Mohon tunggu...
Aji NajiullahThaib
Aji NajiullahThaib Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Seni

Hanya seorang kakek yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menyoal Marahnya Jokowi yang "Pakai Teks"

30 Juni 2020   10:05 Diperbarui: 30 Juni 2020   11:06 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padahal, marahnya Jokowi tersebut didalam Ratas Kabinet yang sifatnya tertutup, bahkan tidak semua menteri hadir. Kemarahan itu menjadi konsumsi publik, setelah video itu di publikasikan Sekretariat Presiden.

Menurut saya, sangat keliru kalau dikatakan marahnya Presiden Jokowi itu menggunakan teks, karena fungsinya teks yang berada di tangan Jokowi, menyangkut data-data yang digunakan sebagai bahan bahasan.

Setelah 10 hari baru di publish ke publik jelas ada impact-nya bagi kementerian yang menjadi sorotan Jokowi, seharuanya intruksinya sudah di jalankan.

Tujuan untuk mem-publish video tersebut, menurut saya semata agar masyarakat tahu bahwa Presiden sudah memberikan teguran kepada jajaran kabinetnya.

Memang kalau pada akhirnya menimbulkan kesan, Presiden Jokowi sudah membuka aib para menterinya yang berkinerja buruk. Tapi hal seperti itu, tidak dibuka kepublik pun pada akhirnya nanti tetap akan diketahui.

Tidak ada keburukan yang bisa tersimpan dengan rapi, layaknya bangkai mau dibenamkan kebumi pun cepat atau lambat akan tercium juga baunya.

Persoalan kinerja adalah soal kualitas dan mental personal, yang memang tidak bisa diabaikan begitu saja. Harus ada tindakan kongkrit untuk mengatasinya, salah satu caranya adalah mengganti Menteri yang memang tidak mumpuni.

Jadi kesimpulan saya, teks yang ada ditangan Jokowi, bukanlah teks yang dibaca agar kemarahan Jokowi tekstual, tapi teks tersebut berisikan data yang menjadi sumber kemarahan Jokowi.

Kemarahan Jokowi tersebut dalam Ratas Kabinet, yang memang tidak untuk di konsumsi oleh publik pada awalnya. Namun kalau setelah sepuluh hari berselang  baru disebarluaskan ke publik, itu menjadi soal lain lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun