Mohon tunggu...
Ajar Alamsyah
Ajar Alamsyah Mohon Tunggu... Guru -

The little man.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Self-Destructive Habits

22 Januari 2016   11:36 Diperbarui: 25 Februari 2016   17:35 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Eleven Percent

“Everybody is happy with New Year’s celebration because we all can start over.” Ya, semua orang senang dengan perayaan Tahun Baru karena kita semua dapat memulai hal baru. Pengalaman baru, ilmu baru, teman baru, lingkungan baru, hobi baru, dan baru-baru lainnya yang menunggu di depan sana. Pembaca memiliki resolusi yang cukup besar di tahun ini? Dan belum sebulan “baterai”-nya sudah terasa low-batt? Berarti Pembaca membutuhkan “teknik baru”. Baru yang ini mungkin Pembaca bisa sedikit tebak, karena hampir dari kita semua, termasuk Penulis, selalu “mengasuh” motivasi sebagai modal keberhasilan kita. Sebenarnya motivasi hanya berperan 11 persen untuk keberhasilan yang kita capai dalam buku Felix Y. Siauw, How to Master Your Habits (2013). Jadi, jika di setiap pagi Pembaca selalu menyemangati diri sendiri lewat melihat kaca cermin dan berkata, “Semangat!”. Selamat, Anda bukan orang yang kekinian. Correctomundo! Memang Pembaca ialah orang yang cerdas. Jadi benar, keberhasilan kita itu ditentukan oleh kebiasaan kita. Kita ingin menjadi orang berilmu, jadi kebiasaannya bukan hura-hura. Kita ingin menjadi Public Speaker yang baik, jadi kebiasaannya seperti “orang gila”, ngomong sendiri (melatih diri) di depan cermin. Kita ingin “naik kelas”, kebiasaan kita ialah berdisiplin, menunda kenikmatan-kenikmatan. Berhenti sampai di sini contohnya karena Penulis tidak memfokuskan hal itu dalam boks ini. Fokus Penulis ialah bahwa dalam pembelajaran itu, celakanya, ada beberapa habits yang dapat merusak yang ditulis oleh Prof. Jagdish N. Sheth dari Illinois (2007). Berikut Penulis sajikan kebisaan-kebiasaan yang merusak.

 

Six Self-Destructive Habits

1. Menyangkal/ Terlalu Reaktif

Proyek 35.000 Mega Watt? Gile luh, Ndro? Nah itu salah satu contohnya. Padahal, setiap kali pulang, hal yang pertama kita cari adalah colokan untuk men­-charge hp, bukan mengucapkan salam atau menyapa Ayah dan Ibu. Kita langsung mengrinyitkan dahi ketika mendengar hal-hal yang seakan-akan menjadi beban bagi kita. Tarif BBM naik, kita langsung mengumpat. Padahal sering kali, hal-hal baru itulah yang akan menyelamatkan kita. Nah, yang ini biasanya dilakukan oleh kaum hawa, yakni terlalu reaktif. Mereka kaget, mereka menjerit. Ketemu teman dekat setelah satu atau dua tahun tidak ketemu, mereka ribut teriak-teriak seperti ada aktor tampan Korea di dekatnya. Ada diskon, otot mereka secara otomatis bergerak tanpa sadar meresponnya. Ada nomor baru yang masuk di hp pasangannya, otak mereka langsung kemana-mana. Ya, mereka memang pasangan tepat bagi kaum Adam yang memang kalemnya bawaan dari lahir.

2. Arogan

Kamu siapa?

3. Comfort Zone

Pelaut yang hebat tidak dilahirkan di lautan yang tenang. Pembaca mungkin sudah puluhan kali mendengar kata mutiara tersebut. Di buku yang begitu populer karangan Michael H. Hart (1992) yang menglasemen 100 tokoh dunia paling berpengaruh sepanjang masa. Ia menulis bahwa kebanyakan dari tokoh yang berpengaruh itu dilahirkan sebagai anak yatim, penuh dengan kesulitan-kesulitan.

4. Competence Dependence

Saya seorang S.Pd., Saya harus jadi Guru. Saya seorang Prof., masa Saya harus mengelola TK? Saya ini berpendidikan S-1, Saya tidak akan melamar pekerjaan yang speknya buat SMA. Definisi linear itu bisa sangat “menyesatkan”. Everybody is a genius, kata Albert Einstein, jadi jangan batasi potensi Pembaca dalam hal yang ada di atas kertas. Seorang arsitek juga dapat menjadi politisi atau pejabat yang berkinerja baik, itulah yang terjadi di Bandung dengan Ridwan Kamilnya. Mulai sekarang berubahlah, yakinkan diri Pembaca dengan, I’m possible.

5. Sudut Pandang Sempit, Competitive Myopic

Penulis akan menuliskan sebuah masalah dan seseorang yang memiliki sudut pandang sempit memberi solusi terhadap permasalahan tersebut. Masalahnya adalah jalanan di kota Jakarta yang semakin macet, dan ada seseorang sebut saja namanya Si Jenius. Si Jenius memberi solusi bahwa untuk solusi jalanan yang macet di kota Jakarta ialah dengan memperlebar jalanannya. Ya, memperlebar, dari kata dasar lebar.

6. Theoritical Impulse

Sebentar lagi, dalam waktu yang relatif dekat, warga Indonesia dapat merasakan layanan publik kereta bawah tanah dan kereta cepat. Tapi, apakah itu kabar gembira? Setengah iya, setengah laginya tidak. Bangsa Indonesia dapat merasakan naik kereta bawah tanah pada tahun di mana Singapura dan Vietnam lebih dari 20 tahun sudah merasakannya. Bukan agak telat atau pun kesiangan, kita kalah telak. Kalau di Sepak Bola kita di-bully 13-0, begitu juga kereta cepat. Mengapa mereka, bangsa-bangsa lain berada jauh di depan kita? Jawabannya sederhana, kita berbicara mengenai perubahan dan mereka melaksanakannya. Teori, teori, dan teori, kita berputar-putar di sana. Bangsa kita mungkin salah tafsir dengan quote dari Abraham Lincoln, “Jika Saya diberi waktu sebulan untuk memotong sebuah pohon, saya akan menggunakan 3 minggu lebih untuk mengasah kapak (teori), dan sisanya untuk menebang pohon tersebut (realisasi).” Alih-alih mengasah kapak, kita malah menjadi bangsa doyan menunda, karena tidak ada yang lebih mudah dari pada menunda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun