Mohon tunggu...
Aji NajiullahThaib
Aji NajiullahThaib Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Seni

Hanya seorang kakek yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hukum di Indonesia Bisa Dipesan dan Dibeli?

21 Desember 2019   22:23 Diperbarui: 21 Desember 2019   23:17 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD tentang aturan hukum di negara kita ini masih kacau balau. Bahkan, lebih miris lagi menurutnya, peraturan yang dibuat karena ada pesanan dari seseorang untuk kepentingan tertentu.

Ini sebuah pernyataan yang serius dan otentik, sebagai Mantan Ketua MK, pastinya pernyataan Mahfud MD ini bisa dipercaya akurasinya. Ini sebuah persoalan yang serius, dan perlu dicarikan jalan penyelesaiannya.

Bagaimana tidak seperti itu, yang merancang aturan hukum adalah para anggota DPR, yang latar belakangnya pengusaha dan juga kader partai politik. Sementara partai sendiri punya kepentingan, begitu juga bagi yang mempunyai latar belakang sebagai pengusaha juga punya kepentingan untuk melindungi usahanya.

Ini sangat terlihat nyata, dari aturan hukum yang kacau balau, dan masih tumpang tindih. Satu aturan terkesan melarang tapi pada aturan lainya malah memberikan regulasi. Satu kementerian berusaha untuk membasmi para mafia, yang nota bene adalah rerata pengusaha, namun di Kementerian lain ingin mengubah aturan sanksi bagi pengusaha yang nakal, hanya dihukum dengan sanksi administrasi.

"Problem kita itu sekarang dalam membuat aturan hukum itu sering kacau balau, ada hukum yang dibeli, pasal-pasalnya dibuat karena pesanan itu ada. UU yang dibuat karena pesanan perda juga ada. Disponsori oleh orang-orang tertentu agar ada aturan tertentu," kata Mahfud saat membuka kegiatan Suluh Kebangsaan, di Hotel Aryaduta, Gambir, Jakarta Pusat seperti dilansir dari Detik.com, Kamis (19/12/2019).

Sinyalemen Mahfud MD ini perlu ditelusuri kebenarannya, kalau bagian ini pun sudah dikuasai oleh Mafia Hukum, yang dikendalikan oleh para pengusaha yang ingin memuluskan kepentingan usahanya, maka kita patut berduka, karena hampir disemua lini dalam penyelenggaran negara ini sudah diisi oleh para Mafia.

Jadi sangat wajar kalau semua upaya pemerintah dalam penegakan hukum terasa sangat terhambat. Memang melalui Omnibus Law, pemerintah sedang memperbaiki berbagai aturan hukum diberbagai bidang. Dibidang perpajakan juga Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengeluarkan omnibus perpajakan, yang juga menjadi prioritas tahun ini tahun 2020.

Upaya ini pun belum teruji efektifiyasnya, karena efektif atau tidaknya sebuah aturan baru terlihat hasilnya jika sudah diaplikasikan. Nah inikan artinya semua masih dalam rangka coba-coba. Kita sih percaya kalau pemerintah serius untuk membenahi semua aturan hukum yang masih kacau balau tersebut.

Yang lebih penting lagi adalah persoalan penegakan hukum yang masih dirasakan masyarakat tidak memenuhi rasa keadilan. Hukum di negara ini seperti punya mata, hukum melihat dulu siapa yang menjadi tersangka, bisa jadi lepas dari dakwaan hukum kalau yang bersangkutan memiliki kekuatan dan pengaruh.

Kalaupun sudah menjadi tersangka, hukuman yang diberlakukan bisa berat, bisa juga ringan. Kalau aturan hukum saja bisa dibeli dan dipesan sesuai kepentingan, begitu juga penegakan hukumannya. Inilah yang biasanya membuat hukum sangat sulit untuk ditegakkan.

Bagi masyarakat kecil, hukum dianggap hanya tajam kebawah, dan tumpul keatas. Bagi rakyat kecil, hukuman yang diterima bisa terasa begitu berat, berbeda dengan mereka yang tersangkut kasus korupsi, fasilitas penjara pun bisa mereka beli. Seperti yang dikatakan Mahfud MD terkait penegakan hukum,

"Lalu di bidang penegakan, kita sudah tahu juga penegakan hukum di Indonesia menjadi masalah sekarang ini, rasa keadilan sering ditabrak oleh formalitas-formalitas hukum. Oleh otoritas-otoritas yang mengatakan kamu berpendapat begitu, kami kan yang memutuskan misalnya. Lalu timbullah rasa ketidakadilan, nah inilah penegakan hukum," katanya.

Hal seperti ini harusnya tidak boleh terjadi, inilah juga PR Presiden Jokowi dalam 5 tahun periode keduanya. Kalau pada periode pertama banyak pengamat menilai dalam hal penegakan hukum, pemerintahan Jokowi belum optimal, karena hukum menjadi alat kekuasaan.

Dikatakan menjadi alat kekuasaan karena dalam penerapan pasal makar, terhadap masyarakat yang berbeda sikap dengan pemerintah. Ada kesan penggunaan pasal tersebut untuk membungkam masyarakat, juga ada beberapa kasus yang belum bisa diselesaikan, salary satunya kasus Novel Baswedan.

Kasus Novel ini menjadi catatan khusus bagi masyarakat, karena sudah berganti Kapolri pun sampai saat ini kasus Novel belum bisa dituntaskan. Padahal Presiden Jokowi sudah sempat mengatakan secepatnya akan diungkap, sementara sikap Kapolri sendiri belum bisa memberikan kepastian.

Persoalan hukum ini adalah persolan yang serius harus bisa dituntaskan. Jangan lagi ada aturan hukum yang bisa dibeli dan dipesan oleh orang-orang yang mempunyai kekuasaan dan yang. Hukum harus menjadi panglima dalam menegakkan keadilan. Penegakan hukum harus memenuhi rasa keadilan.


Sumber: Satu / Dua / Tiga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun