Mohon tunggu...
Aji Aribowo
Aji Aribowo Mohon Tunggu... Penulis - Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma) | Law, Science, Sport, and Social Enthusiast.

Penyangkalan: Segala tulisan yang saya tulis tidak terikat dan tidak terkait dengan lembaga/institusi tempat saya mencari nafkah. Demikian, salam kecup jauh.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Napak Tilas Resesi Ekonomi di Indonesia

17 April 2020   02:31 Diperbarui: 17 April 2020   08:50 2575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Era demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno. (Sumber: cerdika.com)

Tak butuh waktu lama, malapetaka ekonomi pun datang. Isu yang santer beredar adalah bank tidak dapat membayar kembali uang nasabahnya. 

Krisis kepercayaan pun semakin menjadi, nasabah ramai-ramai mengambil uangnya di bank. Bank kehabisan likuiditas, kredit tidak dapat disalurkan dan gaji pegawainya tak terbayarkan, gelombang PHK pun tak terelakkan.

Para pengusaha dan pedagang juga lesu tidak mendapatkan kredit. Investor yang telah kehilangan kepercayaan pun menjual sahamnya karena takut merugi lebih dalam lagi.

Penjualan saham besar-besaran itu terjadi di hari Kamis tanggal 24 Oktober 1929, orang Amerika menyebutnya sebagai The Black Thursday. Fenomena di era ini kemudian dikenal dengan The Great Depression.

Siapa yang jadi korban?

Pemerintahan kolonial Belanda kala itu amat bergantung pada pasar ekspor. Khususnya komoditas hasil tani yang laku di pasar internasional. The Great Depression membawa pasar ekspor secara perlahan mengalami kehancuran, hasil tani yang tadinya akan diekspor kemudian jadi menumpuk melebihi permintaan yang ada, dan pada gilirannya akan menghancurkan harga permintaan domestik. 

Sedangkan di satu sisi, para petani tetap dibebani pajak yang berat oleh pemerintah kolonial. Stok yang melimpah ini kemudian menjadi murah dan merugikan petani karena upah petani untuk persiapan lahan, pengelolaan, hingga pengangkutan ke pabrik pun turut anjlok.

Penurunan upah ini berakibat pada pemotongan belanja alias daya beli petani pun menurun. Pada titik ini, terjadilah krisis deflasioner dimana stok bahan tani tersedia amat banyak dan menjadi amat murah. Seketika uang menjadi langka.

Siapa yang jadi pemenang?

Kesusahan yang dirasakan oleh kaum petani rupanya tidak terlalu berimbas pada pegawai dan pejabat pemerintahan yang bergaji tetap secara bulanan. Bagi segelintir orang seperti pejabat pemerintahan, resesi membawa berkah. Harga barang semakin murah, daya beli semakin meningkat. Kecuali, pegawai tingkat rendah. 

Rakyat berbondong-bondong menggadaikan barang yang dimilikinya untuk ditukarkan dengan uang, di pegadaian barang mereka dilelang dengan harga teramat rendah.

Tidak cukup untuk biaya hidup mayoritas rakyat yang berprofesi jadi petani, bahkan untuk menutup biaya operasional perusahaan pun tak mencukupi. Perusahaan terpaksa melakukan efisiensi. Bagi karyawan yang bertahan harus rela gajinya dipotong 5%. Tidak sedikit pula yang di PHK.

Situasi makin buruk karena pemotongan gaji berlaku rata, tak peduli jumlah gaji besar atau kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun