Mohon tunggu...
Ajar Alamsyah
Ajar Alamsyah Mohon Tunggu... Guru -

The little man.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mantra

24 Juni 2016   01:01 Diperbarui: 24 Juni 2016   01:14 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mantra Paling Populer

Bismillah, itulah frasa yang selalu kita ucapkan sebelum melakukan berbagai hal, dari memulai hal yang biasa sampai hal yang akan mengubah hidup kita. Bagi para pelajar, diucapkan biasa sebelum mengerjakan makalah atau tugas lainnya, ya meskipun mantra yang sebenarnya yaitu Ctrl + C dan Ctrl + V. Dan kasus dimana kita akan memutuskan hal yang akan mengubah hidup kita, bismillah nikah dulu, bismillah ingin membahagiakan kedua orang tua dulu, bismillah ingin melanjutkan studi dulu, bismillah ingin berkarir dan mandiri dulu, dan bismillah-bismillah yang lainnya. Ya, itulah mantra yang paling populer, yang paling sering kita gunakan. Dan tahukah Pembaca, sebenarnya ada lagi mantra yang sama populernya dengan bismillah? Akan tetapi ia menjadi semacam lip service atau bahasa yang lebih vulgarnya yaitu omong kosong. Ya, Ins*a Allah Saya selesaikan malam ini, tapi Saya nggak janji. Ins*a Allah bulan depan, Bu. Saya akan melakukan yang terbaik, Ins*a Allah.

3 Mantra Terkuat

Tiga mantra terkuat ini bukanlah mantra Penulis, tetapi mantra-mantra abang A. Fuadi dalam novel trilogi negeri 5 menara, yang novel pertamanya sudah diangkat ke layar perak.

Mantra pertama, man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh, maka ia akan berhasil. Pembaca tidak perlu secermelang Habibie, tidak perlu sejenius Einstein, tidak perlu berbakat seperti Marlon Brando, dan tidak perlu secerdas Bill Gates. Kesungguhanlah kondisinya, dan Penulis harap, Pembaca tidak sekadar membacanya yang hanya akan menyimpulkan, gampang dong. Yang penulis hendak tekankan ialah bahwa Penulis percaya, sangat yakin seyakin-yakinnya bahwa setiap individu dapat bersungguh-sungguh dan berhasil. Dan pada titik dimana kita merasa sudah berhasil dan membandingkan keberhasilan dengan keberhasilan orang lain, saat itulah kita kehilangan entitas dari mantra yang pertama. B.J. Habibie, Albert Einstein, Marlon Brando, Bill Gates, dan orang-orang yang di sekitar Pembaca yang Pembaca hormati, yang menginspirasi Pembaca, yang Pembaca sebut orang hebat. Pikirkan, tidak, renungkanlah hal ini. Bintang itu banyak, milyaran bahkan triliunan atau tak tehitung jumlahnya, dan Penulis melihat beberapa bintang jatuh yang memberi harapan kepada orang yang percaya terhadap doanya. Jadilah bintang jatuh yang membuat orang berdoa, bukan menjadi bintang yang lebih bersinar dari bintang-bintang lainnya.

Mantra kedua, man shabara zhafira, siapa yang sabar maka ia akan beruntung. Mari kita menjadi pribadi yang selalu melatih akal kita dengan menerjemahkan atau mengartikan sesuatu dengan tajam. Kala Penulis mengartikan religius itu berarti selalu memakai peci, berbusana muslim, kesannya paling beragama, dan kini Penulis akui akal Penulis harus terus dilatih. Dan pernah Penulis salat Jumat di daerah Penulis belum lama ini, dan khotbah­-nya menggunakan bahasa Arab, dan Penulis menyimpulkan intisari khotbah tersebut, Ka Zet eL (KZL) . Penulis perlu memberi catatan bahwa pasti ada yang bungkusannya agamais begitu juga dalemnya, dan yang bungkusannya “sekuler” dan dalemanya agamais banget, contohnya Pancasila. Dengan demikian, kita ubah persepsi kita akan sabar, sabar artinya dalam Sepak Bola yakni 4-3-3 bukan 5-4-1 atau dalam Bulutangkis itu smash bukan bermain reli-reli panjang, dan pada saat kalah dengan 4-3-3 atau smah-nya ia tidak kehilangan antusias, ia malah lebih “bernafsu”. Itulah sabar versi Penulis. Maaf akan gaya bahaya yang njlimet, “Ninjas do not like make things easy,” said Naruto.

Mantra ketiga, man saara ala darbi washala, siapa yang berjalan di jalannya akan sampai ke tempat tujuan. Jalan lurus yang terkesan membosankan, monoton, dan meletihkan. Atau jalan penuh kesenangan yang menipu. Man saara ala darbi warshala; bertualanglah sejauh mata memandang, mengayuhlah sejauh lautan terbentang, bergurulah sejauh alam terkembang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun