[caption id="attachment_292118" align="alignleft" width="167" caption="Kawasan Bebas Rokok"][/caption] Keluarga besar saya hampir seluruhnya tidak merokok. Ayah, suami, mertua, saudara-saudara tidak mengenal jenis dan harga rokok. Bertahun-tahun pun, beruntung tak menghirup pekatnya asap rokok. Dalam kesederhanaan, rupanya gaya hidup sehat sudah dipraktikan selama bertahun-tahun tanpa harus menunggu himbauan pemerintah dan fatwa MUI. Sudah jadi keseharian, kini anak-anak sekolah, seperti sebut saja  Wendi (13), pelajar usia SMP, asyik masyuk memainkan kepulan asap rokoknya di sudut sekolah. Ia menarik dalam-dalam seolah larut dalam kepuasaan amat sangat dan mengeluarkannya perlahan-lahan hingga asap rokok terbentuk mirip huruf O. Hemmh...nikmat nian Sementara di acara tahlilan, sang empunya seolah wajib mengeluarkan suguhan , salah satunya batangan rokok dalam sebuah gelas. Konsumsi itu diberikan bagi warga telah mendo'akan arwah kerabatnya, baik orang tua atau ada anak-anak.  Masyarakat kita pun terbiasa mengenal istilah uang rokok (pelicin), karena masyarakat sudah terlanjur mengecap bahwa hampir semua orang Indonesia menyukai rokok. Hemhh.. Akibatnya, hampir tak ada daerah bebas asap rokok. Lingkungan berwibawa seperti: gedung dewan, instansi pemerintah, rumah sakit, atau tempat ibadah, sejatinya bebas asap rokok, tidak terkecuali. Begitu pun lingkungan sekolah, adanya peraturan belum sepenuhnya menjadi teladan untuk menyukseskan slogan "sekolah bebas rokok". rokok kontroversial Masalah rokok memang kontroversial!! Meski divonis membahayakan dan mematikan juga dihukumi haram oleh MUI dan ormas tertentu, tapi disukai berbagai kalangan. Bukan cuma pria bekerja di daerah keras, tapi pria mapan di kantoran. Disenangi juga oleh kalangan wanita muda dan kini merangsek digemari oleh anak-anak usia sekolah. Rokok telah identik dengan lambang pergaulan, kenikmatan, penghilang stress, dan simbol sebuah kepuasan. Itu karena, menurut para ahli, sebatang rokok mengandung 9-20 mg nikotin dan setelah dibakar nikotin masuk dalam sirkulasi darah hanya 25%. Nikotin diterima akseptor asetilkolin-nikotinik kemudian membaginya ke jalur imbalan dan jalur adrenergik. Pada jalur imbalan, perokok akan merasakan rasa nikmat, merasa lebih tenang, daya pikirnya cemerlang dan mampu menekan rasa lapar. Sementara di jalur adrenergik, bagian lokus otak akan mengeluarkan serotonin, zat menimbulkan rangsangan rasa senang dan keinginan untuk merokok lagi (ketergantungan). Padahal menurut ahli pula, sebatang rokok mengandung 4.000 elemen dan setidaknya terdapat 200 elemen yang membahayakan tubuh. Tar zat yang terdapat dalam rokok bersifat lengket dan menempel di paru-paru. Zat aditif nikotin bertanggung jawab pemicu kanker paru-paru yang mematikan. Dan karbondioksida zat mengikat hemoglobin, sehingga darah tidak mampu mengikat oksigen yang bikin sesak nafas. Menurut catatan WHO, dari 1,3 milyar jumlah perokok, kematian diakibatkannya mencapai angka 4,9 juta pertahun. Duh, generasi beliaku! Pusat Data dan Informasi Depkes RI menerangkan, di Indonesia 70 persen penduduknya adalah perokok aktif. Dilihat dari sisi rumah tangga, 57 persen memiliki anggota yang merokok. Dan hampir semua perokok itu biasa melakukannya di dalam rumah bersama keluarganya. Ini berarti hampir semua orang di Indonesia dapat dikatakan perokok pasif. Yang memprihatinkan, kini usia perokok terus bergeser ke kalangan remaja dan anak-anak. Jika pada tahun 1970 perokok termuda adalah kelompok usia 15 tahun, di tahun 2004 usia perokok bergeser ke anak usia 7 tahun. Temuan ini berdasarkan Sensus Sosial Nasional (2004) menunjukkan perokok aktif kelompok usia 13-15 tahun mencapai 26,8 persen dan usia 5-9 tahun terdata 1,8 persen. Persentase ini dihitung dari total populasi setiap kelompok. Lebih mencengangkan lagi sepanjang periode tahun 2001-2004, jumlah perokok aktif dari kalangan usia 5-9 tahun meningkat hingga 400 persen. Dengan ledakan perokok usia anak, maka diprediksi bahwa di tahun 2020 kemungkinan besar profil penderita penyakit akibat merokok di Indonesia adalah generasi yang berusia lebih muda. Saat ini sesungguhnya Indonesia telah memiliki aturan pembelian rokok. Yaitu, anak di bawah umur 18 tahun tidak dibolehkan membeli rokok. Akan tetapi, aturan itu hanya sebuah slogan semata yang hampir tanpa efek sama sekali. Orang-orang begitu mudahnya menyalakan rokoknya meskipun berada di tempat umum. Begitu pun remaja tanpa malu-malu merokok meskipun di depan kawan dan orang tuanya sendiri. Para pedagang mulai di supermarket, kios, warung atau pedagang asongan dengan suka hati melayani konsumen anak-anak sekolah. Beberapa organisasi sosial seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), FK PPAI, merekomendasikan perlu Undang-Undang larangan merokok bagi anak-anak, meliputi aspek: larangan kepada anak untuk mengonsumsi rokok, menjual rokok kepada anak, penjualan rokok oleh anak, serta pengaturan ketat terhadap iklan dan promosi rokok, khususnya di kawasan pendidikan. Upaya ini diharapkan dapat menekan peredaran rokok yang semakin tak terkendali di kalangan remaja dan anak-anak. Keberadaan figur Sulit menyuruh agar anak tidak merokok, jika sehari-hari menjumpai figur-figur ditokohkan selalu asyik masyuk menikmati rokoknya. Habituasi merokok diciptakan bukan saja dengan kawan sebaya, tetapi orang tua secara tidak sadar mengakrabkan pada anak-anak. Seorang ayah terbiasa menyuruh membelikan rokok atau meminta anak menyalakan rokok dengan cara diisap dulu untuk dirinya. Sementara anak-anak belajar di surau, tak lepas dari hirupan asap rokok sang kyainya. Begitu pun di kelas, masih ada guru tidak bisa berkonsentrasi mengajar tanpa tarikan asap rokok. Begitupula pejabat publik tak nyadar dalam konferensi pers masih menyelipkan sebatang rokok di jari tangannya. Promosi rokok yang gencar masuk ranah kesehatan, pendidikan dan olahraga membuat kkampanye kelompok anti-rokok seakan beradu lari. Even olahraga di pentas terbesar di Republik ini masih disangga oleh produsen rokok. Pada kegiatan sekolah, seperti pentas seni atau lomba-lomba, termasuk pemberian beasiswa studi, ternyata tak lepas dari kiprah perusahaan rokok. Pemerintah pun gamang, apalagi hampir 50 Trilyun APBN disangga oleh cukai dari produk rokok. Akibatnya imbauan pemerintah baik melalui sejumlah peraturan daerah ataupun pelabelan tentang bahaya merokok, termasuk fatwa MUI dengan mempersempit ruang gerak perokok terbukti tidak manjur. Sebuah bahan renungan betapa sulitnya mengajari anak tidak merokok? Juga sulitnya mengajak masyarakat menjauhi merokok? Selama figur-figur ditokohkan masih gila rokok dan pemerintah setengah hati, bagaimana mau menegakkan aturan, bila penegak hukum tidak tegas, karena toh aparat tim penertib lain masih suka rokok? (**)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H