Mohon tunggu...
Ajeng DwitaAyuningtyas
Ajeng DwitaAyuningtyas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Belajar jurnalistik dan belajar menulis

Berkomunikasi melalui jurnalisme

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

PPPK: Honorer Enggan, Ditugaskan Tak Mau

5 Januari 2023   08:09 Diperbarui: 6 Januari 2023   00:17 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja atau PPPK untuk guru tahun 2022 telah berlangsung hingga tahap pengumuman seleksi bagi pelamar umum. PPPK menjadi salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi guru honorer dengan menyediakan kesempatan mengajar yang lebih stabil. Selain itu, PPPK juga menjadi salah satu jalan pemerataan tenaga didik di Indonesia. Meskipun demikian, hampir tak ada kebijakan yang memuaskan semua pihak. Termasuk program PPPK ini.

Dalam sebuah kesempatan, saya berbincang dengan seorang guru honorer yang mengajar di sekolah swasta. Mengenai PPPK, dirinya mengaku keberatan dengan kebijakan penempatan kerja atau keterikatan dengan pemerintah. Maksudnya, apabila ia berstatus sebagai guru PPPK, artinya ia harus siap mengajar di tempat lain yang ditunjuk pemerintah.

Jauh dari keluarga dan kampung halaman atau terlanjur nyaman dengan sekolah tempatnya mengajar saat ini, mungkin menjadi alasan beratnya hati harus ditempatkan di sekolah lain. Namun, bagaimana dengan tanggung jawab meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia? Bukankah itu tujuan utama yang diemban seorang guru?

Begini, beragam upaya dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Tentu saja itu poin yang sangat penting dan layak diperjuangkan. Saya kira, upaya meningkatkan kesejahteraan juga akan diimbangi kesediaan guru dalam mengabdi.

Dalam sebuah artikel di Tabloid Papua Baru, seorang mahasiswa pascasarjana Universitas Cendrawasih menuliskan kondisi kurangnya tenaga pendidik di Kabupaten Waropen, Provinsi Papua. Tulisan tersebut menyebutkan bahwa banyak sekolah, khususnya sekolah dasar di Kabupaten Waropen, yang kekurangan tenaga pendidik. Kondisi ini memaksa kepala sekolah merekrut warga sekitar dengan pendidikan terakhir SMA untuk mengajar di sekolah tersebut. Keresahan ini masih terjadi di 2022, dimana program PPPK itu telah berjalan.

Tulisan lain yang dipublikasikan oleh Pojoksatu.id, menggambarkan ironi lain. Artikel tersebut berisi keluhan guru honorer di salah satu daerah di Pulau Jawa, karena ditempatkan di Kalimantan Tengah sebagai guru ASN PPPK. Kabar tersebut diterima oleh para guru honorer saat pengumuman lolos seleksi guru PPPK. Kabar membahagiakan sekaligus mengejutkan bagi para guru tersebut.

Sisi baiknya, pemerintah melalui PPPK memang memetakan kebutuhan guru, termasuk di daerah terpencil. Sayangnya, hal ini tidak diimbangi dengan kesediaan guru PPPK. Alasannya, jauh dari keluarga dan kampung halaman. Alasan lainnya, karena telah lama mengajar di sekolah sebelumnya. Lalu, siapa yang harus mengajar di daerah-daerah terpencil?

Artikel yang sama juga menyebutkan solusi dari permasalahan tersebut. Solusinya lebih mengejutkan. Pemerintah daerah setempat, melakukan diskusi dan negosiasi kepada Kementerian Aparatur Pendayagunaan Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) agar para guru PPPK tetap mengajar di daerahnya. Hasilnya, keluhan tersebut diterima oleh Kemen PAN-RB. Para guru PPPK tidak harus mengajar di Kalimantan Tengah dan berkesempatan mengajar di daerah asal, dengan syarat-syarat tertentu.

Meskipun dilakukan secara bersyarat, pada akhirnya tujuan pemerataan tenaga didik menjadi semu. Yang keberatan, boleh mengajukan keluhan.

Pemerintah yang mengadakan program tersebut untuk pemerataan pendidikan yang lebih baik, tetapi keluhan karena jauh dengan kampung halaman ditanggapi dengan demikian. Ini hanya satu kasus, jika hampir semua guru PPPK tak ingin jauh dari kampung halaman, akhirnya akan sama saja. Lagi-lagi warga yang bahkan dengan latar belakang pendidikan tidak relevan, harus mengajar di daerah terpencil.

Mungkin sudah cukup ketika pemerintah memiliki jawaban: tenang, ada program PPPK. Namun, tanggung jawab itu tidak hanya sebatas menjalankan PPPK.

Dekat, mudah diakses, nyaman, memang faktor manusiawi ketika seseorang memilih pekerjaan. Masyarakat Indonesia tentu menghormati guru sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa" yang rela mengabdi untuk kepentingan negeri. Saya rasa, masyarakat Indonesia juga berhak meminta totalitas guru dalam menjalankan amanahnya.

Tidak ada salahnya dalam kebijakan PPPK, pemerintah memberikan kesempatan guru PPPK untuk memilih sekolah lamanya sebagai prioritas. Apalagi, bagi para guru yang telah mengajar dalam rentang waktu yang lama. Tak salah juga ketika pemerintah memberi kesempatan guru PPPK memilih tempatnya mengajar. Ini sebagai bentuk menghargai hak satu sama lain.

Sebagai gantinya, semua pihak harus menyadari tujuan awal dari program ini. Meningkatkan kesejahteraan guru dengan jabatan yang lebih terikat dengan pemerintah. Dengan begitu, para guru honorer memiliki posisi yang lebih stabil, secara finansial dan hak lainnya. Kemudian, ada pemerataan pendidikan yang sedang dituju. Akan lebih banyak guru dengan jaminan kerja yang sudah stabil dan harapannya siap mengajar di sekolah-sekolah yang membutuhkan.

Adanya contoh peristiwa yang telah disebutkan, menunjukkan perlu keseriusan pemerintah menginterpretasikan program PPPK secara maksimal. Pemetaan penempatan guru PPPK dapat disosialisasikan lebih awal dan saling menyatukan visi agar semua pihak menyadari urgensi yang dituju.

Guru, profesi yang dihargai juga statusnya oleh masyarakat Indonesia, perlu menyadari betapa dibutuhkannya peran ia sebagai pendidik. Masih banyak anak Indonesia yang membutuhkan jasanya. Untuk itu juga, program PPPK ini dilakukan. Ketika di kota-kota besar saling berebut kursi, di daerah terpencil terpaksa merangkul siapapun untuk menjadi guru. Tanpa memperdebatkan latar belakang pendidikannya. Dedikasi masyarakat tersebut patut kita apresiasi. Namun, apakah hal itu solusi yang tepat? Banyak kursi kosong yang perlu diisi oleh guru berpengalaman.

Pada akhirnya, kita perlu mengesampingkan persoalan teknis. Program PPPK juga melibatkan faktor secara batin. Bagaimana tujuan mulia tersebut bisa dicapai oleh berbagai pihak, beragam kepentingan, serta adanya ego masing-masing. Saling memahami mungkin akan sedikit membantu peperangan ego yang terjadi di tengah pelaksanaan program PPPK.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun