Dunia tulis menulis sebenarnya memang sudah lama menjadi idola saya, bahkan sejak masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK). Saat TK saya sudah menghasilkan beragam puisi yang terinspirasi oleh majalah Bobo. Memang Bapak sengaja berlangganan majalah anak-anak tersebut untuk aku dan kakakku. Jadilah semua puisi buatan saya akan mengambil kata-kata dari Bobo, seumpama di Bobo disebutkan kata “Tokoh sejati”, maka dalam puisi ala saya muncul pula “tokoh sejati”. Pokoknya puisi saya mirip sekali dengan cerpen-cerpen yang saya baca.
Majalah Bobo Edisi Tahun 1992 (Tokopedia.com)
Adalah ibu saya, orang yang berjasa mengumpulkan puisi-puisi tulisan cakar ayam tersebut. Jadilah sampai sekarang, jika saya sedang malas atau lamban maka puisi tersebut menjadi inspirasi untuk bergerak dan terus bergerak lebih cepat. Menulis dan menulis, berinspirasikan segala hal dalam hidup saya.
Menginjak SMP, saya pun ingin terus menulis. Bertemulah saya dengan Bapak Barokah Santoso yang biasa kami panggil Pak Oka. Seorang guru yang sangat keren menurut saya. Saat itu, sebagai seorang guru Bahasa Indonesia, beliau sudah sangat sering bepergian ke luar negeri. Kata beliau, ia menjadi pengajar Bahasa Indonesia di Australia. Untuk ukuran anak pegunungan seperti kami, hal itu sungguh luar biasa. Dari Bapak Oka ini saya paham mengenai kata-kata yang tidak boleh terlalu banyak diulang, dan memang karya sastra terlalu banyak pengulangan kata kurang enak dinikmati. Ibarat kopi kebanyakan gula, sehingga tidak terasa pahitnya.
Karya-karya muridnya yang terbaik selalu dipamerkan di ajang nasional. Sungguh aku ingin sekali karyaku dibawa oleh beliau. Jadilah aku mengarang cerita yang lebih tepatnya menceritakan kembali sebuah dongen dengan judul “Mug Kecil”. Kutulis dengan bolpoin biru dengan kertas folio yang murahan. Sehingga saat sampai di sekolah wujudnya sudah nggak karuan, sebab aku kehujanan saat berangkat.
Saat pelajaran Bahasa Indonesia siang itu, aku segera memberikan karyaku yang sudah sedikit lecek. Bukan tugas, namun tantangan untuk muridnya yang mau mengikuti sebuah pameran. Beliau menerima karyaku dengan malas, sambil berkata, “Nanti saya baca di rumah.” Saat meninggalkan ruangan, karyaku hampir ditinggalkannya namun dengan semangat kukejarkan pada beliau. Lagi-lagi Pak Oka merasa malas menerima karya lecek tersebut. Melihat wajah guruku demikian, maka aku semakin gila dan ingin menulis terus sampai karyaku menjadi benar-benar dapat dinikmati.
Gara-gara Pak Oka, aku jadi rajin menulis buku harian. Ada yang berbahasa jawa, sebab Bapakku demikian bangga dengan bahasa jawa yang memiliki beragam tingkatan dan aku juga ikut-ikutan bangga. Ada Bahasa Indonesia, yang ini sudah pasti sebab aku belajar dari Pak Oka dengan Bahasa Indonesia. Ada pula Bahasa Inggris, terjadi sebab aku ingin sekali menguasai bahasa asing.
Beranjak ke SMA, aku masih senang menulis namun hanya sebatas di buku harian. Hingga kemudian aku berkenalan dengan anak-anak Badan Dakwah Islam (BDI), disana mereka menghasilkan majalah mini dua mingguan. Aku tidak bergabung dengan jurnalis sekolah hanya karena tidak percaya diri, sebab disana tergabung anak-anak keren yang sepertinya aku tidak mampu menyamainya. Jadilah aku mengamankan diri bergabung dengan BDI, sekaligus memperdalam ilmu agama.
Di semester dua kelas 1 SMA, aku mengirim sebuah artikel tentang Isra’ MI’raj ke majalah mini BDI. Diterima dengan baik oleh kakak-kakak BDI, namun sampai aku naik ke kelas dua, artikel tersebut tidak pernah diterbitkan. Belakangan, saat aku akan lulus SMA dan membantu membersihkan ruangan BDI, aku baru tahu kalau artikelku dijadikan sampul salah satu buku kecil.
Aku masih belum menyerah. Tidak akan kubiarkan karyaku dibuang begitu saja. Kuambil kembali artikelku dan kusimpan untuk menjadi energi di saat aku menjadi lemah. Bergerak dan terus bergerak untuk menunjukkan diri pada dunia lewat tulisan. Buku harian menjadi pelarianku atas semua karya yang tidak pernah dimuat dan bahkan dibuang. Gara-gara insiden SMA ini, aku kemudian berlangganan Koran Kompas, Intisari dan Majalah Annida.
Uang saku tidak pernah kuhabiskan untuk jajan, namun dengan rela aku menggunakannya untuk setiap minggu membeli Koran Kompas untuk membaca kolom sastranya. Dua minggu sekali beli majalah Intisari dan Annida. Sungguh menghibur, menghilangkan ingatan tentang karya tulis yang tidak laku dan malah menghuni ruang sampah atau jadi sampul buku.
Aku belajar terus untuk menghasilkan karya yang mumpuni dan dapat masuk ke dunia penerbitan. Tapi aku sama sekali tidak tahu caranya. Ingin mengirim karya ke majalah atau koran, bayang-bayang dibuang masih membayangi. Jadilah aku hanya sangat gemar menenggelamkan diri pada membaca dan menulis dalam buku harian.
Masuk kuliah, aku mengambil jurusan Akuntansi, namun masih saja lebih menyenangi kolom sastra dibandingkan ekonomi bisnis. Saat pulang dari kampus dan ada yang menawarkan koran, segera kubeli dan kubaca mengenai sastra atau budaya. Sungguh sastra menjadi hiburanku selama kuliah. Sebagaimana di SMA aku
juga tidak tergabung dalam jurnalis kampus. Alasannya masih mirip, aku bukan orang jurnalis yang gila dengan sastra. Gara-gara tidak pernah benar-benar cinta dengan UKM yang saya ikuti, maka akupun memutuskan tidak ikut UKM apapun sejak semester tiga. Kuliah cukup kupu-kupu (kuliah pulang)*, sampai di rumah membaca cerpen, novel atau majalah. Tugas Akuntansi yang seabrek kukerjakan menjelang pagi. Bahkan kalau tidak ada tugas, maka aku bisa menghabiskan malamku untuk membaca sebuah novel. Novel “Ayat-ayat Cinta” di kala ngetrend-nya dahulu, kulalap hanya dalam waktu satu malam. Pukul dua baru tidur, padahal jam enam pagi harus berangkat kuliah.
Kurang makan dan kurang tidur, membuatku kurus dengan kantung mata menghitam. Dengan pola hidup macam begitu, akhirnya aku lulus dengan predikat “sangat memuaskan” dari salah satu kampus ternama di Malang.
Masuklah aku ke dunia kerja. Harus bekerja delapan jam dan waktu habis di jalan. Sebab tempat kerjaku aku di Malang dan aku pulang ke Batu. Ada yang menawarkan kost, tapi aku tidak tertarik. Rumah adalah tempatku berekspresi secara penuh. Penuh kebebasan seperti karya sastra. Menulia masih kulakukan, ya dengan buku harian.
Tidak sampai satu tahun aku mengajukan pengunduran diri, dan kemudian benar-benar menjauh dari rumah. Aku ke Bandung untuk menjadi bagian dari PT Pos Indonesia, sebagai auditor internal. Selama masa pelatihan, maka banyak waktu yang tersisa. Kost-an ku juga cukup dekat dengan tempat pelatihan, jadilah sisa waktu kupergunakan untuk makin banyak membaca beragam buku yang tersedia di Perpustakaan PT Pos Indonesia Pusat Jl. Cilaki. Dalam masa pelatihan tersebut kubaca novel N.H. Dini, Romo Mangun dan tentunya Andrea Hirata dengan “Laskar Pelangi”-nya. Semuanya menginspirasi-ku untuk kembali bergerak menulis.
Novel NH Dini (Sumber: hima-rain.blogspot.com)
Novel Romo Mangun (Sumber: nanskijoewono.com)
Novel Andrea Hirata (Sumber: id.wikipedia.org)
Setelah masa pelatihan dan berkeliling Jawa Timur, sebab aku ditempatkan di Divre Surabaya, maka aku menikah. Belum puas aku bekerja dengan BUMN berlambang burung merpati ini, aku dipaksa untuk resign. Marah dan putus asa pasti, apalagi Bapak dan Ibuku sama sekali tidak mendukung. Beliau berdua menginginkanku untuk tetap bekerja. Namun entahlah, aku tetap keluar sebab saran suamiku. Di masa akhir kerja, aku masih sempat ikut lomba penulisan di PT Pos Indonesia dan termasuk dalam tulisan terbaik dengan hadiah sejumlah uang. Uang tersebut tidak pernah kuterima sebab aku sudah keluar.
Kumulai hidup sebagai ibu rumah tangga murni. Tidak ada alarm yang mengingatkanku untuk bekerja, tidak ada tanggungan kerjaan kantor dan hanya di rumah. Membersihkan rumah dan masak adalah hal yang simpel dan dengan cepat kukerjakan. Ibu dan Bapak masih kurayu-rayu bahwa keputusanku benar adanya. Aku berada dalam masa yang sangat sulit, menyelaraskan pandangan banyak orang. Aku bertahan meski masih saja menangis di saat sendirian.
Demi memahami keadaan demikian, suamiku membelikanku beragam bacaan, mulai dari novel sampai majalah. Terhibur, sehingga aku tidak menjadi terlalu murung. Kemudian ia memasang internet di rumah. Aku mulai kembali menekuni layar komputer dan melakukan browsing.
Novel Sibuk Berat terjemahan dari I Don’t Know How She Does It (Sumber: whentheheartchimes.blogspot.com)
Masa itu aku sama sekali tidak ingin memperkenalkan jati diriku pada siapapun. Nomor HP sengaja kuganti, sehingga rekan-rekanku kampus atau SMA semua mencariku. Aku bersembunyi, ada perasaan malu sebab sekolah tinggi namun berakhir di dapur. Aku mulai membuat akun facebook dengan nama rahasia dan mulai mengikuti beragam ajang menulis online dengan rahasia pula. Aku mendaftar dengan menggunakan nama suamiku dan tentu saja akun suamiku, termasuk mendaftar dalam kompasiana.
Di kompasiana aku mendaftar menggunakan nama suamiku, dan salah satu tulisan yang fenomenal adalah “Mengapa Sekolah Begitu Berat?”. Semua orang menyapaku dengan Pak atau Mas, ya sebab akunnya bernama pria. Aku senang sekali, baru kali ini sepanjang hampir 20 tahun menulis, karyaku diapresiasi banyak orang. Tidak masuk highlight namun termasuk terekomendasi. Dari situ aku semakin yakin dengan lebih cepat bergerak dengan menulis, maka aku akan mengalami perubahan.
Setelah sukses di kompasiana, aku mengikuti beragam lomba penulisan artikel. Salah satu yang lolos adalah penulisan mengenai 10 tahun Lumpur Lapindo, tidak berhadiah uang, namun seabrek buku tentang lingkungan. Sekali lagi saya menjadi lebih percaya diri. Tulisanku tentang “Mug Kecil” kutulis ulang dengan beberapa editan dari suamiku, dan kukirimkan ke Majalah Bobo, tentu dengan nama suamiku. Hasilnya karya tersebut dimuat dan memperoleh honor. Honornya dapat kupergunakan untuk membeli gaun hari raya.
Penilaian orang-orang di SMP dan SMA ternyata tidak selamanya benar. Aku terus menulis dan berharap dapat masuk dunia penerbitan, namun masih tidak tahu caranya dan masih saja bersembunyi, sebab masih merasa malu. Kubaca dan kubaca, konon seorang penulis harus membuka dirinya di media sosial. Mulai kubuka diriku, beberapa teman kuliah kujadikan temanku di Facebook, mereke respon dengan baik seperti kehilangan sahabat lama.
Adalah Miyosi, sahabat kuliah sekaligus seorang penulis yang lebih senior, menawariku untuk ikut sebuah agensi naskah dan aku mengiyakan. Saat mengandung anak pertama aku benar-benar menandatangani SPK untuk menulis sebuah buku. Sungguh sebuah mimpi yang jadi kenyataan. Aku ingin berteriak menang kala itu, namun masih ragu apakah menulis memang jalanku. Sahabatku ini menguatkan. Dan aku mulai dengan basmalah dan nama pena Ajeng Wind.
Buku Gotong Royong Pertama yang kuselesaikan saat mengandung, masih menggunakan nama asli (Sumber: Dokpri Miyosi)
Jadilah dengan perut besar aku menulis dimanapun. Aku sangat menikmati dan bahagia dengan dunia baruku. Tahun pertama menulis aku menghasilkan dua buku yang sampai sekarang masih disimpan oleh sahabatku. Buku kedua kuselesaikan sambil menyusui, dan mencuri-curi waktu tidur anakku. Sungguh kebahagiaan yang lengkap dan datang bersamaan.
Buku Tes Potensi Akademik duet dengan Mbak Asri Candra, yang kuselesaikan sambil menyusui (Sumber: Dokpri Asri Candra)
Setelah menulis yang kedua, aku diajak untuk bergabung di sebuah agensi penulisan artikel online dan naskah buku di Bandung, Re Media. Dari sinilah kemudian banyak karyaku yang terbit, awalnya bukan naskah sesuai bidang kuliahku, ada herbal dan kesehatan. Jadilah kukerjakan dengan mengejar-ngejar narasumber dan ada pengambilan foto. Aku menjadi jurnalis seketika dengan bantuan si kecil dan Bapaknya. Ya, suamiku harus menanggung perbuatannya membuatku berhenti dari pekerjaan. Masih marah, tetapi sudah mulai sembuh dan terutama dikarenakan ada si kecil yang ganteng dan montok.
Buku Kesehatan Karya Pertamaku (Sumber: Dokpri)
Buku 500 Herbal China Untuk Daftar Kuliah Adik Di Jurusan Sastra (Sumber: Dokpri)
Buku Membuat Video Tutorial (Sumber: Dokpri)
Dari karya non akuntansi tersebut, aku bisa mendaftarkan adik kuliah dan membantuk sedikit keperluan rumah tangga orang tuaku. Bapak dan Ibu mulai melunak dan membiarkanku. Bapak sangat support dan bahkan menceritakan aktivitasku sebagai penulis kepada setiap tamu yang menanyakan profesiku saat ini. Dahulu aku selalu sembunyi jika ada teman Bapak yang datang. Aku tidak ingin mempermalukan kerja keras Bapak dan Ibu, dengan bilang tidak bekerja. Memang orang akan selalu bilang, tidak masalah tidak bekerja, namun sebenarnya di belakang mereka berkata “Ngapain sekolah tinggi-tinggi, kalau ujung-ujungnya tidak bekerja?” dan kata-kata itu sudah langsung kudengarkan saat aku menguping Ibu berbincang dengan sahabatnya. Hancur benar aku saat itu.
Makin lama berinteraksi dengan agensi naskah, aku tahu banyak dibutuhkan naskah akuntansi. Tentu saja untuk keperluan orang umum. Naskah pertama bukan merupakan karyaku asli, namun menambahkan milik seseorang yang sudah ahli di bidang akuntansi. Aku hanya sebagai figuran, ibarat sebuah film, namun aku tidak mau menyia-nyiakannya. Tawaran ini langsung kuterima dan tentu saja aku gembira, sebab menulis naskah sesuai jurusan kuliahku. Buku pertamaku berjudul “Komputer Akuntansi Untuk Pemula dan Orang Awam”, dengan penulis utama Pak Punto Wicaksono.
Buku Akuntansi Pertama (Sumber: Dokpri)
Setelah buku pertama yang menjadi figuran aku mendapat kepercayaan kembali untuk menulis mengenai Pajak, masih duet sebab penulis pertama Faiz Rosida, terpaksa tidak dapat melanjutkan dikarenakan melahirkan. Kesempatan yang datang karena terus bergerak.
Selanjutnya setiap ada penawaran tema Akuntansi, maka dengan cepat aku merespon. Respon tersebut bisa saja diterima atau ditolak, namun aku tidak peduli. Aku bergerak dengan terus menulis. Kalau ada yang ACC segera kukerjakan dengan semangat membara. Buku-buku kuliah kembali kucari. Ibu yang selalu tahu letak buku-bukuku terheran-heran, dan kemudian tersenyum penuh arti setelah kupaparkan alasannya. Ibu, Bapak dan Adik, terutama Suamiku bersatu mendukungku. Makin banyak karya bisa kubuat. Sepanjang tahun 2013 dan 2014, selain dua buku duet, tiga bukuku juga telah terbit, semuanya bertema akuntansi.
Buku Duet dengan Faiz Rosida (Sumber: Dokpri)
Gara-gara menulis aku kembali jatuh cinta dengan Akuntansi. Sekarang aku masih membaca sastra, namun peristiwa ekonomi-bisnis juga menjadi incaranku saat membaca koran. Sungguh menulis telah melengkapkan dan menemukan cita-cita dan kehidupanku. Apalagi respon rekan-rekan kuliah saat kupasang cover bukuku, sangat baik. Semua memberiku semangat dan bahkan berjanji untuk membacanya. Dalam email kutemukan banyak surat menanyakan mengenai perihal akuntansi atau bisnia, dan itu sangat membantuku untuk eksis.
Buku Soloku
Dengan bergerak lebih cepat lewat tulis menulis, aku kembali berani untuk menunjukkan diriku. Sejak 2013 akhir aku memiliki akun kompasiana sendiri, tidak lagi nunut sembunyi di akun nizamansoor. Di sinilah akun asli milikku yang kini lebih banyak kupergunakan untuk menulis perihal ekonomi-bisnis. Keinginan yang tidak kusadari, namun terus kujalani sejak lama.
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2014/11/21/jadilah-yang-kedua-dalam-bisnis-687764.html
http://green.kompasiana.com/polusi/2014/11/12/bbm-naik-awal-indonesia-go-green--686080.html
Menulis sebuah gerakan yang mengembalikan kepercayaan diriku dan dengannya aku perlahan mampu menyambut tantangan kehidupan yang silih berganti. Saat ini masih ada beberapa karya dalam bidang akuntansi masih dalam proses terbit dan penulisan. Begitu pula beberapa tema lain. Satu lagi keinginan adalah membuat karya sastra nonfiksi, sebab dari situlah saya mencintai dunia tulis menulis.
Maka jika dahulu seorang istri adalah 3 M yang merupakan singkatan dari Masak, Manak (melahirkan) dan Macak (berdandan), maka sekarang perlu ditambah 2 M lagi, yaitu Maca (Membaca) dan Makarya (Berkarya). Selamat berkarya dengan segala aktifitas positif anda hari ini!
*Kupu-kupu=kuliah pulang, kuambil dari istilah anak-anak sastra Universitas Negeri Malang. Thank's Bro! You are my inspiration.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H