Janita kesal, sekarang ini ibunya jarang sekali ada di rumah. Sebelumnya ini tidak pernah terjadi. Tapi sejak ibu mulai "tekun" di media sosial, ibu jadi seperti sosok yang berbeda. Setiap hari ponsel selalu dalam genggamannya. Tertawa sendiri, mendengus tiba-tiba, kadang terkejut sambil memaki, semua dilakukannya saat mata ibu focus menatap ponselnya. Janita mulai merasa risih dengan sikap ibunya itu. Janita dan ibu hanya tinggal berdua. Biasanya ibu selalu duduk di ruang tamu saat Janita pulang kerja. Makanan tersedia sesuai request anak tercinta. Namun semua seketika berubah. Jangankan makanan di meja, bisa menemukan ibu saat dirinya sampai di rumah pun adalah satu keajaiban di dua bulan belakangan ini. Janita merasa menyesal sudah membelikan ibu ponsel android yang justru membuat dirinya dan ibu menjadi kurang komunikasi di rumah.
"Bu, nanti aku pulang cepat." Ucap Janita saat keduanya sarapan bersama.
"Oh, iya. Tumben." Jawab ibu dengan tatapan yang masih terus mengarah ke ponselnya.
"Divisiku besok ada gathering. Jadi kami disuruh siapkan semua untuk dibawa besok."
"Oh, berapa hari?" Tanya ibu yang masih terus memandang ponselnya.
"Dua hari."
Ibu pun tak menjawab apa-apa lagi. Biasanya ibu sangat khawatir jika Janita harus ada acara di luar rumah apalagi sampai tidak pulang.
Janita pun tak ingin berdebat pagi ini. Setumpuk pekerjaan sudah menantinya di kantor. Tidak ada waktu untuk membahas tentang perubahan sikap ibu dalam sisa waktu sarapan yang ada.
"Bu, aku berangkat dulu." Pamit Janita. Ibu baru melepaskan pandangan matanya dari ponsel dan beralih ke anak semata wayangnya.
Janita pun berangkat dengan gumpalan rasa kesal yang entah kapan akan meledak dengan sendirinya.
"Sabar, Jan. Kau akan punya waktu untuk bicara tentang ini dengan ibu." Gumamnya dalam hati.
 *
Tepat di jam makan siang, Janita menerima pesan dari ibu di whatsapp.
"Jan, malam ini ibu ada reuni dengan teman-teman SMA. Acaranya di rumah tante Ika. Ibu belum masak apa-apa. Kamu nanti beli aja, ya? Ibu usahakan pulang nggak terlalu malam."
Janita enggan membalas pesan dari ibu. Rasa kesalnya sudah hampir sampai di ubun-ubun. Bahkan di saat dirinya akan menginap di luar kota pun ibu sama sekali tidak peduli. Janita sampai curiga, ibu ada affair dengan salah satu teman SMA-nya.
Sejak ayah pergi, Janita dan ibu memang hanya tinggal berdua. Kegiatan Janita di luar rumah membuatnya merasa lebih baik. Minimal Janita tidak perlu melihat ibu yang masih suka mengingat ayah hingga menangis berjam-jam dalam kamar. Janita mau ibu melupakan ayah. Kemudian memulai hidup yang baru bersamanya. Tapi ternyata sikap Janita justru membuat ibu tidak nyaman. Ibu merasa Janita terlalu memaksanya. Biar bagaimanapun, Janita adalah anak, ada batas-batas yang tidak bisa ia lewati begitu saja.
Sekalipun mereka hanya tinggal berdua bukan berarti tidak pernah bertengkar, mereka berdua kerap kali beradu mulut. Semua semata-mata karena apa yang Janita mau, berbeda dengan yang ibu harapkan. Begitupun sebaliknya. Dan tidak ada penengah di sini.
*
Sampai pukul 11 malam, ibu masih belum juga pulang dari acara reuninya. Janita mulai resah. Berulang kali ia mengirimkan pesan melalui whatsapp, tapi ibu tidak membalas. Janita mencoba menelepon, ibupun tidak mengangkatnya.
"Dimana ibu? Apa yang terjadi? Apa ponselnya hilang? Jatuh? Atau ada yang terjadi pada ibu?"
Puluhan kemungkinan terus berputar dalam otak gadis itu. Emosi, marah, takut, panik, berbaur jadi satu.
"Ah, sudahlah. Ibu pasti tidak peduli jika aku sepanik ini. Biar sajalah, nanti juga pulang." Gumam Janita dalam hati.
Janita pun memutuskan untuk tidur, walaupun perasaannya masih tidak tenang. Dia yakin ibunya bisa menjaga diri.
*
Pukul 7 pagi Janita bangun dari tidurnya karena suara alarm hp yang disetelnya dengan volume paling besar. Janita cepat-cepat turun ke lantai bawah. Keadaan masih sama seperti semalam. Senyap. Tidak ada bau roti bakar atau nasi goring seperti biasanya. Atau segelas susu putih dan the manis hangat buatan ibu.
"Ibu nggak pulang?"
Janita mendekat ke arah kulkas. Sebuah kertas tersemat di sana.
"Jan, ibu ada urusan sama teman-teman SMA untuk acara reuni akbar. Hari ini ada penggalangan dana untuk acara itu. Ibu ditunjuk jadi salah satu panitia. Maaf ibu nggak bangunin kamu. Ibu juga nggak sempat siapkan sarapan buat kamu."
"Bulan lalu reuni teman-teman kecil di dekat rumah nenek, 2 minggu lalu reuni teman SMP, seminggu yang lalu ulang tahun teman SD, semalam reuni teman SMA, hari ini penggalangan dana. Besok-besok apalagi, bu?" balas Janita spontan.
Sepagi ini Janita sudah dibuat emosi oleh ibu. Gadis itu mengambil air minum dalam kulkas, kemudian membanting pintu kulkas hingga beberapa hiasan magnetnya terjatuh ke lantai. Janita melirik kea rah jam dinding. Sisa satu jam lagi dia harus menyiapkan semuanya sebelum menuju ke lokasi gathering. Biasanya ibu yang selalu membantunya. Â Janita hanya tinggal membawanya saja tanpa perlu memeriksa kembali.
Janita kewalahan menyiapkan barang bawaannya. Dan jam terus bergerak. Akhirnya Janita mencoba menghubungi Rinda, teman sekantornya.
"Rin, kalau nanti ada yang ketinggalan, gue pinjem punya loe dulu, ya. Nyokap gue nggak di rumah. Jadi bingung nih mau nyiapin apa aja."
"Dasar anak emak, lo. Mandiri donk, Jan. Mau sampai kapan?"
Janita tersenyum kecut membaca balasan chat dari Rinda. Â Gadis bermata bulat itu mengagendakan untuk bicara dengan ibu lusa sepulangnya dari acara gathering kantornya.
*
Acara Gathering hari pertama berjalan lancar, Janita mencoba melepaskan sejenak pikirannya tentang ibu. Pasti ibu tidak peduli padanya, nyatanya sampai hari ini chat balasan yang Janita kirimkan tadi pagi sama sekali tidak dibalas.
Sampai di hari kedua, ibu masih belum juga mengirimkan pesan. Sekalipun itu hanya sapaan,"Hai?"
Janita ingin cepat-cepat pulang, meluapkan semua rasa kesalnya pada ibu. Mengapa ibu lebih mengutamakan teman-temannya daripada dirinya. Kenapa sekarang ibu bisa mengabaikan dirinya?
*
Pukul 8 malam, Janita sampai di rumah. Dia melihat ibu sedang duduk di ruang keluarga dengan televisi yang menyala namun tidak ditonton. Sesuai dugaan, ibu terlihat sibuk dengan ponselnya.
Janita meraih remove tv dan langsung menekan tombol off. Ibu terkejut melihat kedatangan Janita. Namun ibu bukan menyapa anaknya tapi malah kembali memandang ponselnya. Mungkin ada yang lebih menarik di sana dari pada menyambut anaknya pulang.
Janita mengambil posisi duduk berhadapan dengan ibu. Mulutnya sudah tak sabar untuk meracau.
"Bu, ibu ini kenapa, sih? Aku ini anak ibu, bisa nggak kasih perhatian sedikit aja sama aku?"
Ibu tidak menjawab, dia tetap serius mengetik di ponselnya.
"Bu, aku lagi ngomong. Ibu bisa nggak taruh hp-nya dulu? Atau besok hp-nya aku jual lagi aja? Gitu?"
Ibu mulai meletakkan ponselnya. Tapi ada yang mengalir dari pelupuk matanya. Kemudian ibu mengangkat wajahnya, memandang wajah Janita dengan mata merah menahan tangis.
"Sudah selesai bicaranya?" ibu balik bertanya.
Janita mendadak tercekat melihat tatapan mata ibu.
"Selama ini, selama kita hanya tinggal berdua tanpa ayahmu, apa kau punya waktu untuk mendengar ibu? Selama kita hanya tinggal berdua tanpa ayahmu, apa kau mengerti seberapa sering ibu merasa kesepian saat kamu pergi dengan teman-temanmu lalu pulang larut malam?"
Janita mulai berkaca-kaca. Lidahnya kelu.
"Apa kau tahu rasanya jadi ibu yang setiap malam dihantui perasaan sakit mengingat perselingkuhan yang ayahmu lakukan? Apa kau tahu rasanya tidak ingin masak tapi anak satu-satunya minta dibuatkan makanan? Apa kau tahu rasanya sakit sementara anakmu juga sakit dan kau harus mengalah untuk itu? Janita, ibu pun manusia. Ibu perlu teman cerita, ibu perlu teman berdiskusi. Ibu perlu hiburan untuk melupakan luka hati pada ayahmu. Dan kau dimana saat ibu merasa seperti itu? Reuni yang ibu datangi Cuma untuk melepaskan beban ibu selama ini. ibu merasa dianggap ada. Ibu merasa ibu dipedulikan."
Air mata Janita seketika tumpah mendengarkan kalimat-kalimat ibu yang seakan menusuk jantungnya. Ya, dia baru menyadari bahwa dirinya memang terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Dia lupa bahwa ibu juga butuh teman bicara.
"Mulanya ibu berpikir, kau membelikan hp ini agar komunikasi kita bisa lebih baik. Saat kau di kantor kau bisa menanyakan apa yang sedang ibu lakukan di rumah atau ibu mau dibawakan apa untuk makan malam. Tapi kau hanya menghubungi ibu untuk meminta tolong ini dan itu. Atau hanya memberitahukan bahwa kau akan pulang cepat atau larut malam. Coba kau baca lagi pesan-pesan yang ibu kirimkan padamu di awal-awal ibu memiliki hp ini. Apakah kau membalas pesan ibu dengan pantas? Hanya iya, nggak, iya, nggak. Hanya itu, Janita."
Janita bangun dari duduknya, menghambur ke arah ibu, memeluknya erat.
"Maafkan aku, bu. Harusnya aku nggak seegois ini. Aku memang nggak tahu diri, bu. Aku nggak pernah mau tahu keadaan ibu. Maafin aku, bu. Maafin aku."
Ibu membalas pelukan Janita. Ada rasa lega karena bisa menumpahkan segalanya. Jika bukan karena reuni, pasti masih ada yang mengganjal di hatinya. Janita pun begitu, jika bukan karena reuni ibu dan teman-temannya, pasti dia takkan menyadari kekurangannya sebagai anak.
Sejak lulus sekolah, ibu langsung menikah dengan ayah. Kemudian ibu mengandung dan melahirkan Janita. Ayah mulai sering main perempuan. Janita sering melihat keributan antara ayah dan ibu. Ayah sering memukul ibu. Sampai akhirnya seorang perempuan datang mengaku sudah mengandung anak ayah. Dan ayah memutuskan untuk keluar dari rumah dan menceraikan ibu. Janita berusaha melupakan kejadian itu dan dia berhasil. Tapi ternyata itu tak mudah untuk dilakukan oleh ibu. Ingatan tentang ayah begitu melekat sempurna. Mungkin karena ibu memang tidak pernah keluar rumah dan berinteraksi dengan orang lain. Dan dengan adanya reuni-reuni yang ibu ikuti, Â ibu hanya ingin mengenang masa-masa sekolah dulu saat hidupnya masih belum dihinggapi masalah yang menyita kebahagiaannya. Dan seharusnya Janita peka akan hal itu. Â
"Ibu akan tetap menjadi ibumu, Jan. Tidak akan ada yang bisa mengubah itu. Tapi kau harus tahu, ibu nggak bisa selamanya ada. Kamu perlu mengurus dirimu sendiri. Kamu perlu bertanggung jawab pada hidupmu. Ibu menyayangimu selalu, Jan."
Janita tak bisa berkata-kata lagi. Pelukkan ibu dan kata maaf darinya adalah hal ternyaman dalam hidupnya.Â
"Terima kasih untuk segalanya, bu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H