[caption id="attachment_159586" align="aligncenter" width="630" caption="http://sokotuban.blogspot.com"][/caption]
Kuliner unik identik dengan bahan dasar yang kadang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Diolah sebaik mungkin , diracik dengan bumbu – bumbu dapur hingga menciptakan rasa enak dan patut dicicipi orang banyak. Mengenai harga, tentunya juga bervariasi. Ada yang sesuai kantong anak sekolah, kuliah, ataupun karyawan.
Jakarta sebagai ibukota sudah pasti tak mau ketinggalan dengan kondisi pasar yang menawarkan bermacam kuliner unik. Hampir di tiap sudut ibukota bisa kita temukan resto yang menyajikan kuliner unik. Sebut saja Zushioda, resto yang menyuguhkan sushi dengan harga kaki lima. Soto Gebrak di kawasan Tebet, yang dalam penyajiannya si penjual akan menggebrak (baca : memukul) meja, makanya diberi nama Soto Gebrak. Ada juga Martabak Buah Obama yang terletak di kawasan Pondok Gede, martabak ini berbeda dengan martabak pada umumnya, martabak ini bukan berisi cokelat, kacang atau keju, melainkan berisi selai buah. Menu berbahan dasar bebek dan ayam yang kini sudah semakin bervariasi pengolahannya. Sate yang tidak hanya sekedar kambing, ayam dan sapi lagi. Dan masih banyak lagi menu – menu lain yang tak kalah uniknya.
Namun mirisnya di tengah ramainya industri kuliner unik, masih saja ada pihak yang belum mampu menjangkau harga makanan tersebut. Mereka hanya mampu menjadi penonton diantara para penikmat kuliner unik.
Dan ini terjadi di Jakarta. Di lingkungan yang dekat dengan lokasi rumah saya, masih ada mereka yang hanya mampu menikmati nasi aking. Berawal saat saya mendatangi sebuah bengkel pencucian motor dekat rumah, lokasinya ada di pinggir kali. Saat menanti giliran motor saya dicuci saya memilih untuk berjalan – jalan di sekitar hunian di pinggir kali tersebut. Mata saya tertuju pada seorang bapak dengan sebuah karung besar yang ia bawa di atas sepeda tuanya. Perlahan ia menuruni karung tersebut, lalu ada seorang ibu beserta anaknya mendekati bapak itu lantas menyerahkan beberapa lembar uang seribu rupiah. Karena rasa penasaran yang begitu besar saya mendekati mereka. Nampak jelas disana nasi kering berjamur mengisi penuh isi karung. Lalu bapak tadi mengeluarkan isi karung tersebut dengan tangannya, lantas dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam. Lalu diserahkan kepada ibu dan anaknya tadi.
Awalnya saya berfikir jika nasi kering itu digunakan untuk memberi pakan bebek, namun semua berubah manakala tak berapa lama ibu tadi keluar dari rumahnya sambil membawa baskom dan mencuci nasi kering tersebut dengan air yang sudah di tampung dalam ember besar. Lalu anaknya kembali mendekati si ibu sambil mengatakan,”bu cepetan itu dimasak.. udah laper nih.”Lalu si ibu menjawab,”sabar, ini masih di cuci.”
Lalu saya mendekati ibu tadi, iseng – iseng aku bertanya,
Bu ini buat dimakan sendiri?”
“Iya lah neng, kita sama bebek bareng – bareng makannya.”
“Apa rasanya bu?”
“Ya ngga enak, cuma mau gimana? Daripada nggak makan?”
“Oh gitu ya bu?”
“Iya neng, ini kan makanan aneh, unik juga kan? Nggak semua orang bisa makan, tapi ibu mah seneng – seneng aja. Yang penting ada yang bisa dimakan.”
Betapa terkejutnya saya. Ternyata nasi aking yang saya tahu dulu menjadi alternative makanan bagi orang – orang di luar Jakarta saat harga beras melambung, ternyata ini pun terjadi di kota besar ini. Dan mereka menganggap ini sebagai makanan unik.
Sedih hati saya membayangkan betapa dengan mudahnya saya memilih menu – menu kuliner unik namun masih ada saudara kita yang hanya mampu menikmati makanan dengan keterbatasan keuangan.
Ini hanyalah satu kisah pahit saat industri kuliner unik mulai merebak. Hanya sedikit mengingatkan bahwa masih ada yang tidak seberuntung kita, bisa mencicipi kuliner unik hanya tinggal merogoh kantung untuk mengenyangkan perut.
Karena ternyata di luar sana masih terlalu banyak yang tidak seberuntung kita.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H