"If the history repeats itself, and the unexpected always happens, how incapable must man be of learning from experience" -- George Bernard Shaw, Irish dramatist & socialist (1856 - 1950) .
George Bernard Shaw adalah seorang novelis, politikus, kritikus teater, dan seorang orator asal Irlandia. George memulai karirnya sebagai penulis novel hingga ia akhirnya mendapat penghargaan Nobel di bidang literatur tahun 1925 dan penghargaan Oscar pada tahun 1938 atas kontribusinya dalam karya film yang berjudul Pygmalion.
Selama 74 tahun Indonesia merdeka apakah Indonesia belum pernah mengalami krisis ekonomi yang parah?
Tentu saja pernah. Saya cukup yakin memori akan krisis ekonomi yang paling mudah anda ingat adalah krisis ekonomi tahun 1998 dan tahun 2008. Jauh sebelum lahirnya generasi milenial, Indonesia pernah dihantam krisis setidaknya sudah 3 kali.Â
Dalam tulisan ini, saya hanya akan menyinggung sedikit soal krisis ekonomi yang pernah terjadi di abad 20-an saja. Khususnya periode 1930-an, 1940-an, dan 1960-an. Mengapa?
Krisis ekonomi yang terjadi di era tersebut menyebabkan krisis subsistensi yang tidak kalah semrawut dari krisis ekonomi yang terjadi tahun 1998 dan 2008.
Lagipula, saya cukup yakin sudah terlalu banyak literatur yang bisa anda browsing terkait krisis ekonomi di awal-awal tahun 2000-an.
Sejarah akan berulang dan menampakkan diri dalam bentuk wajah yang berbeda dengan membawa ketakutan dan ciri khasnya masing-masing. Begitulah kurang lebih pesan tersirat yang saya tangkap dari pernyataan George tersebut.
Kristalina Georgieva, Managing Director International Monetary Fund (IMF) memprediksi resesi ekonomi global akan terjadi di tahun 2020 dan dampaknya akan lebih parah dari krisis global 2008-2009. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi global akan tumbuh negatif berada di bawah angka 2,9%.
Apabila memang terjadi resesi ekonomi akibat Corona Virus Disease 2019 atau yang populer disebut Covid-19, maka Indonesia akan menambah pengalaman resesi ekonomi untuk keenam kalinya dalam sejarah, yaitu empat kali dalam sejarah abad ke-20 dan dua kali dalam sejarah abad ke-21.Â
Dalam sejarah abad ke-20, resesi ekonomi telah menghampiri Indonesia yaitu sekitar tahun 1930-an, pada masa penjajahan jepang tahun 1940-an, era demokrasi terpimpin selama masa kepemimpinan Presiden Soekarno tahun 1960-an, dan terakhir krisis moneter pada tahun 1990-an.
Guratan tinta sejarah penderitaan rakyat karena resesi ekonomi itu ditulis oleh Ben White dan Peter Boomgard beserta para ahli dan saksi sejarah lain dalam bukunya yang berjudul Dari Krisis ke Krisis.
Tiga periode awal resesi ekonomi di Indonesia abad ke-20 sempat diselingi oleh anomali cuaca (banjir atau kekeringan) yang disebabkan fenomena El-Nino Southern Oscilliation (ENSO) yaitu suatu kondisi memanasnya suhu permukaan laut di Samudra Pasifik bagian tengah hingga timur.Â
ENSO membawa bencana kekeringan yang bermuara pada gagal panen besar-besaran. Meskipun ENSO bukanlah faktor dominan resesi ekonomi pada tahun-tahun tersebut, namun bencana kekeringan akibat ENSO turut mengambil peranan dalam resesi ekonomi selain gejolak politik dan peperangan.
Pada era kerajaan sebelum kolonial datang ke Indonesia, rakyat pribumi mayoritas berprofesi sebagai petani dan petani adalah tenaga kerja yang murah dan bahkan gratis. Kedatangan Belanda membuat petani bagai peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga.
Melihat lansekap mayoritas mata pencaharian pribumi bekerja sebagai petani, yang upah tenaga kerjanya cukup murah dan bahkan gratis, pemerintah kolonial kemudian memakai situasi itu untuk semakin menguntungkan posisinya dengan cara: membuat pribumi tetap menjadi pribumi.
Era kejayaan pemerintah kolonial tidak terlepas dari kebijakan eksploitatifnya yaitu cultuurstelsel (tanam paksa) dimana rakyat wajib menyediakan minimal 20% atau satu per lima dari total tanah yang dimiliki untuk ditanami tanaman yang laku untuk di ekspor seperti karet, teh, kopi, dan tebu.
Yang tidak punya tanah?
Mereka diwajibkan menggarap tanah yang disediakan oleh pemerintah Belanda. Hasil tani tersebut kemudian di ekspor ke pasar internasional.
Malang tak dapat ditolak, semakin lengkap penderitaan rakyat karena bencana kekeringan. Kondisi ini memaksa rakyat terjerumus dalam krisis subsistensi, yaitu situasi ekstrim yang mengancam penghidupan dasar rakyat pada saat itu: pertanian dan perkebunan.
Resesi Ekonomi 1930 : The Great Depression
Ilustrasi The Great Depression, Krisis Ekonomi yang berasal dari negeri Paman Sam. (Sumber: www.hariansejarah.id)
Henry Ford misalnya, sebagai salah satu pionir industri otomotif di Amerika, Henry menciptakan sistem perakitan mobil dengan sabuk konveyor.
Mobil yang berjajar rapih menunggu antreannya masing-masing untuk dipoles oleh buruh kerja. Para pekerja bergiliran menyelesaikan tugas yang kecil dan sederhana, bukan tugas yang sifatnya spesialis dan rumit.
Teknologinya mampu memangkas waktu produksi sebuah mobil hanya dalam waktu satu setengah jam yang sebelumnya memerlukan waktu tiga belas jam lebih.
Di sisi lain, kemudahan mendapatkan kredit dari bank juga menjadi salah satu faktor penyumbang resesi tahun 1930-an. Kemudahan mendapat kredit membuat masyarakat cenderung berperilaku konsumtif.
Hal ini berimbas pada kenaikan permintaan barang-barang kebutuhan sehingga perusahaan-perusahaan pun didorong untuk memproduksi barang lebih banyak lagi. Kenaikan permintaan turut berperan dalam penyerapan tenaga kerja yang masif.Â
Kondisi ini kemudian berujung pada consumer boom yang bermuara pada meningkatnya kesejahteraan ekonomi Amerika.
Masyarakat yang tadinya tidak mampu membeli barang mewah yang mereka impikan, dalam waktu sekejap mata mereka bisa membelinya. Di zaman ini lazim ditemukan barang-barang mewah yang "tidak terlalu penting" di rumah-rumah penduduk seperti vacuum cleaner dan alat pencetak waffle.
Pesatnya perkembangan ekonomi Amerika kemudian merangsang kenaikan harga saham. Jutaan warga Amerika berbondong bondong menginvestasikan uangnya ke pasar saham.
Harapannya, agar uang mereka kembali lebih tinggi lagi. Bahkan tak sedikit yang menggunakan dana pinjaman untuk investasi. Momentum ini kemudian berdampak pada spekulasi yang berlebihan dan berujung pada economic bubble.Â
Spekulasi yang hanya berdasar pada grafik teknis, dinamika pasar, informasi yang tidak jelas tanpa analisa yang matang sudah terlanjur beredar luas.
Tak butuh waktu lama, malapetaka ekonomi pun datang. Isu yang santer beredar adalah bank tidak dapat membayar kembali uang nasabahnya.Â
Krisis kepercayaan pun semakin menjadi, nasabah ramai-ramai mengambil uangnya di bank. Bank kehabisan likuiditas, kredit tidak dapat disalurkan dan gaji pegawainya tak terbayarkan, gelombang PHK pun tak terelakkan.
Para pengusaha dan pedagang juga lesu tidak mendapatkan kredit. Investor yang telah kehilangan kepercayaan pun menjual sahamnya karena takut merugi lebih dalam lagi.
Penjualan saham besar-besaran itu terjadi di hari Kamis tanggal 24 Oktober 1929, orang Amerika menyebutnya sebagai The Black Thursday. Fenomena di era ini kemudian dikenal dengan The Great Depression.
Siapa yang jadi korban?
Pemerintahan kolonial Belanda kala itu amat bergantung pada pasar ekspor. Khususnya komoditas hasil tani yang laku di pasar internasional. The Great Depression membawa pasar ekspor secara perlahan mengalami kehancuran, hasil tani yang tadinya akan diekspor kemudian jadi menumpuk melebihi permintaan yang ada, dan pada gilirannya akan menghancurkan harga permintaan domestik.Â
Sedangkan di satu sisi, para petani tetap dibebani pajak yang berat oleh pemerintah kolonial. Stok yang melimpah ini kemudian menjadi murah dan merugikan petani karena upah petani untuk persiapan lahan, pengelolaan, hingga pengangkutan ke pabrik pun turut anjlok.
Penurunan upah ini berakibat pada pemotongan belanja alias daya beli petani pun menurun. Pada titik ini, terjadilah krisis deflasioner dimana stok bahan tani tersedia amat banyak dan menjadi amat murah. Seketika uang menjadi langka.
Siapa yang jadi pemenang?
Kesusahan yang dirasakan oleh kaum petani rupanya tidak terlalu berimbas pada pegawai dan pejabat pemerintahan yang bergaji tetap secara bulanan. Bagi segelintir orang seperti pejabat pemerintahan, resesi membawa berkah. Harga barang semakin murah, daya beli semakin meningkat. Kecuali, pegawai tingkat rendah.Â
Rakyat berbondong-bondong menggadaikan barang yang dimilikinya untuk ditukarkan dengan uang, di pegadaian barang mereka dilelang dengan harga teramat rendah.
Tidak cukup untuk biaya hidup mayoritas rakyat yang berprofesi jadi petani, bahkan untuk menutup biaya operasional perusahaan pun tak mencukupi. Perusahaan terpaksa melakukan efisiensi. Bagi karyawan yang bertahan harus rela gajinya dipotong 5%. Tidak sedikit pula yang di PHK.
Situasi makin buruk karena pemotongan gaji berlaku rata, tak peduli jumlah gaji besar atau kecil.
Melansir dari situs historia.id dalam artikel Bertahan Menghadapi Resesi Ekonomi, Majalah Doenia Pegadaian, 25 Januari 1934, memuat sajak dari pegawai pegadaian tentang ketidakadilan itu.
Isinya membandingkan pegawai rendahan bergaji kecil dengan atasannya yang makmur sentosa karena gajinya tinggi tapi dipotong dengan nilai yang sama.
"Boeat ambtenaar jang bergadjih besar
Dipotong 5% tentoe tidak goesar...
Sebaliknja boeat pegawai rendahan
Jang gadjih mereka hanja poeloehan
Potongan 5% lagi akan dirasa soeatoe tindihan
Dan bakal menambah kesoesahan."
Resesi Ekonomi 1940-an : Era penjajahan jepang
Pendudukan Jepang pada tahun 1940-an. (Sumber: materisejarahkita.blogspot.com)
Berbeda dengan krisis ekonomi 1930-an dimana uang menjadi sangat langka, krisis ekonomi pada tahun 1940-an disebabkan oleh penjajahan Jepang yang berakibat pada rusaknya infrastruktur, kebijakan pemerintahan Jepang untuk memblokade barang-barang impor, serta kebijakan pemerintah Jepang yaitu "pengumpulan" barang oleh pemerintah pendudukan pada saat itu.
Jepang lebih memilih kebijakan ekonomi perang. Produksi diperas habis untuk memenuhi kebutuhan militer, rakyat dipaksa untuk bekerja bahkan pakaian juga disita.
Barang menjadi sangat langka. Khususnya barang-barang kebutuhan utama seperti sandang, pangan, dan kebutuhan pokok lainnya. Kelangkaan barang memaksa harga-harga barang naik tajam.
Ditambah lagi kebijakan pemerintah Jepang yang memaksa rakyat di pedesaan untuk "menjual" barang-barang yang mereka miliki dan ditukar dengan uang militer Jepang yang berlaku saat itu.
Kondisi ini mengakibatkan uang yang beredar terlalu banyak, sedangkan harga barang semakin naik dan semakin langka.
Siapa yang jadi pemenang dan korban pada era ini?
"Importir, pedagang dan sebagian kaum tani mendapatkan keuntungan besar dari inflasi. Buruh upahan dan terutama kelompok besar pegawai negeri terhantam cukup keras oleh ketimpangan antara kenaikan harga dan kenaikan upah serta gaji" -- Selo Soemardjan dalam bukunya Perubahan Sosial di Yogyakarta, 1962.
Dikutip dalam buku karangan Kanjeng Pangeran Haryo Prof. Dr. Selo Soemardjan tersebut, lapisan sosial selain petani yang turut menjadi korban kali ini adalah kaum pegawai pemerintahan yang bergaji tetap.
Amat kontra dengan keadaan era 1930-an dimana mayoritas kaum petani adalah korban yang paling dirugikan atas dampak krisis deflasioner yang menghantam Indonesia saat itu. Saat krisis era penjajahan jepang, segelintir petani dapat meraup keuntungan dari krisis ini.
Krisis era 1960-an: Berakhirnya Demokrasi Parlementer, Bangkitnya Demokrasi Terpimpin.
Era demokrasi terpimpin yang dipimpin oleh Presiden Soekarno kala itu memaksa perekonomian tunduk sepenuhnya pada pemerintah, bukan pada pasar. Rakyat tidak lagi berekonomi, melainkan mengerjakan ekonomi menurut perintah dan disiplin -- Tirto.id dalam artikel Krisis Ekonomi 1960-an: Sanering Gagal, Soekarno Dilengserkan.
Di beberapa tempat di Yogyakarta, kondisi ini diperparah dengan adanya bencana kekeringan khususnya pada tahun 1963 dan 1964. Masalah berat dihadapi oleh para penghasil pangan.
Selain kekeringan, serangan hama turut memperparah perkembangan ekonomi setempat. Hujan yang tak teratur dan serangan hama tikus menyebabkan gagal panen besar-besaran.
Demokrasi terpimpin lazim dianut oleh negara-negara blok timur seperti Russia dan China saat itu. Kedekatan presiden Soekarno dengan blok timur menjadi salah satu alasan mengapa presiden Soekarno juga mengadopsi sistem kepemimpinan yang sama.Â
Terdapat pola perbedaan perdagangan internasional era Soekarno dengan era kolonial. Salah satunya adalah meningkatnya kebijakan impor namun kebablasan, sehingga surplus neraca perdagangan menjadi negatif.
Di saat yang sama, ketergantungan terhadap komoditas ekspor masih cukup tinggi khususnya komoditas ekspor yang terbatas dan jumlahnya makin menipis: karet dan minyak bumi.
Bank sentral saat itu menjadi "alat pemerintah" ketika terus menerus mencetak uang untuk membiayai defisit anggaran yang terus menerus naik. Porsi terbesar pendapatan negara saat itu adalah pajak atas perdagangan internasional.
Melemahnya permintaan pasar terhadap komoditas ekspor menyebabkan pemasukan pajak atas perdagangan internasional menjadi menurun dibawah lima kali lipat.
Sedangkan pengeluaran meningkat hingga tujuh kali lipat, tentu hal tersebut menjadi salah satu pemicu defisitnya neraca keuangan Indonesia saat itu.
Akibat nilai tukar rupiah yang tinggi daripada nilai pasar dan melemahnya minat pasar internasional untuk komoditas ekspor Indonesia, akhirnya berimbas pada naiknya jumlah penyelundupan barang komoditas ekspor ke negara lain seperti Singapura.
Sayangnya, menurunnya pendapatan negara saat itu tidak dapat diimbangi dengan kenaikan pendapatan untuk membiayai kebutuhan dalam negeri.
Defisit anggaran negara semakin membengkak ketika sebagian besar anggaran dialokasikan untuk kebijakan yang cenderung pro-militer daripada pro-ekonomi seperti gerakan Trikora untuk merebut Irian Barat dan gerakan Ganyang Malaysia, serta alokasi Dana Revolusi/Dana Amanah guna "membiayai" proyek orang-orang dekat pemerintahan Soekarno.Â
Inflasi yang pesat dekade 1960-an sebagian merupakan warisan sejarah dekade 1950-an saat perekonomian belum seutuhnya pulih dari krisis 1940-an. Pemerintah yang "sembrono" dan ambisius mencari dana dengan memperbanyak pencetakan uang menjadikan krisis 1960-an menjadi krisis inflasioner dan bisa disebut hiperinflasi.
Syaffrudin Prawiranegara selaku menteri keuangan saat itu mengeluarkan kebijakan yang sampai saat ini masih populer dalam ingatan kita yaitu Gunting Syafruddin.
Uang pecahan di atas 5 gulden dipotong menjadi dua. Uang kertas yang digunting tadi berkurang nilainya menjadi setengah. Setengahnya lagi dijadikan sebagai kupon obligasi untuk pemerintah dengan tenor 30 tahun dan bunga 3%. Harapannya uang beredar akan berkurang dan inflasi dapat teratasi.
Siapa yang jadi korban?
Rakyat yang tidak memahami sanering merasa amat dirugikan. Nilai uang berkurang menjadi setengahnya, namun harga-harga barang tetap sama.
Hal ini menyebabkan daya beli masyarakat menjadi merosot tajam. Tercatat, inflasi periode 1960-1967 dengan tingkat inflasi tertinggi pada tahun 1966 mencapai lebih dari 1000% - Dari Krisis ke Krisis - Krisis Ekonomi dalam Sejarah Indonesia Abad ke-20: Tinjauan Ekonomi Makro. Untuk kesekian kalinya, kaum petani khususnya petani tadah hujan pada tahun 1963-1964 cukup merasakan dampak berat dari krisis.
Tak hanya di pedesaan, kaum pegawai negeri dan pedagang di perkotaan pun turut merasakan pedihnya krisis. Selama dekade 1960-an penyelamat di kala krisis adalah pembagian upah yang dibagi menjadi upah berupa uang dan upah ransum seperti beras dan jatah barang lain.
Siapa yang diuntungkan?
Bagi para pengusaha bermodal besar tentunya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bahkan, sehari sebelum diberlakukannya kebijakan Gunting Syafruddin, beberapa pengusaha melakukan penimbunan bahan-bahan pokok seperti beras dan pakaian.
Tentu, aksi spekulan dan profiter ini semakin memperparah kondisi ekonomi saat itu. Penurunan penghasilan meskipun hanya sedikit, dapat menyebabkan akibat yang cukup serius karena pendapatan rata-rata rakyat Indonesia saat itu tergolong rendah. Namun, akibat politik yang ditimbulkan bisa berjangka panjang.
"Those who do not learn from history are doomed to repeat it." -- George Santayana.
Selalu ada pelajaran yang dapat diambil dari sejarah, termasuk penanganan krisis perekonomian. Untuk saat ini yang diperlukan adalah transparansi, kebijakan yang tepat, dan rakyat yang kooperatif. Saya rasa tiga hal tersebut dapat menjadi kunci selamat bagi nyawa dan perekonomian.
Harapan saya, pandemi Covid-19 tidak menyebabkan krisis subsistensi yang begitu parah khususnya bagi rakyat kecil dan pekerja informal.
Ketika pandemi ini telah berlalu dan kemanusiaan serta perekonomian perlahan kembali pulih, saya yakin pada saatnya sejarah akan mencatat kemenangan umat manusia melawan pandemic Covid-19 dan harapannya manusia akan lebih siap dalam menghadapi unexpected challenge yang sejenis.
-Jakarta, 15 April 2020-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H