Mohon tunggu...
Ajat Sulthan
Ajat Sulthan Mohon Tunggu... -

BINTANG tetap Bersinar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menolak Politisi Kutu Loncat !!!

16 April 2013   23:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:05 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KUTU loncat dalam politik modern di Indonesia menjadi fenomena yang dianggap wajar saja. Fenomena itu bukan lagi cacat dan aib, melainkan fantasi yang dijadikan hobi. Rakyat jangan sampai kaget kalau politisi yang dikenalnya bisa memakai banyak satu jas partai politik. Jas partai yang dipakai bisa berubah setiap saat, sesuai kepentingan dan keuntungan yang didapatkan. Tahun politik 2013 menyajikan drama kutu loncat seperti film sinetron yang setiap episode berubah. Ideologi politik sudah selesai sejarahnya (end of ideology) karena ideologi membuat kaki politik hanya meraih keuntungan yang terbatas.

Praktik kutu loncat menjadi indikasi bahwa partai politik sekadar institusi administratif politik. Partai politik bukan lagi organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela, atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita, untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa, dan negara, juga memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Itu hanya menurut UU No 2 Tahun 2008, dan itu sudah tidak laku lagi. Partai politik hanya alat untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Tujuan partai politik juga tidak lagi untuk menjalankan program yang sesuai aspirasi dan kehendak rakyat, tetapi menjalankan program yang melanggengkan kepentingan dan kekuasaan kaum elite. Fungsi partai bukan lagi sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, dan sarana pengatur konflik. Fungsi partai sekarang semata-mata sarana untuk meraih jabatan, takhta, kekayaan, citra, dan kuasa. Partai hanya menjalankan perintah kaum elite. Suara rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu saja. Rakyat ibarat mendorong mobil yang mogok. Setelah melaju, ditinggalkan begitu saja.

Politik kutu loncat mengakhiri sejarah ideologi politik. Matinya ideologi politik ini melahirkan kutu loncat yang semakin beringas. Politisi kutu loncat, meminjam istilah Indra Tranggono, ibarat tukang jual obat. Kerjanya hanya retoris, tidak substansial. Mutu dan kemanfaatan diri tidak terlalu penting. Yang diutamakan ialah provokasi publik agar percaya atas politik kutu loncatnya. Karena retoris, jualannya dibungkus dengan istilah integritas, komitmen, dan kapabilitas.

Ada banyak ciri dalam politik kutu loncat :


  • Pertama, telinga besar, pintar meng olah isu menjadi konflik. Politik kutu loncat lincah dalam memanfaatkan isu untuk membangun konflik, dengan ia menjadi pahlawan yang menyelesaikan konflik, atau ia menjadi sosok suci yang menjauhi konflik. Targetnya sederhana, ia bisa membangun citra diri, menarik simpati dan kalau pindah partai, seolah mendapatkan momentum yang sesuai.
  • Kedua, pintar obral senyum dan suara. Alasannya klise: demi rakyat. Sering kali rakyat hanya dijadikan proposal politik. Atas nama rakyat, politik kutu loncat dibenarkan untuk kepentingan sesaat.
  • Ketiga, ahli jurus kambing hitam. Politik kutu loncat tidak akan pernah melihat dirinya salah. Ia selalu mencari kambing hitam agar ia berada posisi yang selalu menguntungkan. Kambing hitam dalam politik kutu loncat dilakukan untuk bisa tampil sebagai pahlawan.
  • Keempat, berpotensi menghalalkan segala cara. Karena sudah melempar kambing hitam politik, apa pun dilakukan untuk menyukseskan agenda politiknya. Barter kepentingan antarelite biasa dilakukan untuk mengamankan posisi masing-masing.
  • Kelima, bersepatu lars; siap menendang. Karena menghalalkan segala cara, siapa pun akan ditendang. Tidak pernah peduli kawan atau saudara, kalau memungkinkan dijadikan korban, tak segan-segan segera dikorbankan dan ditendang. Cara menendangnya juga dengan banyak cara, bisa ditendang sendiri, bisa juga nabok nyileh tangan (meminjam tendangan orang lain).
  • Keenam, berkuku tajam; siap mencakar dari belakang. Politik kutu loncat sepertinya tampak manis di depan, tetapi di belakang main politik pembunuhan saudara dan teman sendiri.


Pragmatisme politik Politik kutu loncat lahir karena dunia politik modern di Indonesia dipenuhi dengan pragmatisme yang sangat akut. Pragmatisme itu termanifestasi dalam setiap gerak politik selalu identik dengan uang sehingga jabatan publik yang diraih politisi didesain untuk mengembalikan uang modal.

Politik kutu loncatakan lahir ketika dalam satu partai seseorang merasa sudah kehabisan atau kehilangan akses (uang) kekuasaan, atau partai tersebut sudah rendah elektabilitasnya sehingga ia mencari peruntungan semata: hanya mencari uang dan kekuasaan.

MATINYA IDEOLOGI PARTAI

Matinya ideologi partai ada beberapa sebab:


  • Pertama, mencari peluang karier politik yang lebih strategis. Dunia politik masih dimaknai sebagai pekerjaan utama sehingga masuk dunia politik tujuannya pasti menaikkan karier. Ketika partai politik lain dipandang lebih dapat menjamin harta maupun kedudukan, si kutu loncat akan mengincar.
  • Kedua, insiden politik. Sebab kedua itu juga cukup jamak terjadi. Politisi meloncat ke parpol lain karena terjadi insiden yang melibatkan dirinya dengan partai lama sehingga ia mengundurkan diri atau diberhentikan lalu pindah parpol lain. Penyebab kedua itu juga ada benang merahnya dengan penyebab pertama.
  • Ketiga, pragmatisme politik.


Di samping karena faktor pribadi, sejatinya perihal politisi kutu loncat ini juga dampak dari sistem struktural parpol. Yakni, buah dari eksperimen pragmatisme politik yang di lakukan oleh parpol yang kemudian menjalar ke pragmatisme politisi. Para politikus tersebut memandang paradigma politik parpol sebelumnya dengan parpol barunya sama saja sehingga ia memandang tidak ada masalah ideologis dalam berpindah partai.

Pragmatisme politik itu juga tampak telanjang mata terjadi saat pemilu-pemilu daerah, ketika parpol yang berseberangan idealisme bahkan bisa duduk bersama mengusung calon kepala daerah mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun