Mohon tunggu...
Angelina R
Angelina R Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Warga Negara Indonesia yang baik hati dan tidak sombong...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Invisible Man

26 Januari 2012   14:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:25 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku seperti cecunguk, hanya bisa menunduk dari tatapan orang sirik yang selalu memandangku sebelah mata. Mungkin bagi mereka aku hanya jonggos bodoh, miskin dan hidup bergantung pada Bapak.

Siapa yang tak mengenal Bapak? Pengusaha sukses kaya raya yang selalu berbau wangi dengan setelan mahal. Yang tidak hanya mempunyai bakat pengusaha tetapi juga menulis.

Hari ini kami sedang berada di kantor Bapak yang sangat luas dan mewah. Semua karyawan kantornya terlihat sangat bersemangat. Mereka menyelamati Bapak satu persatu.

“Selamat, Pak! Bapak berhasil membuktikan bahwa semua orang bisa menulis.” Salah saorang karyawankantornya berkata.

“Buku Bapak memang sangat hebat! Menurut saya dari ke empat buku Bapak yang telah diterbitkan, ini adalah buku bapak yang paling bagus.” Kata seorang lagi diantara mereka. Bapak tersenyum dan aku mendadak muak. Mereka penuh dengan kepura-puraan. Pujian yang dilontarkan pada Bapak semerta-merta hanya untuk mengambil hati Bapak.

Cuih!! Dalam hati aku mencerca barisan karyawan yang hanya bisa menjilat. Mereka, seperti anjing pada tuannya bedanya, anjing sangat setia pada tuannya sedangkan mereka sama sekali tidak. Mereka juga sangat mebenci diriku. Mereka membenci aku karena aku orang nomor satu kepercayaan Bapak. Masih lekat dalam ingatanku mereka mengunjing tentangku.

“Huh, siapa dia, kok bisa dekat dengan bapak”

“Biasa, Jonggos!!”

“Aku dengar dia sangat dipercayai, Bapak”

“Ah siapa bilang? Dia hanya jongos yang tidak berguna.

Aku menelan dalam hati perkataan mereka. Yah aku mungkin hanya Jongos, Asisten Bapak tetapi kalo kelak mereka tahu siapa aku sebenarnya. Aku yakin mereka akan menjilat kembali perkatan mereka. Toh, mereka hanyalah kumpulan orang yang iri. Mereka hanyalah segerombolan orang-orang dungu yang hanya bisa menggunjing, menyudutkan, mencibir terhadap orang yang dekat dengan bapak. Mereka takut posisinya ‘disingkirkan’

“Mardol ikut Bapak! Bawa semua buku-buku ini. Ayo kita pergi ke tempat launching buku” Tiba-tiba Bapak berkata. Semua karyawan menoleh ke arahku dengan tatapan iri. Aku mengangguk mengiyakan, bergegas aku melangkah ke samping Bapak, kemudianmengambil kardus berisi buku yang disediakan untuk keperluan launching buku Bapak. Kudekap baik-baik kardus itu di dadaku. Ada rasa haru yang tiba-tiba muncul di dadaku.

******

Kami pun bergegas menuju gedung pencakar langit nan angkuh. Di ruang lobby telah menunggu beberapa orang yang mengakui adalah penggemar karya-karya Bapak. Bapak membagikan buku-buku yang aku bawa

“ Ini buku saya terbaru,” mereka tersenyum.

“Wah, hebat saya salut sama pengusaha yang pandai menulis seperti Bapak,”

“Buku ini luar biasa, jarang sekali saya menemukan isi buku yang menawan,” ucap salah seorang dari antara mereka. Segudang pujian terlontar kepada Bapak. Bapak sangat senang hari itu.

Aku hanya menunduk, mengikuti jejak bapak kemanapun dia pergi. Hari itu bapak benar-benar menjadi seorang super star

******

Koran harian aku baca, tertulis resensi buku yang bapak karang. Seorang pensiunan jenderal yang terkenal mengapresiasi buku itu. Nama bapak disebut sebagai pengusaha handal yang piawai mengelola usaha dan kata..

Terasa ada kepuasan batin yang aku tak mengerti. Teringat kembali ucapan-ucapan yang terlontar pada Bapak saat launching buku nya beberapa waktu lalu. Semua orang mengapresiasi buku itu. Tiba-tiba timbul kepuasaan dan kesenangan yang membuncah, tapi entah setiap kali kesenangan muncul setiap kali itu pula kesedihan merambat, sama kuatnya.

Buku-buku Bapak adalah buku hasil tulisanku. Aku dibayar Bapak untuk menulis. Teringat lagi kata Bapak ketika pertama kali bertemu denganku.

“Kau penulis yang hebat. Tetapi aku tidak yakin karyamu akan diapresiasi di negeri ini. Sekarang bukan soal karya tetapi siapa yang menerbitkan buku. Bagaimana kalo kau yang menuliskan buku dan aku yang menerbitkannya menggunakan namaku. Kau akan kukasih keuntungan tujuhpuluh percen dari hasil penjualan.”

Aku mengiyakan tawaran Bapak. Sekarang aku telah mendapatkan tujuh puluh persen dari hasil penjualan buku-buku itu. Aku mendapatkan uang. Menulis untuk mendapatkan uang? Ahh tiba-tiba aku merasa derajatku sama dengan pelacur. Pelacur, ya, yang memberikan kenikmatan pada tiap orang lalu mengenyahkan diriku. Kerjanya memuaskan kliennku, tidak-bukan, bukan pelacur tapi.... Tiba-tiba aku tak bisa lagi memberi defenisi yang tepat tentang diriku. Tetapi yang pasti batinku bergolak, panas. Hatiku tersayat, setiap kali ada orang yang memuji buku itu.

Ah, tetapi bila dipikir-pikir kembali, bila orang menyampaikan segala pujian terhadap buku Bapak, ada kepuasan dan kesenangan yang aku rasakan. Ini kesenangan dan kepuasaan karena buku itu diapresiasi banyak orang, mereka membaca dan mendengarkan karyaku.

Ah,,,,tapi karya itu tak mampu aku miliki, bahkan semua orang tak tahu siapa yang membuat buku itu. mereka hanya tahu Bapak yang menyumbangkan pemikirannya dan menuangkan dalam buku......

Aku terasa tercerabut dan asing dengan karya yang aku miliki. Semua orang tak tahu dengan jerih payahku, setiap hari memandangi monitor, browsing dan membaca. Lalu merangkai dan meramu, mengolah menjadi sebuah pemikiranku pada sebuah buku. Ya ini dihadapanku, seolah Bapak yang membuatnya padahal aku! Ya Aku!

Aku seorang ghost writer, aku tak tahu apakah profesi ini membanggakan atau tidak, tapi yang jelas kadang-kadang aku terluka setiap kali namaku tak tertera dalam buku yang aku ciptakan, tapi jika namaku yangdiberi label, mungkin orang enggan untuk mendengar dan membaca. Aku ini siapa? Cecungguk? Penjilat? Pecundang? Pelacur intelektual? Atau apa?

Entahlah, aku jenuh dengan itu, biarlah aku yang tahu hal sebenarnya. Biarlah mereka hanya tahu aku tak memiliki karya. Sudahlah aku menikmati profesi ini meski tak ada pengakuan dari mereka, tak ada penghargaan dan penghormatan. aku tetaplah tak tersentuh! Tetapi yang penting aku terus menulis saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun