Mohon tunggu...
Ajat Sudrajat
Ajat Sudrajat Mohon Tunggu... -

Saya seorang anak petani

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

“Kebhinekaan dalam Pemilu 2014”

14 Maret 2014   03:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:58 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesta demokrasi tinggal menghitung hari, kini akan segera tiba saatnya pergantian kursi kepemimpinan negeri yang kita cintai ini. Siapa yang pantas menjadi pemimpin bangsa ini berikutnya? Siapa yang bakal menang dan menduduki kursi pemerintahan belum dapat kita pastikan, meskipun survei telah banyak dilakukan namun itu tidak menjamin bahwa dia mutlak bakal menang dalam pemilu yang akan datang ini. Pemikiran seseorang sewaktu-waktu dapat berubah bahkan hanya dalam beberapa detik saja.

Para calon pemimpin pun dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari konglomerat, publik pigur, dan bahkan sampai ke tukang beca dan tukang jahit pun ada yang ikut mencalonkan diri menjadi pemimpin atau wakil rakyat. Memang tidak ada salahnya bagi mereka untuk ikut meramaikan pesta demokrasi tahun ini, namun yang menjadi pertanyaan apakah mereka itu masuk dalam kriteria calon pemimpin yang dibutuhkan masyarakat Indonesia pada saat ini? Yang berhak memberikan penilaian hanyalah diri kita masing-masing, karena kita sendiri yang merasakan. Kriteria pemimpin seperti apa yang kita butuhkan saat ini.

Pesta Demokrasi

Negara kita adalah negara demokrasi, negara yang berkedaulatan rakyat. Semua orang juga tahu bahwa pemerintahan yang demokrasi itu adalah pemerintahan yang timbul atau berasal dari rakyat, dilaksanakan oleh, dan untuk kebaikan rakyat. Lalu yang terjadi pada pemerintahan saat ini dan sebelumnya apakah sudah demokrasi? Mungkin dalam penamaan dan cara pelaksanaannya bisa dikatakan demokrasi, akan tetapi dalam pelaksanaan senyatanya tidak semua orang merasakan demokrasi ini sudah berjalan sesuai dengan demokrasi yang seharusnya.

Karena kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saat ini dan sebelumnya tidak membuat semua lapisan masyarakat merasakan keadilan, banyak kebijakan yang lebih memberikan keuntungan kepada pihak-pihak minoritas seperti kalangan menengah atau pengusaha dan juga para elite. Sedangkan bagi pihak mayoritas (rakyat kecil) tidak demikian, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah lebih sering mencekik nasib rakyat kecil ketimbang meningkatkan kesejahteraannya.

Kini akan segera tiba saatnya untuk pergantian kepemimpinan yang baru, yakni pesta demokrasi yang sangat di tunggu-tunggu oleh para calon pemimpin dan calon wakil rakyat yang sudah mengantri untuk berebut kursi dipemerintahan. Momen pesta demokrasi ini mungkin sangat di nanti-nanti para calon tadi, namun mungkin juga bagi rakyat Indonesia ini adalah momen yang membuat pusing dan bimbang untuk memilih. Karena suara mereka menentukan nasib mereka pula, apakah nasib mereka akan lebih baik lagi atau malah semakin tercekik. Inilah yang membuat bimbangnya, jangan sampai salah memilih.

Suara yang Sia-Sia

Suara kita sangat menentukan nasib kita untuk jangka waktu lima tahun berikutnya. Maka ketika waktu pemilihan umum tiba, rakyat jangan sampai salah memilih. Namun apabila meninjau kembali pesta demokrasi sebelum-sebelumnya suara rakyat dengan mudahnya diperjualbelikan. Serangan fajar misalnya, dan disamping itu banyak cara untuk membeli hati dan suara rakyat, dengan adanya cek kesehatan gratis, pemberian bantuan berupa pembagian sembako misalnya.

Bentuk kampanyenya pun beragam, mulai dari kampanye yang biasa-biasa berorasi dan menyuarakan visi dan misi di depan masyarakat banyak, ada yang kampanye dengan diramaikan oleh para penyanyi dangdut mulai dari penyanyi biasa sampai artis dangdut papan atas, dan bahkan sekarang lagi gencar-gencarnya para penyanyi dangdut yang biasa menghibur acara kampanye ikut mencalonkan diri menjadi caleg. Lalu bentuk kampanye yang paling ngtrend saat ini adalah belusukan seperti biasa dilakukan oleh gubernur DKI.

Belusukan yang bermacam-macam, ada yang mendadak menjadi petani, mendadak menjadi rakyat biasa yang belusukan ke pasar tradisional pun tidak ikut ketinggalan. Itu semua tidak lain untuk membeli hati dan suara rakyat ketika pemilu tiba. Untuk itu rakyat harus hati-hati dengan cara-cara licik para calon pemimpin dan calon wakil rakyat yang saat ini sedang antri untuk menduduki kursi pemerintahan. Perubahan perilaku, karakter dan sikap serta gaya bahasa yang terjadi hanya sesaat, jangan sampai kita terbuai dengan tipu daya tersebut, jangan sampai suara kita diberikan sia-sia dengan dibeli oleh uang ataupun yang lainnya, yang kesemua itu tidak menjamin hidup kita akan lebih baik lagi ke depannya. Rakyat harus tahu tugas para wakil rakyat di kursi pemerintahan itu bukan untuk dilayani kita, tapi justru mereka ada dan menduduki kursi pemerintahan itu untuk melayani kita, rakyat Indonesia.

Modal Caleg Era Kontemporer

Ulah para calon wakil rakyat kini membuat galau masyarakat, kenapa tidak. Coba kita telaah kembali seluk beluk para calon wakil rakyat tersebut, kini para caleg tidak hanya bermodalkan pengetahuan saja. Modal para caleg kini beragam, mulai dari modal uang, modal tampang, modal ketenaran, dan bahkan modal nekad. Seperti inilah budaya demokrasi di negeri ini, semuanya serba semakin beragam selaras dengan ke-bhineka-an yang disandang negeri ini. Namun itu tidak jadi masalah selama tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku di negeri ini dan disamping tidak merugikan negara.

Kini topik lainnya yang sedang gencar-gencarnya mengenai ulah para caleg ini adalah perdukunan politik. Kalau perdukunan untuk memikat lawan jenis sudah biasa, namun kalau perdukunan untuk memenangkan persaingan dalam pemilu menjadi hal yang tidak biasa. Menggelikan ya ulah para caleg kita, katanya negara ini negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang telah ditegaskan dalam Pasal 29 UUD Negara Republik Indonesia.

Indonesia adalah negara yang mewajibkan warga negaranya untuk memiliki kepercayaan yang dia yakini. Dengan pernyataan ini secara tidak langsung negara telah menyuruh warga negaranya untuk taat dan patuh terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap ajaran agama yang dia yakini. Lalu apa yang sedang terjadi kepada para caleg kita saat ini? Seandainya benar mereka menempuh jalan perdukunan untuk meramaikan pesta demokrasi kali ini, apakah mereka sudah dapat dikatakan sebagai calon pemimpin dan warga negara yang baik, yang taat dan patuh terhadap Tuhan mereka, dan menjalankan ajaran agamanya seperti yang diwajibkan oleh negara ini? Yang berhak memberikan penilaian hanya diri kita masing-masing, kita tahu mana yang baik mana yang buruk, kita juga tahu mana yang salah mana yang benar, karena kita sebagai warga negara Indonesia sudah pasti beragama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun