Mohon tunggu...
Aji NajiullahThaib
Aji NajiullahThaib Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Seni

Hanya seorang kakek yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mahfud MD: Pedang Hukum di RI Tumpul

29 Januari 2024   11:43 Diperbarui: 29 Januari 2024   11:43 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Tempo.co


Koalisi partai pada pemerintahan berikutnya akan lebih gemuk dari Koalisi sebelumnya. Melihat konstelasi politik menjelang hari pemilihan, sudah bisa diprediksi berdasarkan tingkat elektabilitas pasangan mana yang akan menjadi pemenang.

Pasangan manapun yang akan menjadi menang, tentunya gerbong koalisinya akan bertambah. Pemilu hanyalah seremonial demokrasi, yang mempertontonkan pertarungan antar koalisi partai. Capres-Cawapres adalah jagoan yang dipertaruhkan.

Namun, pada galibnya kepentingan politik partai tetaplah diprioritaskan. Ada koalisi pemenang, dan ada pula koalisi oposisi. Namun, biasanya tidak banyak partai yang siap menjadi oposisi. Berada di dalam lingkaran kekuasaan adalah cara untuk bertahan hidup sebuah partai.

Ini sesuatu yang tidak bisa dihindari, kepentingan politik partai di atas segalanya. Bahkan, hukum pun harus mengakomodir kepentingan politik partai yang ada di dalam koalisi.

Sebagai rakyat, kita hanya kembali menjadi penonton perilaku elite partai politik. Jangan pernah bermimpi bahwa hukum bisa ditegakkan di negara ini, selama kepentingan politik partai harus diutamakan.

Rakyat tetap menjadi objek hukum, yang digunakan sebagai alat untuk meyakinkan, bahwa hukum ditegakkan. Padahal, seharusnya penanda hukum ditegakkan bukan cuma rakyat yang menjadi objek hukum.

Selama hukum diintervensi politik, maka selama itu pula penegakan hukum hanya menjadi jargon politik. Bagi saya, memastikan apa yang saya perkirakan sesuai kenyataan, adalah sebuah kepuasan. Setidaknya, menjadi tanda saya pernah berpikir dan memikirkan.

Tidak menutup mata juga kalau ada kader partai terjerat kasus korupsi. Tapi, bukan berarti itu sebagai bukti hukum ditegakkan. Ada juga kasus hukum yang menjerat kader partai, yang sampai saat ini tidak pernah tuntas diselesaikan. Contohnya kasus Harun Masiku, yang sampai saat ini tidak tahu di mana rimbanya.

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, sampai diujung jabatannya angkat bendera putih terhadap penegakan hukum di Republik Indonesia. Dalam 'clossing Statement-nya' saat Debat Cawapres Kedua mengatakan, "Pedang Hukum di RI tumpul"

Bayangkan, seorang Pendekar Hukum yang pedangnya dikenal sangat tajam, tidak berdaya mengayunkan pedangnya. Lantas, bagaimana Hukum bisa ditegakkan? Seperti pepatah, "Buruk Rupa Cermin Dibelah."

Mahfud juga mengatakan, kalau banyak tambang illegal dibeking aparat. Artinya, Mahfud tahu ada pelanggaran Hukum, namun tidak bertindak. Tanpa ada tindakan, maka selamanya Hukum tidak bisa ditegakkan.

Memang tidak bisa dipungkiri, Mahfud tidak bisa bertindak sendiri. Tapi, sebagai Menkopolhukam, bisa koordinasi dengan aparat penegak hukum yang ada dibawah koordinasinya.

Tidak aneh kalau UU Perampasan Aset tidak bisa digolkan DPR. Logikanya, partai koalisi pemerintah menguasai lebih dari setengah parlemen. Kenapa tidak bisa meloloskan UU Perampasan Aset? Apakah karena  kepentingan berjama'ah lebih penting dari kepentingan pemerintah?

Untuk merampungkan pengesahan UU Perampasan Aset tersebut DPR menginginkan pemerintah mengikuti mekanisme dan aturan yang berlaku, tidak ujug-ujung disampaikan dan langsung dibahas dalam Paripurna DPR.
ketika ditanyakan mengapa Surpres RUU Perampasan Aset tak kunjung dibacakan dalam rapat Paripurna DPR. Ketua DPR, Puan Maharani memberikan alasan,

"DPR sedang memfokuskan untuk bisa menyelesaikan RUU yang ada di komisi masing-masing, maksimal dua RUU diselesaikan dalam satu tahun," kata Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa. (Sumber)

Politisi PKS, Hidayat Nur Wahid, dari kalangan partai oposisi meminta pemerintah untuk lebih fokus hadirkan substansi dan menghentikan gimmick terkait RUU Perampasan Aset. Sebab, gimmick tersebut dinilai akan mengaburkan masalah yang tidak diperlukan.

"Yang disampaikan oleh Menkopolhukam tersebut kan 'baru akan' mengirimkan. Hal itu baru akan mengirimkan draf RUU itu ternyata juga dikuatkan oleh pernyataan Presiden Joko Widodo, yang karena baru akan mengirimkan draf RUU maka Supres-nyapun belum diterbitkan oleh Presiden Jokowi. Kita tunggu dan penting publik ikut mengawal realisasinya. Semoga bisa segera dikirimkan dalam satu atau dua hari ke depan. Sesuai Konstitusi, Indonesia adalah negara hukum," jelas Wakil Ketua MPR ini. (Sumber)

Jadi, memang tidak ada keseriusan untuk menuntaskan UU Perampasan Aset, baik pemerintah maupun DPR. Partai koalisi pemerintah yang ada di parlemenpun tidak ikut mendorong agar draf UU perampasan aset segera diajukan.

Bagaimana mungkin hukum bisa ditegakkan kalau Lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif tidak memiliki kesamaan kepentingan dalam hal penegakan hukum. Yang terlihat saling sandera satu sama lainnya.

Pada akhirnya yang terlihat, kader partai politik harus terhindar dari menjadi objek hukum, tidak boleh menjadi pesakitan. Alasannya, mereka orang terhormat, yang harus dijaga kehormatannya. Cukup rakyat yang menjadi objek hukum. Kalaupun kader partai menjadi objek hukum, cukup sebatas seremonial untuk kepentingan media.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun