Mohon tunggu...
Aji NajiullahThaib
Aji NajiullahThaib Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Seni

Hanya seorang kakek yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hati Luhut yang Terlanjur Luka

9 April 2020   08:54 Diperbarui: 9 April 2020   08:57 2501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Said Didu tidak ingin minta maaf, dan itu memang haknya. Begitu juga Luhut, tetap akan menyeret Said Didu ke meja hijau, itu pun haknya Luhut. Kita yang ada diluar panggung perseteruan itu, cuma bisa menonton seperti apa babak akhir ceritanya.

Pernyataan Said Didu sudah melukai hati Luhut, karena pernyataan Said Didu yang menuding Luhut cuma memikirkan uang, uang dan uang itu sangat memperburuk citranya, baik dimata masyarakat, maupun dimata keluarganya.

Keduanya mendapatkan pelajaran yang berharga dari peristiwa ini, Said Didu yang tadinya tiada hari tanpa nge-twit, terlebih lagi sejak dicopot dari komisaris PT. Bukit Asam, harusnya mulai bisa membedakan mana serangan yang mengarah ke pribadi, mana pula yang ke arah kebijakan.

Begitu juga dengan Luhut, akan menjadi lebih sadar kalau posisinya selalu menjadi sorotan publik, jadi tahu apa yang dibicarakan menjadi konsumsi publik, juga bisa menolak tugas disaat merasa sudah over capacity.

Tidak ada yang bisa melarang Luhut untuk memperkarakan Said Didu, meskipun Said Didu sudah mengirimkan surat sebagai klarifikasi. Luhut berhak menolak klarifikasi tersebut, karena apa yang disampaikan juga hanya berupa dalih.

Luhut sudah memberikan kesempatan lebih dari 2 x 24 jam untuk Said Didu meminta maaf, namun Said Didu tetap tidak ingin minta maaf, dia menganggap dengan meminta maaf itu artinya dia sudah mengakui kesalahan, sementara dia merasa tidak bersalah menyerang pribadi Luhut.

Euforia sebagai penyuara kebenaran sudah menyelimuti Said Didu, sehingga dengan jumawa dia menganggap mendapat banyak dukungan atas kesalahan yang sudah dia lakukan, dia pun lupa kalau manusia tempatnya salah dan khilaf.

Sementara Luhut pun menganggap apa yang sudah dilakukannya, dengan memperkarakan Said Didu, adalah untuk menegakkan kebenaran. Hukumlah nanti yang menentukan siapa yang benar, dan siapa yang salah.

Kebenaran yang harus diperjuangkan adalah kebenaran yang universal, bukanlah kebenaran atas sudut pandang pribadi atau kelompok. Semua kita adalah pejuang kebenaran, untuk menegakkan amar ma'rif nahi munkar.

Tapi juga, tidak bisa hanya atas dasar nafsu dan ego pribadi. Acuan kebenaran dinegara hukum adalah hasil keputusan hukum. Itulah yang mendasari Luhut memperkarakan Said Didu, agar tahu siapa yang benar, dan siapa yang salah.

Setiap orang pasti tidak terima kalau diserang secara pribadi. Pejabat publik yang patut diserang adalah kebijakannya, bukanlah karakter dan pribadinya. Menyerang kebijakan adalah tindakan yang konstitusional, dan dilindungi undang-undang.

Secara hukum harus diklarifikasi, apakah yang dilakukan Said Didu termasuk pelanggaran hukum atau tidak. Untuk mengetahui duduk perkaranya, maka perlu dibawa kepengadilan.

Padahal kasus ini seharusnya bisa diselesaikan tanpa harus ke pengadilan, masih ada ruang pemaafan, namun rupanya ruang tersebut tidak ingin dimanfaatkan oleh Said Didu, karena dia merasa apa yang dilakukan sudah benar.

Sebagai masyarakat, teladan apa yang bisa kita peroleh dari kasus perseteruan antara mantan pejabat negara dengan pejabat negara ini? Tidak ada, keduanya hanya memperlihatkan ego pribadinya masing-masing.

Keduanya tidak bisa memberikan teladan, bagaimana sebaiknya menjaga lisan, mengumbar ucapan dan ujaran kebencian secara berlebih-lebihan di media sosial, adalah manifestasi dari sikap frustasi yang tidak bisa dikendalikan.

Sama juga dengan mengumbar ucapan yang tidak penting, hanya karena sedang memegang kekuasaan, itu pun bukan teladan yang baik dari sseorang pejabat negara.

Ditengah krisis dan kemelut yang sedang dihadapi negara dan bangsa saat ini, sangat dibutuhkan keteladanan, baik dari pejabat negara yang sudah tidak aktif, maupun yang masih aktif.

Bagaimana menghadapi masalah bangsa ini dengan saling bergandengan tangan, bukan dengan menciptakan permusuhan. Biar bagaimana pun, pemimpin itu adalah teladan bagi masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun