Mohon tunggu...
Cerpen

Nyata?

19 Maret 2017   21:25 Diperbarui: 19 Maret 2017   21:52 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hitungan sepersekian jam yang lalu matahari mati ditelan cakrawala. Langit tampak menggurat gelap di luar meski tetap sangat terang di tempatku berpijak sekarang. Malam ini Mall Boyolali Square masih sama begitu menggetarkan hatiku dengan sejuta pesona. Seluruh mata bisa memandang tanpa penghalang menelisik celah celah eskalator dengan takzim. Aku tak bergeming. Menatap gelisah seluruh penjuru. Mengigit bibir disusul melirik ke arloji. Tiga puluh menit tersisa sebelum mall tutup, tetapi wanita yang kutunggu-tunggu itu belum kelihatan juga. Aku mendesah dalam hati ber-pyuh percuma.

Ketika aku pulang kantor dengan lelah minggu lalu, aku datang ke sini bingung mencari-cari yang tidak ada hingga akhirnya memilih restoran fastfood untuk istirahat dari rutinitas menjemukan, wanita itu tiba-tiba datang entah darimana meluncurkan duduknya di kursi lobi tepat di hadapanku yang berpembatas kaca. Ia begitu cantik membuat pandangan mataku sempurna jatuh padanya.  Rambut lurus sebahu nan hitam legam bercahaya. Hidungnya runcing proprosional. Matanya tajam namun meneduhkan. Bibirnya alamak ia tak tersenyum pun tetap tampak menyimpul. Wanita ini selalu menggunakan blouse hitam tanpa aku tahu apa alasannya, tapi mungkin hitam adalah warna favoritnya. Dan selalu pula duduk di kursi pojokan lobi yang kebetulan bersampingan dengan restoran fastfood favoritku dengan sekat dinding kaca.

Sejak pertemuan misterius itu kepalaku disesaki tanda tanya. Banyak hari aku mencoba mencari keberadaannya. Siapa dia? Dimana alamatnya? Tetapi tak satupun berbuah jawaban. Malam-malamku merangkak lambat selalu berimajinasi tentang parasnya. Jam-jam kerja kuhabiskan untuk meratapi pertemuan berikutnya. Wanita cantik itu, siapapun ia, telah berhasil mecuri hatiku seketika. Namun sayang  sekali setelah mall akan ditutup ia justru raib begitu saja diantara protokol toilet pria dan wanita.

Tiga puluh menit tersisa mengerucut menjadi sepuluh menit. Aku berkali-kali melirik ke kursi pojokan lobi. Aku sedang menunggu. Seperti hari-hari lalu dalam kurun seminggu ini aku dengan sengaja datang ke sini. Sedikit melirik ke singgasana pujaanku, lantas melihat wanita itu pergi tanpa tanda-tanda akan mengakhiri kunjungan rutin lobinya. Detik menjadi menit berjalan amat lambat. Waktu tinggal sepuluh menit lagi, “Ayolah kamu dimana?” Tanyaku dalam hati risau.

Dan setelah sekian menit kemudian aku masih berkutat dengan keresahan. Akhirnya wanita itu menampakan dirinya, berjalan santai menuju toilet yang memang harus melewati lobi untuk sampai tujuan. Aku nekad memberanikan diri mengejar. Sedikit gugup seperti anak muda yang baru mengenal cinta melangkah mendekat. Dengan dihiasi sedikit teriakan parau memanggil.

“Hey!” Aku berusaha memanggil senormal mungkin, tersenyum kikuk.

Wanita itu berhenti tepat di depan toko roti barisan terakhir di sudut persegi bentuk mall ini. Karyawan yang daritadi sibuk hilir mudik mendadak berhenti mencari tahu siapa yang kupanggil, tapi aku tak abai sedikitpun tak peduli dengan tatapan mereka. Wanita yang kupanggil itu justru diam tak berbalik, aku cemas memaksa mulut tersumpalku berbicara.

“Bolehkah aku mengetahui siapa namamu?” Gagap mulutku bersuara.

Aku sedikit kecewa. Sia-sia sudah. Tak ada respon dari wanita itu. Tapi aku belum menyerah masih memaksa mulut sinkron dengan hati.

“Ah ya, kebetulan sekali besok aku punya dua voucher makan di restoran fastfooddekat lobi. Maukah kamu menemaniku?” kegelisahanku memuncak, menunggu tidak sabaran. Tetapi apa mau dikata wanita itu tidak bergeming, tidak menoleh, tidak menggeleng, tidak mengangguk. aku cemas.

Para karyawan toko roti semakin bingung saling tatap mendengar ucapanku, “Apakah dia  gila?”. Tidak, mereka hanya tidak mengerti aku sedang mengajak pujaanku berkencan. Mereka justru asyik mengamati peliknya perkara ini. Mengamatiku berargumen.

“Mas, mau minum aqua?” Celetuk salah seorang karyawan bermuka payah karena seharian bekerja.

Aku menoleh tak tahu apa maksudnya. Alisku memincing tanda, “Apa maksudmu, bodoh? Kamu harusnya mengerti pujangga ini sedang cemas mengajak pujaannya berkencan.” Dan di tengah kegaguan itu aku tidak sadar wanitaku sudah cepat berjalan meninggalkanku di belakang. Aku refleksmengejar hingga tiba di ujung protokol toilet wanita dan pri. Namun, lagi-lagi ia raib bagai ditelan bumi. Aku kehilangan jejak sekarang.

“Ya ampun, apa yang telah aku lakukan?”Aku menekuk lutut menyesali detik-detik percakapan percumaku dengan karyawan toko roti tadi.

Aku pulang berjalan terhuyung tanpa jawaban. Tapi apa kata para leluhurku “diam artinya iya” Maka besok sempurna aku menerapkan prinsip jadul itu. Aku menerka semua jawaban dari gadis itu adalah iya. Lalu berilusi, mungkin kemarin di balik punggungnya ia tersenyum malu-malu mukanya memerah tanda hatinya buncah mengiyakan ajakanku.

----------

Malam beranjak matang. Matahari dipukul jatuh ke ufuk barat. Tidak sedetik pun aku ingin kehilangan momen ini. Maka aku datang lebih awal dengan penuh harap setelah pulang kerja. Memakai baju paling necis dan sibuk mematut-matut di kaca.  Kaki langit jingga tertutup gelap. Tapi di tempatku berpijak sekarang sempurna terang. Kasih sayang semesta menyuburkan benih cinta. Aku gugup. Mulutku komat kamit merencanakan ungkapan. Menyusun kalimat. Aku bersenandung nyanyian kebahagiaan. Otakku sibuk membuat ilusi, di pipi wanita itu muncul semburat jingga ketika mendengar amunisi sajak-sajak cinta.

“aku tidak tahu apa pun tentang perasaan ini. Aku hanya tahu aku selalu merasa senang saat melirikmu dari balik kaca restoran samipng lobi. Aku tidak tahu siapa kamu tapi aku merasa tentram dari semua resah saat berada di sekitarmu. Aku tidak tahu siapa namamu tapi kamu membuatku merasa lebih baik di setiap hari. Menumbuhkan semangat, memompa banyak energi. Aku jatuh cinta dari awal pertemuan-pertemuan ganjil itu.”

Sajak itu ajaib berubah menjadi kekuatan menunggu di jam-jam berikutnya. Tapi kesekian kalinya dari total banyak kesempatan wanita itu datang di waktu yang tak terduga. Dua puluh menit tersisa. Ya tuhan, bukankah diamnya kemarin artinya iya. Aku mohon datanglah. Gemetar hatiku meringkuk sesak. Keringatku membanjir berpeluh kesah.

Otakku dangkal berpikir wanita itu akan datang di menit-menit terakhir mall tutup. Ya, kenapa tidak. Pasti ia akan datang di penghujung menit-menit itu.  Maka malam itu aku tidak menunggu di restoran aku sudah diusir pihak restoran sejak teralis akan ditarik. Aku masih punya kesempatan dan  terlebih aku berhak bertemu dengan wanita itu untuk mendapatkan jawaban. Jadilah aku mencari ia kemana saja.

Kakiku tidak bisa dipaksa berhenti. Mataku memburu setiap sudut mall. Aku menghela napas. Hasilnya sama nihil. Belum menyerah aku naik ke lantai dua. Eskalator berdesing. Tidak menyerah naik lagi ke lantai tiga. Eskalator berdesing.  Lima menit penghabisan aku makin kacau. Suaraku parau merangkum doa-doa, satu dua menit berikutnya Tuhan berbelas kasihan jadilah doaku sempurna berubah laksana mantra abrakadabra “BOOM!”. 

Masih tersisa satu lantai lagi yang belum kunaiki. Lantai empat. Suara sepatu terdengar dari lantai empat memenuhi kedua gendang telingaku yang mulai kebas namun masih bisa mendengar, satu dua pengunjung lantas terlihat buru-buru turun takut-takut kena usir satpam. Eskalator berdesing.  Tubuh-tubuh gempal itu membuat eskalator otomatis akan bergerak semakin cepat. Eskalator itu menunaikan tugasnya, matuhi prinsip dasarnya dari sang penemunya. Bergerak konstan saat tak ada waktu yang tak perlu dipercepat dan dipersingkat. Prinsip dasar nomor satu hemat energi dari sang penemu. Bergerak lebih cepat saat ada waktu yang harus dipercepat dan dipersingkat. Prinsip dasar nomor 2 efesiensi kegunaannya dari sang penemu.

Maka sempurnalah eskalator itu berguna untuk manusia. Eskalator itu membawa tubuh-tubuh gempal manusia dengan prinsip dipercepat. Dan saat anak manusia tadi turun dari anakan tangga terakhir jadi konstanlah kecepatan eskalator kembali seperti semula. Eskalator ini berkerja dengan baik, mematuhi dengan baik pula dua prinsip dari sang penemu. Maka sempurnalah eskalator ini juga berguna menyadarkanku akan banyak hal ganjil beberapa menit selanjutnya.

Tanpa ada suara langkah kaki terburu-buru. Wanitaku muncul. Aku melihatnya tepat di bawah eskalator bersiap menjemput bersorak senang dalam hati. Namun aneh sepatunya tak berdecit saat mencium lantai. Aku tercekat. Bagaimana bisa? Langkahnya  mulus bagai tak menyetuh dasar. Ia tersenyum ganjil namun masih anggun, tapi justru aku ketakutan sekarang.  Ia tertawa, tawa yang ganjil, tapi justru aku berdoa agar ditulikan sekarang. Mengerikan. Sepersekian detik kemudian langkahnya mulai menginjak eskalator anak tangga pertama, namun tak ada desing. Eskalator mulai turun membawa tubuhnya dengan kecepatan konstan tanpa prinsip dipercepat.  Aku tercekat. Aku baru menyadari keganjilan ini sungguh menakutkan. Aku merinding.  Aku gemetar melihat wanitaku dalam hitungan detik sempurna berdiri di depanku berhadapan. 

“sudah siap hidup di alamku?” maka malam ini wanitaku memberi jawabannya.

Malam ini, langit terlihat sangat suram. Bintang termakan gelap awan. Rembulan sembunyi cari tempat perlindungan. Langit pekat. Angin takut meniup. Sepi. Seluruh kehidupanku berubah. Persis saat aku berhadapan dengan wanitaku, saat itu petir menyambar memilukan hati. Guntur menggelegar. Langit terbolak-balik. Malam ini, pertanyaanku bagai lemparan sebuah dadu dengan enam matanya sempurna tertuliskan, ”Iya!”. dan bagai leparan dua buah dadu dengan dua belas matanya sempurna bertuliskan, ”Mati!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun