perkataannya, tetapi kita harus menyakini betul bahwa perjuangan tak kenal lelah dalam membela kaum wanita itu, tidak tercapai tanpa semangat dan tekat yang kuat.
MERDEKA WANITA INDONESIA!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H