Mohon tunggu...
Muhajir J
Muhajir J Mohon Tunggu... Guru - pembelajar sejati

Setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru, dan setiap kesempatan adalah pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Matic ke Sekolah Berselimut Awan

27 Oktober 2019   16:33 Diperbarui: 28 Oktober 2019   06:49 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau dalam seminggu sekali ia pulang butuh Rp300 ribu, sebulan Rp1.200.000,- hanya untuk biaya transportasi. Sudah semestinya pemerintah memberikan tunjangan khusus atau semacamnya untuk pahlawan pendidikan di daerah remote area.

Perjalanan yang cukup melelahkan menyebabkan enggan untuk kembali di hari yang sama. Tanggung juga rasanya sehingga bermalam adalah pilihan. Didorong pula karena ingin merasakan sensasi dingin tanah rongkong, negeri berselimut awan. 

Malam itu menempati ruang wakasek, matraspun digelar. Bapak kasek dan beberapa guru  ikut bergabung. Sebenarnya ada mess guru di sisi bawah sekolah tapi rasanya kurang nyaman, salah satunya karena ada kuburan tua pas di depannya...

Hari kedua, melanjutkan kegiatan supervisi lalu briefing persiapan pengisian instrumen  pemetaan mutu pendidikan. Saat matahari mulai tergelincir, saatnya pamit pulang ke pangkuan "ibu pertiwi".  Ada keraguan juga untuk kembali sendiri setelah pergi bersama rombongan. Mengendarai motor matic lagi. Jika mengajak teman guru menemani pastilah ikut, tapi sayang juga karena program mengajarnya akan terganggu. Masker, sarung tangan, dan helmpun terpasang. Berangkaaat....

Belum separuh perjalanan tepatnya di penurunan tajam Makarette terjadi insiden "cium tanah air". Kemarau membuat timbunan tanah jadi debu tebal membuat laju motor tak tertahan oleh rem. Untung saja jatuh "cantik", hanya lebam di lengan kiri. Membayangkan jika terjadi hal kritis, suasana sunyi, jaringan telepon tidak ada sehingga tidak dapat meminta untuk dievakuasi.  "Terima kasih ya Allah atas lindunganMu".

Beberapa saat kemudian perjalanan lanjut kembali. Baru sadar betapa nekatnya ke Limbong mengendarai motor matic yang berbahaya saat penurunan (tidak direkomendasikan menggunakan matic). Kembali fokus mengendara tetapi pikiran tertuju ke ibu bidan (kok ibu bidan..?). ya.. dialah yang memberi inspirasi tempo hari saat melihatnya tegar ber-matic ke Limbong.

img20190909153729-5db62cef097f365c3a413aa2.jpg
img20190909153729-5db62cef097f365c3a413aa2.jpg
Kapok dan tidak akan ke Limbong lagi? Tidaklah.. karena itu tugas dan tanggung jawab. Tetap rindu untuk melihat kembali kepolosan anak-anak gunung. Juga rindu akan cerita perjalanan kawan. Tentang kaseknya disangka tukang ojek karena motornya menggunung ransum dan peralatan, atau tentang gurunya ke sekolah menembus hutan dari gunung sebelah. Semoga diberikan kesehatan dan kesempatan untuk selalu kembali berbagi suka dan duka, di sekolah berselimut awan.

(#2, jurnal kepengawasan_limbong)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun