Istilah Wali, dapat dikatakan sebagai penyebutan orang-orang suci yang menjadi guru yang mengembara, sedangkan istilah Syekh di Jawa dapat dikatakan untuk menyebut tokoh yang berkonotasi keilmuan. Demikian pula sebutan "Songo" yang dalam bahasa Indonesia berarti sembilan, namun bukanlah berarti jumlah wali itu sembilan akan tetapi sebutan itu untuk menunjukkan kesempurnaan pribadi para wali, sebab angka sembilan dalam budaya Jawa dianggap keramat dan angka itu dianggap paling sempurna.
Dari beberapa wali yang diketahui namanya, beberapa diantaranya dapat diketahui sedikit identitas dan asal-usulnya, yakni:
- Maulana Malik Ibrahim, dengan nisan yang ditemukan di Gresik diduga bahwa la berasal dari Gujarat, sebab bentuknya mempunyai kesamaan dengan bentuk tembok kuil Hindu di Gujarat. la mengembangkan dakwahnya di Gresik.
- Sunan Ampel, yang memiliki nama asli yaitu Raden Rahmat, la berasal dari Campa, Vietnam Selatan. Ayahnya adalah Ibrahim Al-Samarkand yang berkelana ke China untuk dakwah Islam, tetapi mendapat kesulitan lalu beralih ke vietnam, sedangkan adiknya dijadikan Permaisuri oleh raja Majapahit.
- Sunan Giri, yang memiliki nama asli yaitu Raden Paku, la merupakan putra Maulana Ishak, ulama yang datang dari luar Jawa yang dibina oleh Raden Rahmat untuk menjadi penyebar Islam di Jawa. Digelari dengan sunan Giri karena daerah yang diislamkan adalah daerah Giri.
- Raden Hamzah, merupakan seorang putra dari Raden Rahmat. Ia bertugas melaksanakan dakwahnya di Singasari, Tumapel dan karenanya ia digelari Pangeran Tumapel.
- Raden Hasan, merupakan putra dari Sri Kertabumi dan Ia ditempatkan di Bintara. la merupakan menantu dari Raden Rahmat.
- Sunan Bonang, yang memiliki nama asli yaitu Raden Makdum Ibrahim, merupakan putra sulung dari Raden Rahmat yang bertugas dakwah di Daha.
- Sunan Drajat, Ulama yang diberi gelar Sunan Drajat pertama adalah Raden Mahmud, putra dari Raden Rahmat.
- Syekh Siti Jenar, yang memiliki nama asli yaitu Syekh Abdul Jalil. Gelar Siti Jenar diberikan kepadanya karena la bertugas di Lemah Abang (Tanah Merah). Cerita mengenai dirinya masih diliputi rahasia yang belum jelas. Ada yang menyebutkan bahwa nama Siti Jenar hanya gelar yang berasal dari bahasa Persia. Jin dan Nar yang berarti orang yang mempunyai kekuatan seperti api.
- Raden Qasim, la ditugaskan di majagung. Raden Qasim belum diketahui asal-usulnya sebenarnya, dimungkinkan la adalah seorang Maulana yang datang dari luar lalu kemudian dibina oleh Raden Rahmat.
- Usman Haji, sebagaimana Raden Qasim demikian pula Usman Haji ini, belum juga diketahui asal-usulnya.
Semua Ulama yang telah disebutkan adalah ulama yang sempat bertemu dengan Raden Rahmat semasa hidupnya. Setelah Raden Rahmat wafat, 1524 M, datang Syekh Nurullah dari mengerjakan haji di Mekkah.
Syekh Nurullah sendiri merupakan seorang yang berasal dari Pasai, tetapi tidak kembali ke Pasai setelah pulang dari Mekkah karena Pasai saat itu sedang dikuasai Portugis. Syekh Nurullah juga digelari Sunan Gunung jati karena ia dimakamkan di daerah Gunung Jati. Orang Barat mengenal Syekh Nurullah dengan nama Falatehan. la menjalankan dakwahnya di bagian barat Jawa, yaitu Cirebon dan Banten.
Kemudian Sunan Kalijaga yang menggantikan kedudukan gurunya, yaitu sunan Bonang, Ia mengembangkan dakwahnya di Jawa Tengah. Dalam dakwahnya, ia tetap berpegang pada tradisi setempat, yang diformulasikan dengan tradisi Syi'ah. Hal ini disebabkan ia banyak berdakwah di pedalaman dan selalu berhadapan dengan Syekh Siti Jenar.
Sunan Giri yang Sunni sebenarnya tidak setuju dengan langkah Sunan Kalijaga itu, tapi Wali yang lain berusaha menjaga keseimbangan antara keduanya. Langkah yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga itu kemudian menimbulkan bentuk sikap muslim Jawa yang disebut dengan Islam Abangan.
***
Gerakan Islamisasi di Jawa, dilakukan dengan mengembangkan Pendidikan, membangun masjid, mengembangkan tasawuf, mengembangkan tradisi keagamaan, mengembangkan bela diri pencak silat, mengembangkan wayang kulit, dan mengubah azas Matriakhat ke Patriakhat, serta menetapkan perundang-undangan.
Keluwesan para Wali dalam menyebarkan dakwah di pulau Jawa dapat dilihat dari, bagaimana mereka menyeimbangkan ajaran islam dengan tradisi/ budaya yang berlaku di masyarakat. Mereka mengembangkan tradisi yang berkaitan dengan Islam seperti maulid Nabi, Nisfu Sya'ban, hari raya Idul Fitri dan Hari Raya ketupat (hari kedelapan syawal), hari raya kurban, dan sebagainya. Golongan Syi'ah juga membuat upacara-upacara yang diisi dengan unsur keislaman, seperti Sradha (upacara hindu untuk memperingati hari ketiga, ketujuh dan keempat puluh kematian) dengan membaca tahlil.
Percepatan ajaran Islam semasa dilakukan oleh para wali tersebut, dikarenakan faktor dari semakin melemahnya kekuasaan kerajaan Majapahit. Dari melemahnya kerajaan tersebut, sering terjadi kekacauan keamanan di masyarakat sehingga para santri yang memiliki bekal bela diri tampil menggantikan petugas keamanan. Sehingga pesantren tidak hanya berperan sebagai pendistribusian ajaran islam dan tempat keagamaan, namun juga berperan dalam kehidupan sosial masyarakat. Sehingga dari hal tersebut Islam menjadi semakin populer.