Penulis: Galih P. Kartika Perdhana
Hingga September 2024, berdasarkan data yang dirilis oleh UNHCR, jumlah pencari suaka dan pengungsi yang tercatat di Indonesia mencapai 11.735 orang. Di antara jumlah tersebut, Provinsi Aceh sendiri telah menampung sebanyak 6.150 pengungsi Rohingya sejak tahun 2009. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat mengingat laju kedatangan dan jumlah individu yang turun di Indonesia sejak November 2023 hingga saat ini mencapai 15 kapal dengan membawa 2.026 pengungsi Rohingya. Faktor penyebab seperti konflik bersenjata, persekusi politik, kekerasan berbasis etnis atau agama, pelanggaran HAM, dan ketidakstabilan politik di negara asal menjadi pendorong utama migrasi paksa. Fenomena ini diperparah oleh ancaman seperti perdagangan manusia, eksploitasi, dan diskriminasi gender. Kondisi-kondisi ini memaksa individu untuk meninggalkan wilayah mereka demi mencari keamanan, perlindungan, atau kehidupan yang lebih baik di negara lain, menjadikan pengelolaan pencari suaka dan pengungsi sebagai tantangan global yang kompleks. Meskipun data tersebut hanya mencakup mereka yang berada dalam pengawasan institusi resmi, jumlah riil pencari suaka dan pengungsi di Indonesia kemungkinan jauh lebih besar. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk keterbatasan akses institusi resmi dalam menjangkau seluruh individu yang membutuhkan perlindungan, kurangnya pelaporan dari pihak-pihak terkait, serta banyaknya pencari suaka yang memilih untuk tidak melaporkan keberadaan mereka karena takut akan deportasi atau sanksi hukum.
Menurut data UNHCR, jumlah pencari suaka dan pengungsi di Indonesia relatif stabil dalam beberapa tahun terakhir, meskipun grafiknya menunjukkan tren peningkatan secara perlahan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat penempatan ke negara ketiga (resettlement) maupun pemulangan sukarela ke negara asal (voluntary repatriation). Tercatat bahwa hanya sekitar 10% dari total pencari suaka dan pengungsi di Indonesia yang berhasil dipindahkan ke negara ketiga atau memilih kembali ke negara asal mereka. Sementara itu, 90% sisanya tetap berada di Indonesia, menciptakan tantangan jangka panjang dalam aspek pengelolaan, pemenuhan hak dasar, dan pengawasan terhadap keberadaan dan kegiatan mereka.
Penanganan pencari suaka dan pengungsi di Indonesia membutuhkan reformasi yang komprehensif, mencakup regulasi, tata kelola, dan para pihak yang terlibat. Salah satu model pedekatan yang dapat digunakan adalah Principal-Agent Theory dalam kerangka New Public Management (NPM) dengan adopsi prinsip absolute sovereign. Revisi terhadap Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri dapat menjadi langkah awal yang strategis untuk membangun kerangka regulasi yang lebih adaptif, kolaboratif, dan efektif dalam menghadapi tantangan migrasi global yang semakin kompleks. Indonesia yang bukan sebagai negara peratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Pengungsi, memiliki kewenangan penuh untuk mengatur penanganan pencari suaka dan pengungsi kedalam hukum positif sesuai dengan kepentingan nasional.
Pasal 48 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian menyatakan bahwa setiap orang asing yang berada di Indonesia wajib untuk memiliki izin tinggal yang sah, tidak terkecuali pencari suaka dan pengungsi. Kebijakan ini mencerminkan prinsip equality before the law, di mana setiap individu, tanpa memandang status atau kewarganegaraan, diperlakukan sama di hadapan hukum. Dengan tidak adanya kekebalan hukum, pencari suaka dan pengungsi masuk kedalam kategori yang harus tunduk pada hukum nasional. Sebagaimana dinyatakan oleh Goodin (1996), bahwa prinsip kesetaraan hukum adalah elemen penting dalam menjaga legitimasi negara dan memastikan keadilan bagi semua pihak.Â
Konsep Mandatory Izin Tinggal bagi Pencari Suaka dan Pengungsi
Dalam praktik internasional, pemberlakuan izin tinggal bagi pencari suaka dan pengungsi telah menjadi bagian dari pengelolaan keimigrasian yang terpadu. Australia contohnya, sebagai negara yang meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Pengungsi, secara tegas memberlakukan kewajiban visa dan izin tinggal bagi setiap orang asing, termasuk pencari suaka dan pengungsi. Kebijakan ini berlandaskan pada prinsip kedaulatan negara yang ditempatkan di atas segalanya (absolute sovereign). Australia menempatkan isu stabilitas keamanan nasional dan perlindungan wilayah di atas isu Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam perspektif kebijakan ini, pencari suaka dan pengungsi dipandang sebagai potensi ancaman bagi stabilitas keamanan dan kedaulatan negara. Dengan kata lain, kepentingan keamanan dan kedaulatan negara dianggap lebih penting dibandingkan isu perlindungan HAM dalam konteks penanganan pencari suaka dan pengungsi.
Di sisi lain, Thailand yang bukan merupakan negara pihak peratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Pengungsi, menerapkan pendekatan yang berbeda melalui skema protected persons. Thailand tidak memiliki kewajiban hukum internasional untuk menerima pencari suaka dan pengungsi, tetapi tidak berarti negara ini terlepas dari fenomena tersebut. Dalam kebijakannya, pencari suaka dan pengungsi diwajibkan memiliki izin tinggal untuk memperoleh status sebagai protected persons. Mereka yang tidak memenuhi kriteria tersebut akan dianggap sebagai imigran ilegal dan tidak diizinkan tinggal di wilayah Thailand. Status protected persons memberikan perlindungan terbatas, di mana pencari suaka dan pengungsi diwajibkan tinggal di wilayah tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah Thailand, sembari menunggu proses penempatan ke negara ketiga ataupun pemulangan sukarela ke negara asal. Kebijakan ini memberikan akomodasi perlindungan terhadap pencari suaka dan pengungsi namun dengan prioritas utama tetap pada kedaulatan dan keamanan nasional.
Di Indonesia sendiri, rezim administratif visa dan izin tinggal saat ini belum mengatur perihal pencari suaka dan pengungsi. Indonesia memandang fenomena pencari suaka dan pengungsi terbatas dari perspektif HAM. Pemerintah tidak melakukan pengaturan ke dalam kerangka hukum nasional terhadap status keberadaan pencari suaka dan pengungsi. Meskipun demikian, sejarah panjang masuknya pengungsi ke Indonesia, dari masa awal kemerdekaan hingga saat ini, menunjukkan bahwa isu ini tidak hanya terkait dengan HAM tetapi juga berimplikasi langsung terhadap keamanan dan kedaulatan negara.
Pemerintah Indonesia perlu memahami bahwa kepentingan keamanan dan kedaulatan negara adalah prioritas yang tidak dapat diabaikan dalam penanganan permasalahan pencari suaka dan pengungsi. Untuk itu, kebijakan yang lebih terintegrasi perlu dikembangkan, termasuk pengenalan konsep mandatory izin tinggal yang bersifat sementara bagi pencari suaka dan pengungsi sebagai langkah untuk melakukan pengawasan terhadap keberadaan dan kegiatan mereka.
Pengenalan konsep mandatory izin tinggal bagi pencari suaka dan pengungsi merupakan langkah transformatif dalam mengaktualisasikan prinsip kedaulatan negara melalui kebijakan keimigrasian yang komprehensif. Langkah ini melibatkan penormaan dan pengaturan tersendiri pencari suaka dan pengungsi ke dalam hukum positif Indonesia. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan penegasan terhadap status keberadaan mereka di Indonesia, khususnya terkait pemenuhan kewajiban sebagai orang asing di Indonesia yang tunduk dan patuh terhadap ketentuan hukum positif yang berlaku. Harapannya adalah untuk dapat meminimalisir potensi pelanggaran yang dapat mengganggu ketertiban masyarakat dan keamanan negara.