Mohon tunggu...
Ajie Muhammad
Ajie Muhammad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dirgahayu Indonesiaku ke-71, Mari Kembali

17 Agustus 2016   02:25 Diperbarui: 17 Agustus 2016   02:52 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ujung tiang tertinggi, kembali akan menjadi sorotan semua anak negeri. Kain dua warna yang melambangkan supremasi. Berkibar di langit ibu pertiwi. Yang dikukuhkan dalam sanubari, yang diangkat dan dipertahankan sampai semua manusia tak takut mati. Supremasi negeri hamparan padi yang elok berseri. Supremasi merah yang berani. Dan putih yang suci. Merasuk dalam diri, menggebu dalam setiap hati. Jiwa yang berbeda tak lagi berarti. Tanah yang jauh semua digandrungi. Dari Sabang sampai Merauke, kokoh berdiri. Bersama dalam satu negeri.

Padi menguning merona. Hamparan hempas samudra. Hutan bak payung raksasa. Gunung kokoh mempasak bumi tetap perkasa. Negeri yang kaya, tanah yang jumawa. Ribuan pemuda yang siap mengguncang dunia. Jutaan manusia yang mantap bersatu jua. Bergerak hantam angkara. Hajar semua Tamu yang ingin menguasa. Semangat kuat hebat sudi binasa. Tak gentar darah tertumpah sia-sia. Mereka bersatu membangun kuasa. Memulangkan mereka, yang serakah angkuh ingin berkuasa. Usir mereka dengan semangat persatuan bangsa. Bangsa yang berbeda-beda. Bangsa yang satu jua.

Kedahsyatan kobaran api dalam sanubari satu jua. Telah mengguncang dunia. Sudah buat mereka jera. Takkan lagi mampu menginjak tanah nusantara. Bangsa yang berbeda. Bersatu padu membela. Semangat mata sang garuda menderu dalam dada, menerbangkan hati ke angkasa. Hingga muncul kekuatan dalam jiwa. Timbul perkasa dalam raga. Tak mampu mereka berbuat apa-apa. Pulang ke asal mereka dengan hampa.

Negeri garuda telah kuasa. Mengumandangkan suara perkasa. Perkasa akan tanah katulistiwa. Kuasa dengan hamparan luas samudra. Berjaya di tanah mereka. Tanah nusantara. Mulai merintis warna. Memulai cerita. Kisah peradaban yang di angkat dan ditata. Diterbangkan setinggi angkasa. Menggapai cita-cita. Meraih satu jua bangsa yang bhineka. Menjadi jumawa di dunia. Adi daya di jagad raya.

Garuda di dada, menjadi semboyan semangat merasuk jiwa. Terpatri membangun kuasa dan meraih tahta. Seluruh anak negeri menggebu. Berdiri tegak dan gagah bersatu. Mendirikan monument yang akan jadi saksi bisu. Saksi perjuangan pemuda terdahulu. Bukti tumbah darah ratusan ribu. Bahkan jutaan pemuda yang berperang binasa dan musnah tak ada yang tahu. Kan melecut semangat untuk teguh berdiri. Menjadikan negeri. Hebat tak tertandingi.

Hari berganti bulan. Bulan berganti tahun. Waktu demi waktu bergati. Roda berputar tiada henti. Tak kan ada yang mampu memungkiri. Semangat anak negeri kini sudah tak tahu lagi. Sudah kemana, entah itu pergi. Ketamakan mulai menguasai hati. Keserakahan telah mengendalikan diri. Kobar jiwa untuk membangun negeri telah mati. Semua jiwa hanya memikirkan perut sendiri. Mementingkan pribadi. Mengagungkan nafsu birahi.

Kekayaan emas berlian menjadi tersangka. Membuat semua anak bangsa lupa. Lupa akan cita-cita. Amnesia akan jua. Musnah semangat bersatu membangun nusantara. Hilang hasrat membawa garuda terbang tinggi ke angkasa. Semua berlomba-lomba berebut kuasa. Saling jegal demi singgasana. Saling terkam untuk meraih tahta. Semua orang hilang kesadaran akan hidup bersama. Hilang sadar akan bhineka yang satu jua. Berbeda-beda dalam satu jua, berubah menjadi jua yang berbeda-beda. Berganti generasi pemuda. Tak sadar mereka punya kuasa. Mereka punya perkasa. Mampu mengguncang dunia. Namun mereka buta. Mereka lupa. Justru lebih memilih saling bunuh antar sesama. menguasai tahta negara. Demi kemakmuran masing-masing mereka. Bukan demi membangun bangsa.

Rasa cinta telah pudar. Tak ada lagi peduli akan sesama. Semua anak bangsa hanya ingin kenyang perut masing-masing mereka. Hilang semua semangat akan satu jua. Pudar akan pengorbanan tumpah darah pemuda dahulu masa. Mereka tak lagi mengingatnya. Upacara? Penghormatan pada para pemuda. Pahlawan yang gugur mendahului kita. Rela binasa demi tanah nusantara agar merdeka. Darah yang tumpah sia-sia hanya untuk anak cucu generasi selanjutnya. Apakah penghormatan itu cukup? Apakah hanya sekedar peringatan masa tanpa ada perubahan pada jiwa setiap bangsa? Jati diri bangsa pemuda dengan semangat mengguncang dunia. Pemuda yang tak takut berkorban demi sesama. Pemuda yang luhur budinya. Tak sekedar memikirkan perut mereka semata. Para Pemuda dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ikka” yang mengukuhkan kesatuan dalam dada. Untuk bangkit bersatu dan bersama-sama.

Kembalilah wahai anak negeri. Kembali pada jati diri. Kembali pada sanubari yang sejati. Membawa bumi pertiwi ke puncak tertinggi. Gotong royong bersatu dalam merah yang berani, dan dalam putih yang suci. Kukuhkan semangat semboyan yang hampir tiada arti. Semboyan yang sejati mempunyai makna hakiki. Mari kembali!!! Garuda di dada Indonesia merdeka.

Dirgahayu Indonesiaku ke-71

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun