Akhir-akhir ini, di medsos makin banyak teman yang membagikan ceramah agama yang dengan sengaja membandingkan dengan agama lain. Perbandingan yang macam-macam, terkadang ada yang sampai menyentuh perasaan terdalam. Kemudian komen yang diberikan bisa ditebak, nyerempet ke kasus penodaan agama yang menimpa Bapak Ahok.
Saya pun berpikir, kapan ini akan berakhir? Ketika Pak Ahok sudah mengikhlaskan diri dengan menerima hukumannya, ternyata beratus orang di luar sana tidak demikian. Mereka saudara kita, merasa tersakiti dan mulai mengekor setiap ceramah agama. Sedikit saja membandingkan, bisa dijadikan bahan obrolan, dikomen, bahkan ada yang berkata "Kenapa tidak dipidana orang seperti ini?"
Bertahun silam, saat masih SMA saya aktif mengikuti kajian keagamaan. Tidak sedikit memang yang berusaha mencari celah kesalahan agama lain. Kemudian saat berselancar di dunia maya, hingga kasus kartun Charlie Hebdo yang mengguncangkan dunia, modusnya juga sama, mencari retak-retak agama lain. Semua mencari kesalahan.
Pertanyaannya adalah, apakah pemasaran agama macam begitu cukup efektif? Maaf saya menyebut sebagai pemasaran, yang kemudian bisa disebut sebagai dakwah atau misi misionaris atau sebutan lainnya. Sebab tak lain yang dilakukan adalah mengenalkan sesuatu dengan segala kelebihannya. Tapi tujuannya amat sangat berbeda dan berorientasi lintas dimensi, yakni kebaikan dunia akhirat.
Saya sendiri seiring berjalan waktu, memandang bahwa pilihan atas sebuah agama adalah panggilan hati nurani. Tidak perlu menjelekkan agama lain, menakut-nakuti, tentu akan dengan sepenuh kesadaran mengikuti agama tertentu. Bahkan cara terbaik adalah dengan tindakan. Tindakan terbaik akan memenangkan hati setiap orang. Seperti Ari Lasso bilang " Sentuhlah ia tepat di hatinya."
Mengapa kita tidak mencoba mencintai agama kita seperti mencintai seseorang? Tanpa syarat dan perbandingan. Kalau sudah kesengsem, katanya "Tai kucing rasa cokelat". Agama lebih mulia, pasti rasanya lebih enak bukan? Kalau sudah cinta, mengapa pula kita butuh untuk menjelekkan yang lainnya? Fokus hanya satu, tidak sibuk dengan lainnya. Coba deh, tanya sama anak puber yang lagi jatuh hati. Pasti hanya bertaut pada satu hal dan tidak sempat menjelekkan lainnya.
Mencintai agama akan membuat hidup berwarna dan memberikan kekuatan luar biasa.
Sekarang, mengapa kita tidak meninggalkan budaya saling menjelekkan? Sebab kalau yang jelek akan semakin jelek dan yang bagus akan jadi jelek. Sama toh hasilnya, jelek semua.
Apakah tidak cukup firman Alloh yang berkata "Untukmu agamamu dan untukku agamaku" dan "Tidak ada paksaan masuk agama ini?" Entahlah tiap ingat dua ayat itu, perasaan saya selalu bergetar. Mengapa kita sedemikian jauh meninggalkan langkah Rasulullah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H