Di kelas masyarakat menengah kebawah, berbagai aturan yang diterapkan  pemerintah, baik pemerintah daerah atau pun pemerintah pusat, belum sepenuhnya dipatuhi.
Kerumunan massa masih terus terjadi, anjuran physical distancing tidaklah terlalu dimengerti. Memang PSBB tidak membatasi aktivitas masyarakat, namun tidak diaplikasikannya physical distancing, sangat kontradiktif dengan pemutusan penyebaran covid-19.
Ambiguitas semua regulasi yang dikeluarkan pemerintah, membuat semua aturan tersebut menjadi tidak efektif dalam penerapannya. Alhasil, semua yang dilakukan tidak lebih dari sebuah seremonial penggelontoran anggaran secara besar-besaran, namun hasilnya tidak tepat sasaran.
Dana Bansos untuk masyarakat sangat rawan untuk disunat, bahkan nilai sembako yang dibagikan tidak mudah dideteksi akurasi nilai yang sebenarnya, saat digelontorkan dari pemerintah pusat, sampai pada kecamatan.
Pesta pora anggaran di tengah darurat bencana selalu terjadi, tidak meratanya pembagian dana bansos dan sembako, bagi masyarakat yang membutuhkan, bisa memicu gejolak sosial di tengah bencana.
Mental aparatur pelaksana tanggap darurat dilapangan belumlah berubah. Mencari kesempatan di tengah kesempitan masyarakat masih terus terjadi.
Situasi darurat menciptakan berbagai aturan yang tidak transparan, sistem yang dibuat pun atas nama darurat, sehingga semua bisa ditutupi oleh apa yang dinamakan keadaan darurat.
Inilah yang pada akhirnya mengakibatkan, "anggaran habis, namun rakyat tetap binasa". Semoga saja ini tidak terjadi, semua aparat yang diterjunkan di tengah darurat bencana, masih memiliki naluri kemanusiaannya, yang menempatkan kemanusiaan diatas kepentingan pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H