Mohon tunggu...
Aji Aribowo
Aji Aribowo Mohon Tunggu... Penulis - Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma) | Law, Science, Sport, and Social Enthusiast.

Penyangkalan: Segala tulisan yang saya tulis tidak terikat dan tidak terkait dengan lembaga/institusi tempat saya mencari nafkah. Demikian, salam kecup jauh.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merajut Persatuan: Benang Kusut Bumi Pertiwi

26 Mei 2019   23:39 Diperbarui: 26 Mei 2019   23:59 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu, gema suara tadarus Al-Qur'an dan suara petasan bersahutan. Suara petasan dan kegaduhan tidak mau kalah menunjukkan eksistensinya kepada warga sekitar. Saya tinggal tidak jauh dari lokasi kerusuhan tersebut, tepatnya di daerah Kampung Bali, Tanah Abang. Bagi perantau seperti saya, kejadian kerusuhan seperti ini cukup membuat saya khawatir. Mungkin berbeda bagi penduduk sekitar yang dalam hal ini 'terbiasa' dengan kehidupan kota Jakarta (bentrok antar warga, demo, kekisruhan 1998, dsb). Bagaimana tidak, niat saya mencari nafkah di kota besar harus dibarengi dengan rasa tidak aman saat berangkat dan pulang kantor.

Kantor saya terletak di Jalan Thamrin. Kantor saya tidak libur, namun kami pulang lebih cepat siang hari itu karena keadaan semakin memanas di jalanan. Jajaran pimpinan mulai khawatir dengan keadaan sekitar kantor yang semakin mencekam sehingga hampir seluruh karyawan dipulangkan. Tidak sedikit yang terpaksa menginap di kantor karena tidak bisa pulang.

Bukannya bola salju yang empuk dan dingin, tapi petasan, batu, gas air mata, dan botol berseliweran. Bahkan peluru karet.

Menjelang tengah malam hingga sahur, jalanan belum juga terlelap dalam tidur. Suara pak polisi dari kejauhan terdengar "Sudah cukup! Besok puasa, sahur! Sahur!" berusaha menyudahi kekisruhan di Jalan Thamrin. Hal itu membuat saya prihatin sekaligus miris. Haruskah bulan suci berubah menjadi pilu karena pemilu?

Terlepas dari kerusuhan kontestasi politik diatas, saya teringat pernyataan bung Karno:

"Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri!"

Sungguh ironis. Sedari kecil kita diajarkan bahwa bangsa Indonesia memegang teguh Pancasila sebagai Ideologi bangsa kita, sebagai pandangan hidup bangsa. Coba lihat kembali sila ke-3 yang terang-terangan menyatakan "Persatuan Indonesia" bukan "Perseteruan Indonesia".

Bukannya saya menjadi sok-nasionalis, tapi marilah kita lihat dan renungkan kembali pada diri kita masing-masing, lihatlah dari sudut pandang pendiri bangsa. Mari bersaing dengan bangsa lain, bersaing menjadi lebih maju di bidang-bidang seperti ekonomi dan teknologi. Agar semangat persatuan mengalir kembali menghidupi sendi-sendi bermasyarakat.

Kerusuhan seperti itu kiranya tidak perlu terulang kembali, lepaskan atribut 01 dan 02, kembali jadi bangsa Indonesia yang seutuhnya meresapi makna Pancasila.

Para politisi hendaknya bersaing secara sehat dan tidak melupakan fitrahnya sebagai manusia yang memegang teguh agama sebagai pondasi dan koridor dalam berpolitik yang bermoral dan ber-etika, bukannya berjuang demi kepentingan golongan dan menghalalkan segala cara, tapi berjuang demi kesejahteraan rakyat dengan cara yang etis dan terhormat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun