Mohon tunggu...
Ajeng Rizqi Ningrum
Ajeng Rizqi Ningrum Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya merupakan mahasiswi semester 1 fakultas ekonomi jurusan perbankan syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Islam, Orba, dan Nasionalisme

25 Oktober 2023   23:24 Diperbarui: 25 Oktober 2023   23:35 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembangunan Orde Baru telah mendorong tingkat mobilisasi sosial-budaya yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan oleh prasarana transportasi publik yang lebih murah, perbaikan prasarana jalan dan rel serta komunikasi terus berkembang. Semua hal tersebut dapat meningkatkan akses masyarakat ke kota-kota besar. Isolasi relatif masyarakat desa terkuak dengan tersedianya radio-radio murah dan meningkatnya akses terhadap televisi. Bagi perluasan cakrawala intelektual, perkembangan media cetak di masa Orde Baru sangat membantu memberikan dasar-dasar bagi perkembangan yang lebih lanjut.

Akomodasi politik Islam menunjukkan perubahan persepsi diri di kalangan umat Islam. Maka dalam konteks ini, Islam yang tadinya berkembang tanpa politik, tiba-tiba mengalami perubahan-perubahan struktural yang sangat besar dimana berpengaruh terhadap umat Islam Indonesia. 

Didukung oleh lapisan-lapisan petani, pedagang menengah dan beberapa kalangan yang telah berada dalam posisi white collar job. Kehidupan politik dunia usaha di awal Orde Baru telah terkonsolidasikan ke dalam suatu organisasi bisnis yang menikmati dukungan finansial dari pemerintah sebagaimana menjadi saluran komunikasi utama antara masyarakat bisnis dengan pemerintah. Sebagai salah satu ciptaan Orde Baru, organisasi bisnis tersebut didominasi oleh kalangan bisnis yang tumbuh dari dalam aparatur Negara, terutama pada awal-awal tahun pembentukannya daripada kaum menengah Muslim.

Kenyataan baru ini menyentak kesadaran umat, terutama ketika mereka semakin menyadari betapa kecilnya peran politik mereka dalam proses restrukturisasi sosial-ekonomi dan politik di dalam problematika politik di masa Orde Baru. Maka keutuhan tidak bisa dipertahankan lagi. Perubahan situasi yang radikal itu haruslah dipahami dengan akidah yang baru. Pergeseran kesadaran ini telah menggoyahkan pendapat dan berkembang di kalangan umat Islam: bahwa negara Islam bukanlah alat tunggal untuk mewujudkan cita-cita ajaran Islam di muka bumi. Pada gilirannya, pergeseran pemikiran ini pula yang mendorong berbagai kelompok sosial di kalangan umat merumuskan kembali keberadaan dan ideologi yang diyakininya.

Namun, diimbangi dengan kegagalan yang berulang-ulang di dalam kancah politik Orde Baru, sisa-sisa kepemimpinan politik Islam di masa lalu itu semakin melemah di dalam ruang lingkup Orde Transisi BJ Habibie dan Orde Reformasi era Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono dewasa ini. Tahun-tahun terakhir perkembangan Islam Indonesia menyaksikan kemerosotan pengaruh kaum ideologis itu. Pengaruh tokoh-tokoh partai politik Islam di masa lampau masih tetap dihormati, namun gagasan negara Islam secara tajam telah merosot. 

Kemenangan Golkar yang berulang-ulang di dalam setiap pemilu masa Orde Baru dan juga dalam pemilu Orde Reformasi secara mencolok menunjukkan betapa intensifnya perubahan-perubahan ideologis di kalangan umat. Terlebih jika mengingat bahwa kemenangan-kemenangan Golkar itu justru terjadi di daerah-daerah yang sebelumnya menjadi pendukung konvensional partai-partai Islam.

Dengan melihat merosotnya gagasan negara Islam itu, umat kehilangan impian tentang Negara Madinah yang pernah dibayangkan (imagined state). Namun, pada 1997-1998 terjadi krisis ekonomi, politik dan sosial sehingga ada peluang di era reformasi untuk mengajukan model negara keadilan yang dibayangkan umat Islam. Maka, sudah waktunya para intelektual dan politikus Islam melakukan pencarian untuk membuka wacana Negara Madinah era Rasulullah yang dibayangkan. Bagaimanapun, konstitusi dan undang-undang Republik Indonesia yang ada, belum menjamin supremasi hukum, politik emansipatoris dan keadilan sosial sehingga perlu penyempurnaan atau amandemen.

Dalam situasi ini, berbagai kalangan Islam masih meyakini bahwa Piagam Madinah dan praktik pemerintahan era Rasululah SAW dan empat khalifah pendahulu sangat mungkin untuk dimanfaatkan sebagai sumber nilai dan inspirasi bagi hukum dan perundang-undangan di Indonesia. Selain akan membuat hubungan para intelektual dan politikus Islam mengakar dengan umat, hal itu juga akan mencegah kemungkinan timbulnya revolusi religius atau bahkan, anarkisme religius. Lagipula, konstitusi dan undang-undang yang ada akan diperkaya, disempurnakan dan didayagunakan. 

Hal ini juga akan mendorong golongan nasionalis sekuler dan non-Muslim untuk menyumbangkan pemikiran terbaiknya untuk hal yang sama. Islam pasca B.J. Habibie sampai era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), memiliki kesempatan untuk membangun kembali negara bangsa sesuai cita-cita proklamasi 1945 dengan konstitusinya yang juga dijiwai dan diinspirasikan oleh ajaran Islam.

Kini, di tengah euphoria reformasi, bangkit sudah Islamisme, Nasionalisme dan Marxisme. Dan yang menyedihkan, krisis ekonomi pada tingkat global dan nasional menindas gerakan Islamis, Nasionalis dan Marxis tanpa satupun dari mereka sanggup untuk mengatasinya secara konseptual maupun praksis. Melihat dari intelektual dan elite Islam, Nasionalis maupun Marxis kini kebingungan untuk menyeret Indonesia keluar dari multi krisis yang terjadi. Kepemimpinan nasional pada masa B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum berhasil secara mendasar dalam memecahkan masalah Ambon-Maluku, Aceh, Papua (Irian jaya) dan lain-lain, serta belum mampu memberdayakan masyarakat bawah yang sangat terpukul oleh badai krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998.

Akibat hal tersebut, yakni di lapisan kaum muda pergerakan Islamis, Nasionalis maupun Marxis, terjadi upaya mencari tafsir, perspektif dan tindakan sendiri-sendiri dalam menghadapi masalah sosial-ekonomi dan politik yang mendesak nurani. Kita belum lupa bahwa pasca jatuhnya Orde Baru masa Soeharto, memunculkan demo-demo kaum Islamis dan gerakan aktivis yang berkarakter Marxis, dimana keduanya tersebut memiliki tipologi gerakan yang berbeda ideologi. Namun, hal itu telah membangkitkan spirit gerakan kaum nasionalis radikal, sehingga persaingan kaum Islamisme, Nasionalis dan Marxis semakin mengental, meskipun tidak semuanya tampak menonjol di permukaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun