Lalu aku dan adikku memutuskan untuk pulang ke rumah. Sampai di rumah pun perasaanku masih sama. Tidak tenang, pikiranku kacau. Aku tak mengerti mengapa mendadak bayang- bayang Rangga selalu terlintas di benakku beberapa hari ini. Padahal biasanya aku tak pernah peduli. Aku tak pernah mau tahu. Tapi ini beda. Perasaan ku tak karuan rasanya. Ingin marah, tapi buat apa? Ingin menangis pun aku tak punya alasannya.
Mama dan adik-adikku mengajakku bermain kartu. Mainan yang sering kami mainkan di kala sedang tak ada aktivitas. Aku yang biasa menang terus, mendadak menjadi kalah terus. Dan di saat yang sama mendadak aku menangis. Walau aku tak tahu kenapa. Rasanya tak mungkin jika hanya karena kalah main kartu.
“kamu tidur aja jeng, kecapek’an kali.” Ucap Mama.
“iya mungkin ma,,” jawabku sambil berjalan kearah kamar. Sampai di kamar aku pun tak langsung tidur. Aku berdoa, minta pada Tuhan agar menjaga Rangga untukku. Dan kemudian aku pun terlelap.
Keesokkan paginya 16 September 2007… pakde ku yang tinggal di sebelah rumah mengetuk pintu kamarku. Memanggil namaku dengan keras dari luar.
“Jeeeeng bangun,, itu ada Sukma.”
Aku pun langsung melompat bangun dari pembaringanku yang hangat.
“Owh iyaa.. iya nih udah bangun. Suruh aja masuk dulu.” Teriakku dari arah dalam kamar.
Aku tak mandi lagi. Langsung kusambangi Sukma yang notabene adalah sepupu Rangga di kursi teras depan.
Wajah sukma terunduk, aku langsung menyapanya.
“Oi Sukma, tumben sendirian?" Tanya ku yang mungkin mengejutkannya.