Berbicara tentang berketuhanan tentunya kita tidak bisa lepas dari bagaimana suatu pemahaman tersebut mula-mula tercipta. Pengetahuan tentang ketuhanan secara singkat tercipta dengan istilah Teologi. Secara etimologi Teologi berasal dari bahasa yunani yaitu Theologia yang terdiri dari kata "Theos" artinya "Tuhan" dan "Logos" yang berarti "Ilmu". Jadi teologi berarti "Ilmu tentang Tuhan".
Teologi di jelaskan dalam id.wikipedia.org yaitu suatu ilmu yang mempelajari tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama atau ilmu tentang Tuhan. Istilah teologisasi sendiri merujuk pada kecenderungan dalam menggunakan suatu persepsi teologis dalam perbincangan atau diskusi segala permasalahan tentang manusia.
Begitu pula dalam Islam, kata teologi yang bergandengan dengan Islam merupakan ilmu yang membahas tentang fakta-fakta dan gejala-gejala agama dan hubungan-hubungan antara Tuhan dan Manusia. Dengan begitu dapat dijelaskan bahwa "Teologi Islam" merupakan ilmu yang secara sistematis membicarakan tentang persoalan ketuhanan dan alam semesta menurut perspektif Islam yang harus diimani, dan hal-hal lain yang terkait dengan ajaran Islam yang harus diamalkan, guna mendapatkan keselamatan hidup (dunia dan akhirat) (elearning.uinsu.ac.id).
Dalam sejarahnya, paham tentang teologi Islam muncul dikarenakan persoalan yang ada di dalam kalangan umat Islam sendiri. Yang mana pada masa itu, umat Islam selalu mengaitkan kehidupan sehari-harinya dengan penilaian agama, seperti masalah: halal atau haram, berpahala atau dosa, kafir atau tidak.
Khususnya persoalan politik yang menjadi sumbangsih besar munculnya berbagai macam faham-faham teologi dalam Islam. Dimana Islam dipandang sebagai sebuah sistem agama, juga sistem politik, serta Nabi Muhammad yang merupakan seorang Rasul juga sebagai seorang kepala negara. Masalah teologi ini datang setelah wafatnya Nabi Muhammad, yang mana sebagai seorang Rasul beliau tidak dapat digantikan namun sebagai seorang kepala negara tidak demikian.
Mengutip dari Rihlah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan, keretakan umat Islam dalam masalah teologi diawali dengan perkara "keabsahan" pengganti Nabi Muhammad sebagai kepala negara atau sebagai khalifah. Sejalan dengan pengertian tersebut dalam Achiriah & Laila Rohani, (2018) dijelaskan bahwa pada masa pergantian Nabi Muhammad sebagai kepala negara yang digantikan oleh Abu Bakar disetujui secara mayoritas masyarakat Islam kala itu menyetujui akan pergantian tersebut, yang kemudian Abu Bakar digantikan oleh Umar ibn al-Khattab serta setelahnya digantikan oleh Usman ibn Affan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa pada masa pemerintahan Usman ibn Affan dalam enam tahun pertama tidak terjadi persoalan yang berarti, namun setelahnya pada enam tahun kedua mulai terjadi konflik yang cukup besar yang mana Usman ibn Affan memberhentikan para gubernur yang tadinya diangkat oleh Umar ibn al-Khattab yang kemudian menggantinya dengan orang-orang dari keluarganya.
Dari hal tersebut, melahirkan petaka pada kepemimpinan Usman ibn Affan. Muncul pemberontak dari Mesir yang berkumpul dan kemudian bergerak ke ibu kota Madinah. Pada akhirnya terjadi bentrokan di kota Madinah yang kemudian mengakibatkan Usman ibn Affan terbunuh oleh pemberontak. Setelah khalifah Usman ibn Affan terbunuh, kepemimpinan digantikan oleh Ali ibn Abi Thalib.
Tak menunggu lama, kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib langsung mendapat tentangan dari dari pemuka-pemuka yang ingin menjadi khalifah. Pertama, tantangan itu dari Talhah dan Zubair dari Mekah yang mendapat sokongan dari 'Aisyah. Tantang ini dapat dipatahkan dalam pertempuran di Irak di tahun 656 M. Tantangan kedua datang dari Mu'awiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga dekat Usman ibn Affan. Ia menuntut Ali supaya menghukum pembunuh Usman bahkan ia menuduhnya terlibat dalam soal pembunuhan itu dengan alasan bahwa salah seorang pemberontak Mesir datang ke Madinah dan kemudian membunuh Usman adalah Muhammad ibn Abu Bakar anak angkat Ali ibn Abi Thalib.
Terjadi pertempuran di Siffin antara kelompok Ali dan kelompok Mu'awiyah, yang dimenangkan oleh kelompok Ali. Namun kemudian tangan kanan dari kelompok Mua'wiyah bernama 'Amr ibn al-Ash mengusulkan untuk berdamai dari perselisihan tersebut yang di setujui oleh Ali ibn Abi Thalib. Dari setujunya Ali akan usulan tersebut memunculkan pertentangan dari pendukung Ali ibn Abi Thalib, yang dalam perkembangan selanjutnya mereka itu disebut Khawarij (orang-orang yang keluar memisahkan diri).Â
Kelompok Khawarij berpendapat bahwa pemberontakan Mu'awiyah tidak dapat diselesaikan dengan tahkim. Putusan hanya dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum Al-Qur'an. Oleh sebab itu, Khawarij memandang bahwa orang-orang yang menerima permintaan bertahkim dari perselisihan tersebut adalah adalah kafir.
***
Dari persoalan tentang seorang yang berbuat dosa mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan pemikiran Teologi Islam. Persoalan tersebut menciptakan tiga aliran pemikiran teologi dalam Islam.
Pertama, aliran Khawarij yang menyatakan bahwa orang-orang yang berdosa besar adalah kafir dalam arti keluar dari Islam atau murtad dan karenanya ia wajib dibunuh. Aliran kedua, Murji'ah yang menegaskan bahwa orang berbuat dosa besar tetap mukmin dan bukan kafir. Sedangkan dosa besar yang dilakukannya terserah Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.
Kemudian aliran Mu'tazilah, sebagai aliran yang ketiga tidak menerima pendapat-pendapat terdahulu. Bagi mereka yang berdosa besar bukan kafir dan bukan pula mukmin. Orang yang demikian menurut mereka berada pada posisi di antara dua posisi mukmin dan kafir atau manzilah bainal-manzilatain (tempat diantara dua tempat yakni antara surga dan neraka).
Dalam perkembangannya, lahirnya ketiga aliran Teologi Islam tersebut menciptakan dua aliran yaitu al-Qadariyah dan al-Jabariyah. Qadariyah menganggap manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya tanpa ada campur tangan Tuhan dalam mewujudkannya. Sedangkan Jabariyah berpendapat semua kehendak dan tindakan manusia digerakkan oleh Allah.
Dalam Rihlah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan menyebutkan bahwa tidak hanya faktor politis yang menyebabkan munculnya perbedaan pada paham teologi, faktor lain yang menyebabkannya adalah faktor pertemuan antara ajaran Islam dengan kebudayaan lain. Juga tentang pemahaman ayat Al Quran, yakni kadar pengetahuan dan penghayatan umat Islam terhadap nash-nash agama, yang kelihatannya ada beberapa ayat yang tidak sejalan, sehingga terjadilah penafsiran terhadap ayat-ayat Al Quran dan al Hadist yang berbeda antara ulama yang satu dengan yang lainnya.
***
Dari banyaknya paham serta pemikiran-pemikiran dalam Islam seperti apa yang dijelaskan di atas, maka ada baiknya bila kita mengedepankan sikap keterbukaan dalam berbagai corak pemikiran yang ada. Mencoba melihat secara objektif, tentang apa dan bagaimana suatu pemikiran tercipta.
Siti Majidah (2021) dalam artikelnya menyebutkan bahwa keterbukaan "akan melahirkan rasa tasamuh diantara kita karena dengan begitu kita tidak selalu merasa paling benar sebab seperti dengan apa yang diucapkan oleh Rasulullah saw, 'bahwa sebuah kebenaran ada di setiap zaman dan tempat'. Juga al-Imam as-Syatiby yang selalu menggalangkan akan cita humanisme global antar sesama golongan".
***
Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini terdapat banyak kekurangan, untuk itu pribadi penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan yang ada dalam penulisan. Salam hangat untuk semua pembaca, serta tak lupa ucapan terima kasih karena telah berkunjung...
Referensi:
Achiriah & Laila Rohani, 2018. Sejarah Peradaban Islam. Medan: Perdana Publishing
Siti Majidah (2021). Menelusuri Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam. ibtimes.id
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H