Mohon tunggu...
Ajeung ReihanSyafia
Ajeung ReihanSyafia Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

writing is journey

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Consent Ataukah Keberpihakan?

25 Maret 2022   16:03 Diperbarui: 25 Maret 2022   16:03 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Belum lama ini, publik di media sosial sempat diramaikan oleh cuitan dari akun twitter resmi Polri @DivHumas_Polri mengenai tanggapan atas kasus yang menimpa anggotanya Bripda Randy yang melakukan kekerasan seksual berupa pemerkosaan dan pemaksaan aborsi terhadap kekasihnya yaitu Novia Widyasari. Dalam cuitan tersebut, Wakapolda Jawa Timur Brigjen Slamet Hadi Supraptoyo saat konferensi pers di Maporles Mojokerto mengatakan “Setelah resmi berpacaran, mereka melakukan seperti layaknya suami istri dan berlangsung sejak tahun 2020 sampai 2021.”

Pernyataan tersebut mengundang kemarahan publik sekaligus tanda tanya besar mengenai sudah sejauh manakah Lembaga Polri dalam memahami consent dalam hubungan seksual? Atau alih-alih pemahaman yang kurang, cuitan tersebut bisa mengindikasikan adanya keberpihakan Polri terhadap Bripda Randy tersangka yang tidak lain dan tidak bukan adalah anggota dari Lembaga Polri itu sendiri. Bukan hanya itu pernyataan Polri juga akan menimbulkan efek yang berbahaya yaitu kesalahpaham dalam memaknai consent dalam hubungan seksual.

Statement “melakukan seperti layaknya suami istri” di sini sudah jelas bahwa Polri menganggap apa yang dilakukan oleh Bripda Randy terhadap Novia Widyasari sudah memenuhi consent karena merujuk pada kalimat sebelumnya, yaitu “setelah resmi berpacaran” sehingga Polri menarik benang merah bahwa karena mereka telah resmi memiliki status berpacaran maka apa yang mereka lakukan ke depannya pasti atas dasar suka sama suka dan telah memenuhi consent bahkan dikatakan layaknya hubungan suami istri.  Consent sendiri secara umum memiliki arti yaitu, sebagai pemberian persetujuan yang tidak dipaksakan (voluntary agreement). Dalam hubungan seksual terdapat beberapa syarat agar consent ini dapat terpenuhi salah satunya, consent hanya dapat diberikan jika seseorang benar memahami berbagai risiko dari situasi yang sedang dihadapinya. Seseorang yang dibohongi atau diancam untuk bersedia melakukan hubungan seksual tidak bisa dianggap telah memberikan persetujuan. Dalam hal ini, consent bertindak sebagai pagar dan pelindung bagi setiap orang yang terlibat dalam hubungan seksual. Seseorang tidak bisa dipaksa untuk melakukan sesuatu jika dia tidak menghendakinya. Apabila melihat syarat tersebut maka sudah jelas bahwa tidak ada consent dan jauh dari pernyataan layaknya hubungan suami istri. Saksi menyebutkan bahwa Novia di bawa ke hotel, dicekoki obat, diperkosa kemudian dipaksa mengugurkan kandungannya dan berakhir dengan Novia yang mengakhiri hidupnya di samping makam ayahnya.

Apabila dilihat dari kacamata pragmatik yang mengkaji mengenai tindak tutur. Searle mengemukakan bahwa secara pragmatik ada tiga jenis yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi dan tindak tutur perlokusi dan pernyataan yang dikemukan oleh Polri termasuk ke dalam kategori tindak perlokusi.

Tindak perlokusi merupakan tindak tuturan yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur. Melalui cuitannya Polri berusaha untuk mempengaruhi masyarakat agar memaklumi apa yang telah dilakukan oleh Bripda Randy terhadap Novia, Polri ingin mengubah pandangan masyarakat bahwa Bripda Randy ini tidak melakukan kekerasan seksual melainkan Bripda Randy dan Novia melakukaannya atas dasar suka sama suka layaknya hubungan suami istri. Pernyataan Polri ini sangat jelas sekali memperlihatkan keberpihakannya kepada tersangka. Tujuannya jelas untuk menjaga nama baik dari Polri.

Selain itu, tindak perlokusi merujuk pada efek yang dihasilkan penutur dengan mengatakan atau melakukan suatu tindakan. Tuturan yang diutarakan seseorang sering kali mempunyai daya pengaruh atau efek bagi yang mendengarnya. Tindak tutur ini dapat disebut dengan the act of effecting someone. Yang dilupakan oleh Polri adalah akibat dari statement yang mereka keluarkan. Dengan masyarakat membaca tweet resmi dari lembaga besar, lembaga yang mengayomi ini maka masyarakat akan semakin terkurung dalam pemikiran bahwa setelah menyandang status berpacaran atau menikah maka pasangan bisa bebas bertindak sesuai apa yang mereka mau tanpa memikirkan kerugian apa yang akan diterima dari Tindakan-tindakan itu. Lebih jauh lagi, akan semakin sulit mencari ruang aman bagi perempuan. Ketika perempuan menjadi korban pasti selalu sulit untuk mendapatkan keadilan dan pembelaan, kasus kekerasan seksual terus bermunculan dan berujung pada trauma korban yang sulit untuk disebuhkan.

Oleh karena itu, sebagai lembaga yang sudah seharusnya memberikan keamaan kepada masyarakat, ketika mendapati kasus kekerasan seksual, sekecil apapun itu, yang pertama harus dilakukan adalah berdiri di samping korban dan jangan sampai mengeluarkan pernyataan menyudutkan korban apalagi sampai berpihak pada tersangka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun