Mohon tunggu...
Via Ajeng
Via Ajeng Mohon Tunggu... Tutor - Belajar sepanjang hayat.

Daya tahan, menjaga harapan, merawat kegembiraan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Baira dan Bunga-bunga

15 Desember 2021   10:20 Diperbarui: 15 Desember 2021   10:53 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Peluh perempuan tua bernama Baira itu masih membasahi tubuhnya. Tangan perkasanya masih tangkas menyemai bibit Seruni. Menyiraminya setiap petang dan pada waktunya perempuan itu memanen Seruni yang dengan telaten ia rawat setiap hari. Di ladang bunga milik tetangga, Baira bekerja. Penghujung musim hujan di bulan Maret atau April menjadi waktu yang tepat untuknya menyemai bibit bunga. Sebab cuaca menjadi sedikit hangat. Cuaca yang demikian membuat bibit bunga tumbuh dengan baik dan sempurna.

Baira paham betul kapan bunga-bunga mulai dipangkas, mana yang sudah sempurna untuk di panen dan mana yang masih memerlukan perawatan khusus. Ia selalu memantau perkembangan bunga-bunga. Sudah belasan tahun Baira bekerja sebagai petani bunga di ladang milik tetangganya. Hari-harinya ia lalui di ladang, setiap pagi dan petang. Siang harinya Baira bekerja sebagai penjahit. Penghasilan dari menjahit memang tidak seberapa dan bahkan tidak tentu, namun Baira cukup bahagia sebab selain merawat bunga di ladang ia masih bisa memiliki pekerjaan sampingan sebagai penjahit. Baginya masa tua ditambah anak-anak yang sudah jauh merantau meninggalkannya tak lantas membuatnya berpangku tangan dan menunggu pemberian rezeki dari anak-anaknya yang sudah hidup mapan di kota. Masa tua tetaplah harus bekerja, bekerja kecil-kecilan, berapapun hasil yang didapat. Tak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup, melainkan menggerakan tubuh, menggerakkan jiwa, agar tak mudah merapuh di sisa usia.

Baira sempat berpikir, Tuhan sudah memberi segala yang diminta manusia. Tidak pantas rasanya bila di sisa usia yang tinggal menunggu maut ini tak dimanfaatkan untuk bekerja, mengasah diri, agar waktunya terus berguna untuk hal-hal yang berarti. Soal kebutuhan hidup Baira tak terlalu mengkhawatirkan, ia sudah nyaman tinggal di desa dengan bahan-bahan pokok yang murah didapat serta ladang belakang rumah yang selalu menyediakan sayuran dan buah-buahan untuknya setiap hari. Toh bila hidup di desa, watak orang-orang desa memang suka memberi pada sekitarnya. Mau ini itu tinggal bilang ke pemiliknya tanpa harus membeli dengan harga yang mahal. Tentu bukan bermaksud mengharapkan yang lebih dari tetangga. Dengan hidup di desa yang serba cukup membuat Baira nyaman menjalani hidup meski jauh dari anak-anaknya.

Letak desa yang berada di lereng pegunungan itu membuat daerahnya banyak ditumbuhi bunga-bunga. Mulai dari Mawar, Seruni, Anggrek, Melati, Teratai, Matahari, Dahlia, Anyelir, dan banyak bunga-bunga cantik yang barangkali orang-orang tak mengerti apa nama bunga itu, tersebab bentuk dan warnanya yang unik dan tidak familiar di mata orang kebanyakan. Tapi semua mengakui bunga-bunga pegunungan memang bunga-bunga cantik dan mungil, sedap dipandang mata, meski terkadang tak diketahui apa nama bunga itu.

            Orang-orang lereng pegunungan banyak menanam bunga-bunga di halaman rumah mereka. Jalanan dekat rumah mereka juga banyak ditumbuhi bunga-bunga. Sehingga selain hawa sejuk dan banyak tanaman hijau segar, mata manusia akan dimanjakan dengan pemandangan bunga-bunga dengan warnanya yang menarik dan menggelitik. Rasanya ingin memetik dan membawa pulang bunga-bunga yang dilihat sepanjang jalan. Menaruhnya di botol yang berisi air agar tak cepat layu dan dipajang di meja ruang tamu atau meja teras rumah, maka ruang di rumah kita akan lebih cantik dibuatnya.

Di ladang bunga tempatnya bekerja, Baira menyemai bibit Seruni dengan warnanya yang beragam, mulai dari putih, kuning, merah maroon, oranye, merah jambu, hingga  jingga. Jenis Seruni yang ia tanam adalah Seruni potong, sehingga setiap pengunjung bunga yang datang dan ingin memetik bunga, Baira telah bersedia memotongkan bunga-bunga itu, sebab pengunjung dilarang memotong bunga-bunga itu sendirian, hanya perawat bungalah yang mengetahui bunga mana yang sudah siap untuk dipetik begitu pula yang belum.

Setangkai Seruni seharga dua ribu rupiah. Pengunjung bebas memilih warna. Selain bunga-bunga yang dapat dipetik dan dibawa pulang, pengunjung juga dapat berswafoto di dalam ladang bunga tersebut, asalkan tidak merusak bunga-bunga yang tumbuh. Pengunjung yang hanya ingin berswafoto atau hanya melihat-lihat saja tidak akan dipungut biaya.

Setiap hari Baira menyaksikan animo pengunjung yang beragam pula. Keluarga besar, rombongan piknik tingkat RT, ibu-ibu PKK, rombongan PAUD, geng anak-anak muda, gadis-gadis desa sebelah yang menuju dewasa sampai berpasang-pasang kekasih dan suami istri yang sedang kencan dan jalan-jalan. Mereka berswafoto dengan berbagai gaya. Menjelajahi ladang bunga sambil mengobrolkan berbagai hal. Ada pula yang hanya duduk-duduk di pinggir ladang dan memandangi orang-orang bergaya. Bagaimana bisa Baira kesepian hidupnya. Hari-harinya adalah menonton ratusan manusia dengan berbagai ekspresi dan gaya, mengamati manusia-manusia berhasrat, juga bunga-bunga yang memikat.

Dalam susasana yang ramai pengunjung semacam itu, Baira hanya akan menempatkan dirinya di pojok ladang dekat peralatan yang biasa ia gunakan di ladang. Sebuah lincak setengah reyot dengan alas tikar jerami yang tak lagi utuh menjadi tempat persinggahannya sambil menunggu pengunjung mendatanginya untuk memotong beberapa tangkai Seruni yang akan dibeli. Perempuan bersusur itu selalu melayani pengunjung dengan senyum dan sapanya yang ramah. Ia akan berbasa-basi pada pengunjung setiap kali ada pengunjung yang memintanya memetik bunga. Mulai dari bertanya alamat, pekerjaan, nama, hingga minat dan perjalanan menuju ke ladang bunga itu.

Baira merasa akan mendapatkan banyak informasi dan cerita ketika berbasa-basi dengan para pegunjung dari berbagai daerah. Meski hidup di desa, ia akhirnya memiliki alasan untuk tetap mengetahui dunia luar, kehidupan modern, dunia masa kini, orang-orang kota. Ia pun santai saja ketika para ibu-ibu di desanya heboh dengan berbagai kabar dunia dan teknologi terbaru era sekarang. Meski Baira tak memiliki benda-benda canggih itu, setidaknya ia begitu sering menyaksikan benda-benda itu dioperasikan oleh para pengunjung di ladang bunga. Kadang-kadang ia diminta pengunjung untuk mengambilkan gambar dengan benda-benda itu. Baira pun tak asing lagi dengan alat-alat canggih era sekarang.

***

 

Sore hari adalah waktu yang longgar untuknya bercengkerama bersama kanak-kanak desa. Di ladang bunga itu anak-anak berkejaran. Rekah tawa yang renyah seolah meringankan segala rasa gundah dan lelah Baira selepas menjaga dan merawat ladang seharian. Anak-anak desa adalah hiburan kesekian bagi Baira. Manja dan tingkah-polah mereka membuat sore hari Baira serupa berpiknik dan melepas seluruh kepenatan. Anak-anak baginya adalah lumbung kebahagiaan. Meski terkadang kecemasan menggalayut dipundaknya bila teringat tentang anak cucu yang merantau jauh meninggalkannya. Ada rasa ingin bertemu, kekhawatiran tentang keadaan, dan takut ditinggalkan.

Sebagai perempuan tua yang hidup sendirian, Baira nyatanya memiliki cara yang beragam untuk menikmati hidupnya. Ladang bunga yang ramai, kehidupan desa yang nyaman, anak-anak yang membahagiakan. Meskipun di lain sisi, sebuah kesunyian hidup terkadang membangunkannya. Kesendirian yang utuh, adalah hantu yang terus membayanginya mengarungi hidup. Namun selalu, perempuan itu  piawai menyembunyikan kecemasan.

Rambutnya yang telah memutih, mata yang perlahan cekung dan sering berair serta tulang-tulang yang perlu diistirahatkan. Setiap malam, dalam kelelahannya, hantu kesepian itu selalu datang. Kadangkala membuat matanya sedikit berair, bukan karena menguap namun meratapi  kesendirian. Tak ada seorangpun yang bisa diajaknya cerita di malam-malam yang larut. Menumpahkan sedih dan keluh, mencemaskan masa tua yang rapuh. Perempuan itu akhirnya menyadari, bahwa kebahagiaannya tak pernah utuh. Ada sisi-sisi yang hilang tanpa kepastian. Sisi sebagai seorang ibu, sebagai seorang nenek, juga sebagai seorang istri. Hidupnya kini sebatangkara sebagai seorang manusia yang harus menanggung tempa dunia.

Pernah suatu kali Baira tergelepar kesakitan sendirian di rumahnya. Para tetangga tengah sibuk pergi ke sawah. Siang yang terik, tak ada seorangpun yang menemani Baira kala itu. Tubuhnya hampir pasrah  meskipun hanya masuk angin, namun ia terbaring seharian di rumahnya. Tak ada yang bisa ia mintai tolong membeli obat. Dirinya hanya menangis dan mencoba bertahan dalam keadaan kesakitan. Sebentar tertidur sebentar bangun, matanya berkunang-kunang, pikirannya kemana-mana. Tubuhnya gemetar, terasa dingin namun suhu tubuhnya naik. Rasa mual dan keringat dingin.

Setelah beberapa jam tertidur, Baira baru dapat bangkit dari ranjangnya. Lantas membuat teh hangat. Pandangannya berkunang-kunang. Tak ada nasi,lauk atau apapun untuk mengisi perutnya kecuali singkong rebus kemarin sore. Tubuhnya lemas tiada daya. Rasanya ingin menunggu ada yang membawakan makanan tapi tak ada yang bisa ditunggu. Sendirian ia memandang jauh jalan depan rumahnya. Melamun begitu lama. Tubuhnya menyandar pada kursi tua yang menempel tiang depan rumahnya. Sepi, hanya kendaran satu dua yang melintas jalanan depan rumahnya. Masa tua yang menyesakkan. Tapi Baira bisa apa?

***

Baira dan bunga-bunga yang dirawatnya punya cerita sendiri. Sebuah ruang imajinasi dan batin Baira mengisahkan puluhan bunga-bunga yang merekah indah. Bunga-bunga itu adalah wajah manusia-manusia yang dikenal baik olehnya. Setiap orang bagi Baira memiliki karakter dan kebaikannya sendiri. Kebaikan-kebaikan itu menjelma kelopak-kelopak bunga yang tersusun cantik. Satu manusia adalah satu jenis bunga. Betapa bahagianya Baira bila sedang menamai si A dengan bunga ini, si B dengan bunga itu. Rasanya ia hidup ditengah taman bunga, kebaikan-kebaikan yang wangi dan mengelilingi.

Akhirnya Baira menyadari, kehidupannya tak selengkap orang-orang yang dikelilingi sanak saudara. Hidupnya bila direnungi sangat dalam baginya itu amat menyedihkan. Ketakutan demi ketakutan telah akut menyusun hari-harinya. Masa tuanya direnggut kecemasan. Diantara banyaknya hal yang ia takutkan dimasa tua, begitulah cara ia menambal ketakutan dan kecemasan itu agar hidupnya tak berarti sepi.

Kebaikan-kebaikan manusia di sekitarnya menjelma bunga yang indah. Tak terasa, sepanjang jalan menuju rumahnya, bunga-bunga tumbuh dan kelopaknya merekah. Setiap Baira melewatinya, maka bunga-bunga itu akan melebarkan kelopaknya dan menebar keharuman sepanjang jalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun