Nah, setiap melihat konteng tentang Ka'bah ini mataku selalu berkaca-kaca, rindu sekali. Rasanya kayak udah enggak sabar pengen berada di sana.Â
Tapi memang bahkan sebelum berangkat, aku dan suami saling mengingatkan untuk meluruskan niat. Kami juga menjaga kata-kata serta pikiran untuk tetap positif meski ada beberapa kejadian yang membuat kami panik:
- Paspor Abah bermasalah, Visa tidak bisa keluar
- Harus ganti nama dan mengurus ulang tiket pesawat
- Aku jatuh sakit dua hari sebelum berangkat
Iya, setelah mengantar anak-anak ke tempat neneknya, aku demam tinggi. Kebetulan kami berangkat dari Jogja dan sudah berada di sana 2 hari sebelumnya. Aku tidak puasa, dirawat oleh mama mertua dan langsung istighfar. Mohon ampun sama Allah sambil memohon diberi kesembuhan karena tidak ingin sampai gagal berangkat.Â
Keberangkatan
Alhamdulillah, di hari keberangkatan demamku turun. Tapi aku tetap tidak berpuasa karena harus minum obat dan menjaga kondisi. Kami naik maskapai Scoot yang transit di Singapura dulu, baru berangkat ke Jeddah. Lama perjalanan Singapura-Jeddah adalah 9 jam. Aku takuuttt sekali naik pesawat. Setiap terjadi turbulensi aku selalu memegang tangan suami erat-erat dan sedikit menyesal karena belum sempat menulis surat wasiat untuk anak-anak, hahaha.Â
Tapi aku lawan rasa takut tersebut dengan membaca tilawah dan berdoa. Suami mengingatkan bahwa kami adalah 'tamu Allah' sehingga insya Allah, Allah akan memberi keselamatan.Â
Pesawatku akhirnya mendarat di Jeddah pada jam 10 malam waktu setempat. Aku menangis karena lega akhirnya bisa kembali menapak daratan. Begitu turun, kami segera menyelesaikan proses imigrasi. Oh iya, kami juga sudah mengambil miqot di pesawat, ketika berada di atas Yalamlam sehingga ketika mendarat kami berada dalam kondisi ihram.Â
Sepanjang perjalanan menuju Mekkah, aku dan suami bergandengan tangan sambil mengucapkan talbiyah. Mekkah sangat penuh, jalanan ditutup sehingga kami harus menggeret koper sejauh 1km ke hotel karena taksi tidak bisa masuk. Aku saksikan sendiri bagaimana orang-orang melakukan shalat malam di jalanan. Hotel kami dekat dengan masjidil haram hingga suara Imam Sudais terdengar begitu jelas.Â
Malam ketika kami tiba adalah malam 27 ramadhan, dan di tengah jalan Ajyad kami mendengar Imam Sudais melantunkan surat Ar-Rahman.Â
 "Fabiayyi 'aalaa'i Rabbikumaa Tukadzdzibaan" ( )Â
Aku berjalan sambil terisak-isak penuh haru. Rasanya aku menjadi tamu terhormat yang mendapat sambutan kedatangan terbaik. Lelah karena di perjalanan tidak tidur, jetlag, semua seolah tidak mengapa ketika kaki ini sudah menginjak tanah haram.