Kasus obat sirup “maut” yang menyerang anak-anak di Indonesia pada Oktober 2022 lalu masih berjalan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akhirnya memberikan sanksi pada enam perusahaan farmasi yang memproduksi obat menggunakan zat pelarut Propylene Glikol dengan kandungan Etylen Glikol dan Dietilen Glikol diluar ambang batas aman. Enam perusahaan tersebut adalah PT Yarindo Farmatama, PT Afi Farma, PT Universal Pharmaceutical Industries, PT Ciubros Farma, PT Samco Farma, dan Rama Emerald Multi Sukses.
Dalam sebuah keterangan saat melakukan pemeriksaan di PT Yarindo Farmatama, Ketua BPOM RI, Penny Lukito, menyebutkan kandungan Etylen Glikol dalam obat produksi perusahaan tersebut mencapai 48mg/ml. Jumlah ini seratus kali lipat lebih banyak, bahkan lebih dari itu, mengingat seharusnya hanya diizinkan sebanyak 0,1 mg/ml.
Mengapa hal fatal seperti ini justru lepas dari pengawasan?
Mengacu pada Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, disebutkan bahwa BPOM memiliki fungsi menyusun dan menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengawasan sebelum beredar dan pengawasan selama beredar.
Fungsi pelaksana teknis dalam Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan yang tertera pada laman BPOM pun menyebutkan bagaimana BPOM seharusnya menjalankan peran, di antaranya dengan memantau label dan iklan obat serta makanan, melakukan pengujian rutin obat dan makanan, melakukan cegah tangkal, intelijen, dan penyidikan atas pelanggaran regulasi pengawasan obat dan makanan.
Dari keterangan BPOM, produsen mengganti sumber bahan baku tanpa melaporkannya, hingga tak sesuai standar dan mutu keamanan yang telah ditetapkan.
Dilihat dari aturan-aturan ini, terlihat jelas ada celah BPOM dalam menjalankan peran preventifnya. Bagaimana kasus ini bisa terjadi, padahal BPOM memiliki fungsi pengawasan terhadap obat-obatan sebelum beredar, memantau label dan iklan obat, serta melakukan pengujian rutin.
Apabila produsen obat lengah dan tak melaporkan perubahan sumber baku, adanya peran BPOM yang melakukan pengujian rutin seharusnya dapat mengetahui hal fatal ini.
Kemenkes RI menyatakan, per 16 November 2022, kasus ini telah menyebabkan 199 anak meninggal dunia dari 324 anak yang terdampak. Mengingat satu nyawa pun sangat berharga, angka ini tentu tidak bisa dianggap sepele. Terlebih akibat penggunaan bahan tak sesuai mutu dan implementasi regulasi yang kurang maksimal, dimana hal ini seharusnya bisa diantisipasi oleh BPOM.
Penjelasan BPOM RI Nomor HM.01.1.1.12.22.188 Tanggal 22 Desember 2022 tentang Tindak Lanjut Investigasi dan Pengawasan BPOM terhadap Sirup Obat yang Tidak Memenuhi Syarat mengatakan bahwa 6 perusahaan farmasi tersebut mendapat beberapa sanksi, di antaranya pencabutan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan pencabutan izin edar untuk semua produk.
Langkah penindakan dengan investigasi dan mencabut izinnya merupakan langkah yang tepat. Pun, sesuai dengan kewenangannya yang tertera pada undang-undang. Namun, yang perlu dipertanyakan, bagaimana seharusnya BPOM mencegah kasus seperti ini terjadi.