Padahal, marahnya Jokowi tersebut didalam Ratas Kabinet yang sifatnya tertutup, bahkan tidak semua menteri hadir. Kemarahan itu menjadi konsumsi publik, setelah video itu di publikasikan Sekretariat Presiden.
Menurut saya, sangat keliru kalau dikatakan marahnya Presiden Jokowi itu menggunakan teks, karena fungsinya teks yang berada di tangan Jokowi, menyangkut data-data yang digunakan sebagai bahan bahasan.
Setelah 10 hari baru di publish ke publik jelas ada impact-nya bagi kementerian yang menjadi sorotan Jokowi, seharuanya intruksinya sudah di jalankan.
Tujuan untuk mem-publish video tersebut, menurut saya semata agar masyarakat tahu bahwa Presiden sudah memberikan teguran kepada jajaran kabinetnya.
Memang kalau pada akhirnya menimbulkan kesan, Presiden Jokowi sudah membuka aib para menterinya yang berkinerja buruk. Tapi hal seperti itu, tidak dibuka kepublik pun pada akhirnya nanti tetap akan diketahui.
Tidak ada keburukan yang bisa tersimpan dengan rapi, layaknya bangkai mau dibenamkan kebumi pun cepat atau lambat akan tercium juga baunya.
Persoalan kinerja adalah soal kualitas dan mental personal, yang memang tidak bisa diabaikan begitu saja. Harus ada tindakan kongkrit untuk mengatasinya, salah satu caranya adalah mengganti Menteri yang memang tidak mumpuni.
Jadi kesimpulan saya, teks yang ada ditangan Jokowi, bukanlah teks yang dibaca agar kemarahan Jokowi tekstual, tapi teks tersebut berisikan data yang menjadi sumber kemarahan Jokowi.
Kemarahan Jokowi tersebut dalam Ratas Kabinet, yang memang tidak untuk di konsumsi oleh publik pada awalnya. Namun kalau setelah sepuluh hari berselang  baru disebarluaskan ke publik, itu menjadi soal lain lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H