Mohon tunggu...
Aji NajiullahThaib
Aji NajiullahThaib Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Seni

Hanya seorang kakek yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Frustasi karena Mempertahankan Jabatan

30 Mei 2021   11:07 Diperbarui: 30 Mei 2021   11:27 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya teringat ucapan almarhum Gus Dur yang sangat inspiratif, "Orang yang masih terganggu dengan hinaan dan pujian, adalah hamba yang amatiran."

Sepintas kata-kata di atas terkesan kocak, tapi kalau dicermati lebih dalam maknanya sangatlah dalam. Hinaan dan pujian itu adalah ujian keimanan, tidak perlu merasa rendah karena di hina, dan tidak perlu melambung karena disanjung.

Kita merasa terhina karena merasa terhormat, merasa tersanjung karena tidak memiliki kepercayaan diri. Sehingga tidak siap secara mental ketika menghadapi hinaan dan sanjungan.

Ada yang begitu kelimpungan ketika kehilangan Jabatan. Bahkan ada yang sampai frustasi. Kenapa mesti takut kehilangan Jabatan? Padahal Jabatan itu adalah amanah yang di titipkan-Nya, yang setiap saat bisa dicabutnya tanpa bisa kita pertahankan.

Apakah dengan kehilangan jabatan kita akan terhina? Jelas tidak, kalau kita mengimani bahwa jabatan itu hanyalah titipan Tuhan. Faktor utama seseorang kehilangan jabatan itu adalah, karena tidak ada lagi kepercayaan dari Sang Pemberi Amanah.

Kalau kita mengimani itu, tidak akan ada lagi persoalan yang harus dipermasalahkan. Secara kasat mata bisa saja terlihat bahwa copotnya jabatan tersebut karena ada rekayasa manusia, tapi di balik semua itu karena ada campur tangan Yang Maha Kuasa.

Tidak perlu seperti cacing kepanasan,  atau frustasi di saat kehilangan jabatan, tanya pada diri sendiri, kesalahan apa yang sudah dilakukan. Tidak perlu mencari pembenaran dengan mengkambinghitamkan orang lain kalau pada akhirnya semakin membuka kesalahan sendiri.

Agak aneh kalau ada orang yang merasa terhina karena kehilangan jabatan, sehingga dia berusaha mencari pembenaran atas kesalahan yang dilakukannya. Seakan-akan dia tidak bisa menerima kenyataan, dan tidak merasa kalau jabatan itu hanyalah titipan.

Orang-orang seperti ini biasanya terbiasa hidup di atas berbagai sanjungan, merasa terhormat dan sangat dibutuhkan. Namun jatuh terpuruk saat kehilangan jabatan, dan berusaha mencari kesalahan orang lain atas kesalahan yang dilakukannya.

Gus Dur juga pernah bilang:

"Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu di pertahankan mati-matian."

Pernyataan Gus dur ini pun manifestasi dari mengimani kekuasaan Tuhan, juga meyakini bahwa jabatan itu hanyalah titipan Tuhan. Tuhan berhak atas apa yang dititipkannya terhadap manusia. Dan hak-Nya juga untuk mengambil jabatan yang dititipkannya tersebut.

Apa pun ikhtiar kita untuk mempertahankan jabatan tidak akan ada artinya, kalau memang sudah waktunya jabatan tersebut harus diambil-Nya. Bisa jadi membuat kita semakin terpuruk dan ternista hanya karena mempertahankan jabatan tersebut.

Simak perkataan Imam Syafi'i terkait jabatan:

"Barang siapa yang ingin menjadi seorang pemimpin, niscaya kedudukan yang didambakanya itu akan meninggalkanya, dan jika ia telah menduduki jabatan, maka ia akan ditinggalkan banyak ilmu." (Jago Kata) 

Sementara Pramoedya Ananta Toer menganggap tidak ada artinya jabatan dan sebagainya bagi dirinya,

"Memang berita mutasi tidak pernah menarik perhatianku; pengangkatan, pemecatan, perpindahan, pensiunan. Tak ada urusan! Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya." (Jago Kata)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun