Mohon tunggu...
Ajie Muhammad
Ajie Muhammad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Surat

17 September 2016   12:27 Diperbarui: 17 September 2016   12:33 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Udara dan stasiun kereta. Penyambung kehidupan dan impian di tanah rantauan. Juga pemisah antara pemuda dan sosok terindah. Yang dipuja dan menjadi sandaran jiwa. Bunga yang harum mewangi, tertanam di kebun sanubari.

Di sini dan di sana. Terhalang hamparan tatah brantah dan hijau menguning padi di sawah. Yang dipandang dari balik jendela kereta. jauh antara pulang, dan seorang petualang yang hilang. Seorang dengan hati penuh kesombongan, jumawa menatap asa merasa paling berdaya. Berani pergi ke tanah orang, meninggalkan ayah dan ibunya. Atau senyummu. Dinding antara aku dan ketidakwarasanku.

Usai lewat satu purnama. Masih sama. Tidak ada Malang hari ini. Tidak ada Malang kemarin. Hanya nasibku yang malang yang jadi fakta. Kemudian Jendela terbuka, dan masa lampau memasukiku sebagai angin. Meriang meriang, aku meriang. Aku seperti menyelami kesedihan lama. Yang hidup bahagia dalam sajak-sajak Andrea. Namun, aku menyelami sepasang kolam. Lalu karam tenggelam. Bak museum kata Hamka. Kolam yang dalam dan diam di wajahmu.

Adalah dendam dalam hati yang tak tergugat. Rahasia yang tak terungkap. Kini, engkau perih yang tertahan. Hingga ku tak sanggup melawan. Yang selalu ku inginkan. Sosok terindah yang dipuja. Kini telah lepas jauh terhempas. Karena muka yang terbang bebas.

Resah di dadamu. Dan rahasia yang menanti di jantung goresan pena ini. Dipisah prasangka. Air mata yang terlalu berharga untuk mengalir. Terhimpit dan melayang dengan permadani keraguan. Namun, tiada siapa-siapa lagi. Hanya aku yang pantas disebut tersangka. Ombak kebodohan yang deras. Mengikis pasir pesisir kepercayaanmu.

Tak cukup. Jika huruf M,A,A, dan F saja yang terlontar dari bibir. Pisau cela dan dosa-dosa yang ku goreskan diwajahmu. Kemudian ku tancapkan di jantungmu. Hingga kau benar-benar murka dan memberi balasan. Hanya dengan dinginmu, cukup dengan diammu. Membuat tertipu. Kau biarkan aku tetap bersandar di tiang hati. Yang ku kira kamu, tapi sebenarnya hanya bayangan dirimu saja. Dingin dan diammu. Seperti udara yang sejuk yang memaksaku menikmatinya. Lalu, aku mati begitu saja. Bekerja seperti vaksin palsu. Kau lemparkan sosok Fajar di wajahku. Hingga ku tak percaya bahwa aku ada.

Dari jendela kau melihat bintang-bintang tanggal. Satu demi satu. Berulang-ulang mengucapkan selamat tinggal. Namun good bye yang kemarin, tak seperti kemarin-kemarin. Menggugurkan dedaunan harapan. Apa kabar hari ini? Lihat tanda tanya itu. Tanda seluas kolam di pekarangan rumah, yang berisi debur samudra kekhawatiran. Kadang kau fikir, lebih mudah mencintai semua orang, dari pada melupakan satu orang. Jika ada seorang yang terlanjur menyentuh inti jantungmu, mereka yang datang kemudian, hanya menyentuh kemungkinan.

Karam di dasar samudra luka. Hukuman yang patut untuk seorang tersangka. Wajah senyum yang berubah menjadi murka karenanya. Hanya bisa ku katakan maaf. Karena hanya ini dayaku, walau tak kan pernah cukup. Lagi, saya minta maaf. Tolong ampuni saya. Yang berani memainkan rasa. Yang sok mumpuni menyalakan api dalam dada. Yang dikira akan menerangi, namun membakar semua isi hati. Namun, masih begitu dalam. Jurang antara kebodohan dan keinginanku. Memilikimu sekali lagi. Kau yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun