Mohon tunggu...
Aji NajiullahThaib
Aji NajiullahThaib Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Seni

Hanya seorang kakek yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Isi Telegram Kapolri Salahnya di Mana?

12 April 2020   10:03 Diperbarui: 12 April 2020   10:20 1616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Kapolri Jenderal Idham Azis (dok. Divisi Humas Polri)

Tidak ada yang salah sebetulnya dengan isi telegram Kapolri, dalam rangka mengantisipasi keadaan, ditengah pandemi corona. Intruksi tersebut sifatnya tindakan prepentif yang memang harus dilakukan institusi Polri, sebagai penjaga keamanan.

Kekuatiran yang berlebihan terhadap telegram tersebut, justeru menciptakan kegaduhan politik, disaat semua pihak sedang ingin menciptakan situasi yang kondusif, ditengah situasi pemerintah sedang fokus menangani wabah corona.

Dalam surat telegram itu, Kapolri menginstruksikan agar jajarannya melaksanakan patroli siber untuk monitoring situasi berita opini, dengan sasaran hoaks terkait covid-19, serta hoaks terkait kebijakan pemerintah dalam menangani wabah virus corona.

Dimana letak kesalahannya intstruksi tersebut? Kalau ditafsirkan berbagai pihak dengan tafsir yang berbeda itu wajar saja, semua tergantung kepentingan untuk menafsirkannya. Isi instruksi itu sendiri sebetulnya tidaklah berlebihan.

Kapolri mempunyai legitimasi untuk mengeluarkan instruksi tersebut, karena dipundak institusi Polri lah tanggung jawab keamanan masyarakat, ditengah pandemi corona saat ini.

Pakar Hukum Pidana Indriyanto Seno Adji berpandangan Surat Telegram Kapolri ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 mengenai penghinaan terhadap penguasa umum termasuk presiden, memiliki legitimasi sah. Telegram merupakan implementasi penegakan hukum terhadap perkembangan situasi serta opini di ruang siber.

Indriyanto menuturkan, penerbitan ST/1100 ini juga dalam konteks pelaksanaan Kepres No 11/2020, PP No.21/2020 dan Perppu No.1/2020 yang kesemuanya dalam rangka pencegahan penyebaran wabah virus corona atau Covid-19. (Sumber) 

Yang dihadapi pemerintah saat ini bukan cuma pandemi corona, tapi juga ancaman stabilitas keamanan, yang merupakan dampak dari penyebaran virus corona. Dan ternyata, kekuatiran Kapolri itu ada dasarnya.

Kemarin aparat kepolisian menangkap sekelompok orang yang ingin merencanakan makar, dengan cara menyebarkan provokasi lewat grafiti, yang berisi kata-kata menghasut untuk melakukan pembakaran, guna menciptakan kerusuhan.

Mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), pun tidak ketinggalan merespon telegram tersebut dengan sangat lebaynya. Telegram Kapolri itu dianggapnya bisa membungkam hak masyarakat untuk menyatakan pendapat.

Bahkan SBY sempat mengeluarkan pernyataan, semasa pemerintahannya tidak pernah ada masyarakat yang ditangkap karena menghinanya. Jelas ini sesuatu yang berlebihan, karena jejak digital tentang penangkapan aktivis, dimasa pemerintahan SBY tidak bisa dihapus begitu saja.

Kalau melihat isi dari telegram tersebut, apa yang dilakukan Kapolri adalah tindakan yang bersifat prepentif, tidak ada sama sekali kesan ingin membungkam masyarakat dalam mengemukakan pendapat.

Pada kondisi sekarang ini, semua orang merasa sedang menyatakan pendapat, meskipun apa yang disampaikan adalah kabar bohong, caci-maki dan penghinaan. Tidak bisa membedakan seperti apa menyatakan pendapat diranah publik.

Mencaci-maki dan menyerang pribadi seseorang pun dianggap sebagai sebuah kritik, padahal sebuah kritik itu harus disampaikan secara konstruktif, dan dilengkapi dengan data, juga dengan solusinya.

Kritik bukanlah tempat untuk meluapkan kebencian tanpa adap dan etika. Kritik harus disampaikan secara elegant, bukan dengan cara-cara yang emosional dan tidak beretika.

Inilah yang sedang dipantau pihak kepolisian sekarang ini. Disamping itu, adanya kepentingan sekelompok orang yang ingin memanfaatkan pandemi corona saat ini, untuk melakukan makar terhadap pemerintahan yang sah dan legitimate.

SBY sebagai seorang negarawan, apa apa lagi merupakan seorang mantan militer, seharusnya bisa melihat apa yang ada dipermukaan sekarang ini secara lebih dalam dan jauh, tidak cuma sebatas pasal penghinaan terhadap Presiden.

Yang lebih aneh lagi pernyataan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, yang mendesak Kapolri mencabut telegram tersebut, seperti yang dilansir Tribunews.com,

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, aturan tersebut membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan kepolisian dan penegak hukum untuk bersikap represif.

Padahal, di tengah kesusahan akibat situasi darurat kesehatan saat ini, warga seharusnya lebih dilindungi.

"Atas nama penghinaan Presiden dan pejabat negara, telegram itu berpotensi memicu pelanggaran kemerdekaan berpendapat, yang juga dijamin oleh Peraturan Internal Kapolri sebelumnya. Amnesty mendesak pihak berwenang untuk menarik surat telegram tersebut," kata Usman lewat keterangan tertulis, Senin (6/4/2020).

Kalau saja memahami secara substantif apa yang ada dalam isi telegram Kapolri tersebut, tentunya tidak gegabah dalam mengeluarkan pernyataan. Apa yang dilakukan Kapolri itu adalah hal yang biasa, sesuai dengan kaasitas dan tanggung jawabnya.

Apa yang bisa Amnesty International Indonesia, kalau seandainya apa yang dikuatirkan Kapolri itu benar-benar terjadi, siapa yang akan ber tanggung jawab? Apakah SBY atau Amnesty international Indonesia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun