Konsep mandatory izin tinggal sendiri dirancang untuk menjadi instrumen kontrol yang efektif, dimana setiap pencari suaka dan pengungsi diwajibkan memiliki jenis izin tinggal tertentu yang sifatnya temporary. Klasifikasi terhadap jenis dan masa berlaku izin tinggal diatur melalui peraturan perundang-undangan. Melalui pendekatan ini, Pemerintah menegaskan peran dan kedaulatannya dalam pengelolaan pencari suaka dan pengungsi melalui instrumen organik. Pendekatan ini juga memungkinkan Indonesia untuk memperkuat posisi diplomatiknya dalam kerangka kerja sama internasional terkait migrasi dan pengungsi. Dengan mengintegrasikan prinsip keamanan dan HAM ke dalam kebijakan nasional, Indonesia dapat memberikan kontribusi yang lebih signifikan terhadap pengembangan solusi global yang berkeadilan dalam menangani masalah pencari suaka dan pengungsi melalui langkah-langkah kebijakan keimigrasian.
Mengapa hal ini perlu? Menilik kembali kasus pengungsi Rohingya di Aceh yang sempat menyita perhatian publik beberapa waktu yang lalu, dimana awalnya masyarakat masih menerima kedatangan pengungsi Rohingya karena alasan kemanusiaan dan rasa empati, namun situasi mulai berubah ketika pengungsi Rohingya diduga terlibat dalam berbagai tindakan yang dianggap melanggar norma lokal dan hukum. Keberadaan pencari suaka dan pengungsi yang tidak terkontrol dapat memicu berbagai potensi konflik, mulai dari ketegangan sosial hingga ancaman terhadap keamanan, yang pada gilirannya dapat melemahkan ketahanan nasional. Kejadian-kejadian ini tidak hanya menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat lokal tetapi juga memunculkan pertanyaan tentang pengawasan pemerintah terhadap pengungsi. Perubahan sikap masyarakat dari rasa empati menjadi ketidakpercayaan menunjukkan pentingnya pengaturan hukum terhadap pencari suaka dan pengungsi. Pada akhirnya, pengaturan tersebut bertujuan untuk menegakkan asas kesetaraan dalam hukum sebagai langkah preventif dan korektif dalam mengelola pengungsi.
Dengan penerapan prinsip mandatory izin tinggal, pencari suaka dan pengungsi tidak mendapatkan perlakuan istimewa melampaui hukum yang berlaku di Indonesia. Mereka wajib mematuhi peraturan keimigrasian, tunduk pada hukum positif dan merupakan subjek terhadap penindakan apabila terbukti melakukan pelanggaran. Hal ini penting untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan HAM dan kepentingan masyarakat lokal, termasuk hak atas keamanan, ketertiban, dan stabilitas sosial.
Penerapan prinsip ini juga memberikan sinyal yang jelas kepada masyarakat, bahwa pemerintah telah mengambil langkah tegas dan terukur dalam penanganan pencari suaka dan pengungsi. Melalui pengawasan yang efektif, masyarakat akan merasa lebih terlindungi, sementara pencari suaka dan pengungsi tetap mendapatkan akses ke layanan dasar sesuai dengan standar internasional. Dalam jangka panjang, kebijakan semacam ini mendukung resiliensi nasional dengan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi integrasi sosial tanpa mengabaikan hak-hak individu. Prinsip ini menciptakan keseimbangan antara kewajiban negara untuk melindungi warganya dan tanggung jawabnya dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal. Melalui pendekatan ini, diharapkan permasalahan pengungsi seperti di Aceh dapat dikelola dengan lebih baik, potensi konflik sosial dapat teratasi, dan posisi Indonesia sebagai negara yang berdaulat di mata internasional dan berkomitmen pada nilai-nilai kemanusiaan tetap terjaga.
The Principal-Agent Theory
Selama dua dekade terakhir, pengelolaan pencari suaka dan pengungsi di Indonesia telah menjadi persoalan yang kompleks dan seolah tidak pernah menemui titik akhir. Banyak dari mereka dibiarkan hidup dalam komunitas tertutup atau berbaur dengan masyarakat lokal tanpa pengawasan yang memadai. Contoh nyata dapat dilihat dari lokasi pencari suaka di kawasan Puncak-Bogor yang tidak berjalan sesuai harapan. Sebagian dari mereka telah berasimilasi dengan penduduk setempat dan menggantungkan hidup pada bantuan masyarakat lokal. Namun, tanpa adanya pengendalian dan pengawasan yang ketat dari pemerintah, keberadaan mereka berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks seperti konflik terkait hak sipil, status kewarganegaraan anak hasil perkawinan campur, masalah harta waris, hingga bias terhadap status hukum keluarga yang dihasilkan dari hubungan antara pengungsi dan warga lokal.
Fenomena serupa juga terjadi di kelompok-kelompok community house yang tersebar di beberapa tempat di Indonesia. Salah satu fenomena yang sering mencuat adalah keterlibatan pengungsi dalam praktik kawin kontrak. Praktik ini memiliki dampak hukum dan sosial, terutama bagi warga lokal yang terlibat tanpa memahami status sipil yang akan dihadapi di kemudian hari. Selain itu, bagi pencari suaka dan pengungsi yang terbukti melakukan tindak pidana, meskipun mereka telah menjalani hukuman, sering kali tidak ada mekanisme yang efektif untuk memulangkan mereka. Hal ini diperparah dengan penolakan dari organisasi internasional atau negara-negara peratifikasi Konvensi 1951 yang seolah menjadi pembenaran bagi mereka untuk tetap bertahan di Indonesia.
Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia tidak boleh kalah dari tekanan negara maupun entitas non-negara dalam pengelolaan pencari suaka dan pengungsi. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi harus mengutamakan kepentingan nasional dalam setiap kebijakan yang diambil. Meskipun Indonesia tidak menutup pintu sepenuhnya seperti Singapura, Indonesia juga tidak boleh membiarkan kebijakannya dikendalikan oleh pihak asing. Kebijakan yang inovatif dan proaktif diperlukan untuk memastikan bahwa fenomena pencari suaka dan pengungsi dapat dikelola secara baik tanpa terus menambah beban sosial dan ekonomi negara.
Dalam pengelolaan penanganan pencari suaka dan pengungsi, Principal-Agent Theory dapat menjadi kerangka yang relevan untuk mengatur hubungan antara pemerintah pusat sebagai principal dan aktor pelaksana sebagai agent. Pemerintah, sebagai pengarah utama, memiliki kewenangan untuk menunjuk lembaga internasional seperti United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), International Organization for Migration (IOM), dan/ kontraktor profesional sebagai pelaksana operasional dalam batasan tertentu. Melalui pendekatan ini, pemerintah menetapkan kebijakan, target kinerja, dan indikator hasil, sementara agen (kontraktor profesional) melaksanakan tugas teknis seperti pengelolaan penampungan terpadu, penyediaan layanan pendidikan, kesehatan, dan pelatihan keterampilan kepada pencari suaka dan pengungsi. Kontrak berbasis hasil (Performance-Based Contracting) diterapkan untuk memastikan agen bertanggung jawab terhadap target yang telah disepakati. Lebih lanjut, dalam konteks tertentu, UNHCR dapat menjadi representasi agen yang memiliki tugas dan tanggung jawab menyelesaikan proses resettlement dalam waktu tertentu, sedangkan IOM bertanggung jawab atas program reintegrasi sukarela yang mencakup dukungan logistik dan pelatihan keterampilan bagi pencari suaka dan pengungsi yang memilih kembali ke negara asal.
Inspirasi dari praktik terbaik internasional seperti Australia, dapat menjadi opsi penanganan pencari suaka dan pengungsi bagi Indonesia. Australia menggunakan vendor profesional untuk mengelola aspek teknis penanganan pencari suaka dan pengungsi melalui Operation Sovereign Borders (OSB) dan Offshore Detention Centers. Sistem ini memastikan efisiensi operasional, mengurangi beban administrasi pemerintah, dan menjaga keamanan nasional. Selain itu, pendekatan kamp terpadu seperti yang diterapkan di Thailand dengan menyediakan layanan pendidikan, kesehatan, dan pelatihan keterampilan dapat menjadi solusi yang manusiawi dan holistik dalam mendukung pengungsi selama masa transit.
Untuk meningkatkan akuntabilitas, pemerintah dapat memanfaatkan teknologi modern seperti sistem data real-time dan blockchain untuk memantau kinerja agen serta melakukan evaluasi program secara transparan. Pendekatan ini menekankan konsep pemberian insentif bagi agen yang memenuhi target kinerja dan sanksi terhadap kegagalan pelaksanaan tugas, sebagaimana disarankan oleh Eisenhardt (1989) dalam analisis Principal-Agent Theory. Langkah-langkah ini dapat menciptakan mekanisme kontrol yang efisien, menjaga kepatuhan agen terhadap kebijakan pemerintah, dan memastikan bahwa tugas yang diberikan memberikan hasil yang signifikan.