Jokowi patut jengkel dan kecewa, karena beberapa program pemerintah hasilnya tidak sesuai dengan harapannya. Disamping itu, beberapa menterinya masih menjalankan tugas, hanya sebatas rutinitas, tanpa inovasi, dan tidak bekerja secara maksimal dalam melaksanakan program pemerintah, terkait kementerian masing-masing.
Dalam satu minggu, dua kali  Presiden Jokowi meluapkan kejengkelan dan kekecewaannya kepada jajaran menteri kabinetnya,
Kekecewaan pertama, terungkap saat kepala negara membuka rapat terbatas dengan topik pembahasan akselerasi program tol laut di Kantor Presiden, kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (5/3/2020).
"Saya ingin ingatkan bahwa tujuan awal dari tol laut adalah mengurangi disparitas harga. Baik itu antar wilayah, antar pulau, antar daerah, serta satu lagi memangkas biaya logistik yang mahal," tegas Jokowi dilansir dari CNBCIndonesia.com.
Program Tol laut, diluar dugaan Jokowi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Padahal adanya Tol laut diharapkan dapat mengurangi kesenjangan dan disparitas harga yang terjadi diberbgai wilayah Indonesia, adanya Tol laut tujuannya agar biaya logistik dalam pengiriman barang antar wilayah bisa lebih murah.
Pada kenyataannnya tidaklah demikian, persoalannya, jumlah muatan antara pengiriman dari Barat ke Timur, tidak sama dengan jumlah muatan dari Timur ke Barat. Saat Tol laut mengirim logistik dari Barat ke Timur, kapalnya penuh, tapi ketika kembali ke Barat, jumlah muatannya tidak sebanyak dari Barat ke Timur.
Ketidak-seimbangan ini sangat mempengaruhi biaya logistik, sehingga biaya logistik antar wilayah lebih mahal jika di bandingkan dengan biaya logistik antar negara. Sehingga efektivitas keberadaan Tol laut melenceng dari tujuan.
Berdasarkan laporan yang diterima kepala negara, biaya logistik antar daerah saat ini masih mahal. Misalnya, seperti biaya pengiriman barang dari Jakarta ke Padang, Jakarta ke Medan, Jakarta ke Banjarmasin.
"Jauh lebih mahal dibandingkan biaya pengiriman dari Jakarta ke Singapura, Jakarta ke Hongkong, Jakarta ke Bangkok, dan Jakarta ke Shanghai," tegas Jokowi.
Ini sebetulnya persoalan yang pada awalnya kurang diperhitungkan, dalam rencana pengadaan Tol laut. Kementerian yang terkait dengan hal ini, seharusnya sudah memikirkan sejak awal, Presiden sebagai konseptor, dan menteri sebagai eksekutor dari gagasan tersebut, mestinya sudah ikut memikirkan segala hal yang akan menjadi kendala program Tol laut tersebut.
Kekecewaan kedua, terkait kinerja jajaran menterinya yang masih mengerjakan hal-hal yang bersifat rutinitas, sehingga tidak berusaha untuk lebih inovatif, lebih mempunyai inisiatif dalam menjalankan tugas sebagai menteri.
Kekecewaan ini diluapkan Jokowi, saat mendengar kabar ada sejumlah industri yang mengeluh karena kekurangan bahan baku. Mulai dari komoditas gula, garam, hingga gula. Kemarahan ini diluapkan Presiden saat membuka rapat rapat kerja Kementerian Perdagangan di Istana Negara, kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (4/3/2020).
Di depan jajaran menteri maupun pengusaha, Jokowi mengungkap alasannya kerap kali terlihat melontarkan kekesalannya terhadap kinerja para menteri. Kepala negara mengaku tak kuasa menahan amarahnya.
"Ini persoalan mudah tetapi menjadi sulit karena kita rutinitas. Tidak merespon, tidak memiki feeling bahwa sekarang ini keadaan sulit. Sudah supply sulit, masuk di sini malah dipersulit," kata Jokowi.
"Yang saya lihat pertumbuhan makanan dan minuman itu naik. Mestinya kapasitas ini naik dong. Kapasitas supply bahan bakunya. Itungannya setiap tahun kita punya kok. Berapa sih kebutuhan garam industri? Berapa sih kebutuhan gula industri? Ada semuanya," tegasnya.
Kalau yang dikerjakan menteri hanya hal-hal yang bersifat rutinitas, maka langkah untuk melakukan inovasi, dan antisipasi atas kebutuhan industri dan masyarakat memang tidak bisa sesuai yang diharapkan, karena bersifat pasif, tidak pro-aktif, menunggu perintah, tanpa berusaha melihat realitas kebutuhan yang ada.
Presiden Jokowi memang perlu mengevaluasi jajaran kabinetnya yang dianggap kurang efektif, karena semua kesalahan dan kegagalan program pemerintah, bertumpu pada tanggung jawab Presiden, sementara menteri yang terkait, sama sekali tidak memiliki resiko dari tanggung jawabnya.
Negara ini diselenggarakan kalau cuma hanya bertumpu pada Presiden seorang, maka penyelenggaraan negara tidak akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Seorang menteri diangkat dan dipilih, untuk bertanggung jawab terhadap beban kerja kementeriannya, bukan cuma menungg perintah Presiden, meskipun tidak ada visi dan misi menteri, yang ada cuma visi dan misi Presiden.
Justeru kewajiban menteri menjalankan visi dan misi Presiden, sesuai dengan kapasitas kementerian, dan tanggung jawab, demi mensukseskan visi dan misi Presiden. Kalau ada kementerian lain bisa meng-implementasikannya secara benar, kenapa tidak diikuti, dan dijadikan motivasi untuk melakukan hal yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H