Mohon tunggu...
Ai Aini
Ai Aini Mohon Tunggu... -

Perempuan yang suka menulis. Menyukai biru, pelangi, hujan, jingga, dan senja. Pisces.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Maukah Menemaniku Menikmati Senja?

23 Januari 2011   12:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:16 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menguap lebar, menunggu layar netbookku padam. Udara sepoi-sepoi di taman kota membuatku mengantuk. Sekarang sudah pukul lima sore dan aku memutuskan istirahat saja setelah sebungkus kripik kentang dan segelas cappuccino ternyata tidak berhasil membantu memecahkan kebuntuan otakku menyelesaikan tulisan yang aku buat. Tidak ada gunanya memaksakan diri.

Ups! Dimana tadi kunci motorku kutaruh ya… kok di dalam tas tidak ada. Aku mengeluarkan isi tasku. Tidak ada. Kurogoh sakuku. Nihil. Tidak ada juga. Atau mungkin tadi terjatuh ya… Gawat nih!

“Cari ini ya…” Seorang laki-laki berkaos biru mengulurkan kunci motorku.

Dan saat itulah aku cuma bisa diam melihat… lelaki itu bicara. Sensasi ini… mengapa aku merasakannya? Sensasi debaran jantung kencang yang membuat darahku mengalir keras dan membuat perutku mulas begitu mendadak.

“Boleh aku duduk?” Tanyanya setelah melihat aku menguasai keadaan. “Maaf kalau tadi mengejutkan.”

“Silahkan… terima kasih kuncinya.” Jawabku mencoba tersenyum padanya.

“Menunggu seseorang?” tanyanya. Sepertinya dia mencoba menyelidik. Hmm… kalau diperhatikan lebih lama, orang ini ada miripnya dengan… mmm… siapa ya? Ah, lupa. Pokoknya manis. Ada garis wajah yang cukup kuat terpasang di sana.

“Menunggu senja.” Jawabku. “Karena itulah, aku sering kemari.”

“Pecinta senja?” tanyanya.

Aku tersenyum. “Kamu? Lagi nunggu juga?” aku balik bertanya.

Dia terdiam, alis matanya naik sebelah. “Hmm, nggak juga. Iseng aja main ke sini.”

Lama menilik garis-garis wajahnya, aku mencoba mengingat-ingat. Tunggu… aku sepertinya pernah akrab dengan suaranya. Tapi… tidak mungkin. Apakah dia…? Sepertinya bukan.

“Gitaris?” tanyaku melihat dia membawa gitar.

“Ya gitu deh.” Tiba-tiba saja, lelaki itu menatapku dengan tatapan tak terduga. “Mau dengerin aku main nggak? Sekalian minta penilaian kamu juga.”

“Boleh saja…”

Aku terus memusatkan perhatianku pada lelaki itu. Entah kenapa saat melihatnya memegang gitar membuat aku mau tidak mau sedikit terpana. Sejak dulu, aku selalu tertarik pada cowok-cowok yang jago main gitar. Dan, dari apa yang aku dengar sekarang, dia jago bermain gitar. Ada sesuatu dari permainannya yang membuatku terhanyut. Apalagi, saat itu, dia sedang memainkan lagu “Cinta Terakhir” dari Gigi.

Tak seharusnya ku merasa sepi, kau dan aku di tempat berbeda

Seribu satu alasan melemahkan tubuh ini

Aku di sini mengingat dirimu, ku menangis tanpa air mata

Bagai bintang tak bersinar redup hati ini

Lagu itu mengingatkanku pada… Ah, sudahlah… tidak mungkin… Tapi, suara itu sepertinya sangat akrab di telingaku.

“Nah, gimana?” tanya dia tiba-tiba. Aku gelagapan, merasa bingung karena tadi terlalu terhanyut.

“Bagus banget.” Jawabku.

“Terima kasih.” Dia tersenyum. “Lagu ini pernah dinyanyikan seseorang padaku dulu. Seseorang yang sangat berarti untukku.”

“Siapa? Pacar?”

Dia kembali tersenyum. “Dia bidadariku. Penyemangat hidupku. Dia mengenalkanku pada kasihNya. Sampai aku tahu bahwa ternyata di dunia ini masih ada orang baik. Dia.”

Deg! Kata-kata itu… Benarkah dia…?

“Dia suka warna biru dan jingga. Seperti warna senja. Dia suka bunga tulip. Suka menulis puisi. Pengidap insomnia sepertiku. Dia sensitif, pemaaf dan selalu meminta maaf.”

Hah, itu aku!!! Karang… kaukah itu??!!!

*********

Lima tahun yang lalu…

Kantor sudah mulai sepi, hanya aku dan beberapa orang yang masih terlihat berkutat menggeluti pekerjaan. Aku memutuskan keluar dari ruangan, meluruskan kakiku yang kaku sambil mencari gorengan untuk menyegarkan mataku yang sudah nyaris tak bisa diajak kompromi.

Aku melongok ke luar jendela kantor dan melihat langit berwarna merah keemasan, senja mulai menjelang. Aku teringat Karang dan puisi kami…

aku ingin sampai rumah saat senja

supaya aku dan senja sempat minum teh bersama

senja, pinjami aku syairmu

seperti kau meminjam kisahku di tengah sunyi perjalananmu

mari kita baca syair berdua hingga kau terlelap terganti malam

percakapan kita usianya selalu pendek, selama hadirmu

seperti tanya-tanya tanggung yang urung kau larung

senja, sampai jumpa lagi esok

tunggu aku di depan jendela

Pecinta senja. Ya, itulah kami berdua. Tiba-tiba aku kangen sekali pada Karang. Kata-katanya yang selalu penuh humor, bisa membuatku terpingkal-pingkal. Berbagi khayalan tentang masa depan yang tak mungkin menjadi nyata. Menikmati menit-menit saat waktu begitu bersahabat dengan kami.

Aku jatuh cinta hanya dalam tempo tiga bulan sejak mengenalnya, itu pun di dunia maya! Semakin hari, aku semakin merindukannya, jika dia tidak hadir untuk chatting, aku sering bertanya sedang kemanakah dia ?

Padahal biasanya aku tidak pernah perduli, apakah seseorang akan jatuh cinta padaku atau tidak. Karena aku begitu transparan dan apa adanya. Tapi tidak untuk Karang.

Teringat kata-kata Lila, sahabatku, tempo hari ” Bagaimana engkau bisa mencintainya? Sementara engkau tidak tahu siapa dia ? Seminggu lagi kamu menikah Nad.”

Huuff… entahlah. Aku kembali menyibukkan diri dengan pekerjaanku. Buntu. Aku mengambil HP dan memencet nomor yang sangat aku hafal.

“Assalamualaikum…”

“Waalaikumsalam Nad…”

Hening.

“Apa kabar Karang?”

“Alhamdulillah baik Sayang. Kamu gimana?”

Hmm… Tahukah kamu, panggilan Sayang itu selalu mampu membuat hatiku bergetar, meleleh dan meneteskan air mata. Mengapa aku tak pernah mampu melupakanmu?

“Alhamdulillah aku baik juga…”

“Alhamdulillah…”

Aku bingung. Aku selalu kehilangan kata-kata ketika bicara denganmu.

“Halo Sayang. Kenapa?”

“Ga pa-pa Karang.”

“Kamu kangen ya?”

Ya, itulah yang selalu aku rasakan untukmu. Itulah yang ingin aku katakan untukmu. Dan aku tercekat. Tapi kau pasti sudah merasakannya.

“Hmm… Itu udah pasti… Gak usah ditanya lagi. Kalo aku telpon kamu itu pasti berarti aku kangen kamu.”

Kamu tersenyum lirih.

“Aku juga kangen kamu Sayang.”

“Ups.. Sorry, ralat Ka. Walau aku gak telpon kamu bukan berarti aku gak kangen kamu Ka. Aku selalu kangen kamu. Tapi…”

“Ya, aku tahu Sayang. Sudahlah…”

“Kau tahu aku bukanlah bidadari. Dan aku tahu kau bukanlah malaikat. Tapi mengapa saat kita berdua bersama, aku selalu merasa kita bagaikan sedang berada di surga. Tenang, nyaman indah dan damai ketika bersamamu.”

“Siapa bilang kau bukan bidadari? Buatku kau lebih baik dari bidadari-bidadari itu…”

Kau selalu bisa membuat aku tersanjung.

“Mengapa cinta tak pernah mudah untuk bersatu. Aku mencintaimu. Kau pun mencintaiku. Tak cukupkah itu membuat aku bisa selalu bersamamu. Aku sayang kamu Karang. Aku ingin memeluk ragamu. Bukan hanya bayangmu. Aku ingin membahagiakanmu. Aku ingin membuatmu bahagia dengan diriku. Bukan hanya melihatmu bahagia. Tapi apa kuasaku atas semua ini? Aku ingin marah. Tapi pada siapa? Untuk apa? Karena bila ada yang salah dari cerita cinta kita, akulah yang salah. Mengapa harus ada rasa sayang ini bila aku tak bisa bersamamu. Apa arti semua ini? Kadang aku iri pada mereka yang bisa mengekspresikan rasa sayang mereka di mana saja, kapan saja. Sedangkan kita? Huuufff… Menatap matamu saja, aku tak bisa.”

“Nggak Sayang.. Kamu sama sekali gak salah. Gak ada yang salah. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Jangan pernah bertanya mengapa bisa ada rasa sayang ini… Kita tidak pernah tahu…”

“Hmm.. Aku masih ingat puisi kamu itu…

Lihatlah di mataku, cinta telah meninggalkan jejak cahaya di sana

Jika kau tanya siapa, jawabannya adalah kamu

Kalau kau masih bertanya kenapa mesti kamu, terus terang aku tak tahu

Karena kata-kata, tak sanggup lagi menyampaikan isyarat hatiku” Dan air mataku tak terasa menetes ketika membaca kembali puisi yang pernah Karang berikan untukku itu.

“Kamu masih ingat puisi itu Nad?”

“Masih Ka. Dan nggak akan pernah aku lupa sampai kapanpun.”

Kami diam agak lama.

“Kamu mikir apa Nad?” tanyanya.

“Hhh… seperti yang lagi kamu pikirkan!” jawabku.

“Nad, aku sayang kamu!” ucapnya.

“Aku sayang kamu juga. Karang, aku bisa nekat melakukan apa pun. Kamu tahu itu kan?”

“Jangan ngaco! Janji sama aku kalau kamu nggak akan ngelakuin sesuatu yang bodoh!” ucapnya tegas.

“Jangan berakhir, Ka!” isakku.

“Nggak bisa, Sayang… nggak bisa. Arrgghh… aku sayang kamu, Nad… tapi nggak bisa,” ratapnya.

“I love you! I love you Karang! Semoga kamu mendapatkan wanita yang lebih baik dari aku, Ka! Maukah kau berjanji, suatu waktu menemaniku menikmati senja sakali saja bersamaku”

“Iya Sayang. Suatu hari nanti…”

Aku bingung bagaimana aku harus mengatakannya? Aku mencintai Karang. Tapi beberapa hari lagi aku akan menikah dengan Rangga, lelaki yang sebelumnya juga aku cintai.

Aku kembali sendiri dengan duniaku dan kekecewaanku.

********* Karang.

Aku merasakan itu. Detik ini juga.

Tanpa benar-benar berpikir, aku meraih tangan Karang dan mengecupnya pelan. Dia terkejut tapi kemudian tersenyum.

“Ke mana aja, Ka?”

“Nada, kamu bahagia kan?” tanya Karang sambil memegang bahuku lembut. Aku mengangkat kepala dan menatap mata Karang, mata yang selama ini kurindu. Aku tidak bisa menahannya lagi. Seperti bendungan yang akhirnya pecah karena dindingnya yang sudah dipenuhi retak menahun, air mataku pun mengalir kencang dan tak bisa dihentikan. Karang yang panik melihatku tiba-tiba menangis, dengan lembut mengusap air mataku.

Kutolehkan wajahku menatapnya. Ada riak kecil di wajahnya.

“Jangan nangis ya… Tuh, matahari udah mau tenggelam!”

Aku segera menatap langit yang semburat jingga di barat.

Dengan antusias dia berdiri dan menikmati sepuas-puasnya. Tangannya ia lebarkan. Matanya ia pejamkan. Ia menarik napas sangat dalam, dan mengembuskannya tanpa beban, kemudian ia berbalik ke arahku.

“Terima kasih Nad atas semuanya. Allah mengabulkan doamu. Dia mengirim bidadari lain untukku. Seminggu lagi aku akan menikah.”

Mataku berkaca-kaca. Tapi aku tahu, aku bahagia. Karena aku merasakan kebahagiaan itu pada Karang.

“Terima kasih Karang. Mau menemani aku menikmati senja. Semoga kamu bahagia.”

Suara adzan dari sebuah masjid berkumandang. Senja telah berlalu. Kami akhirnya menikmatinya berdua. Dari balik tas ia mengeluarkan sesuatu, sebuah gulungan. Sepertinya gulungan kain kanvas. Ia memberikannya padaku.

Dengan tidak sabar, aku membuka gulungan itu. Lukisan bunga tulip berwarna biru.

”Selamat ulang tahun, Nada…. Semoga kamu dan keluargamu selalu bahagia. Aku akan selalu berdoa untuk itu.”

Karang pergi. Mataku masih tak henti mengantar sosoknya hingga lenyap. Terima kasih Karang.

Sosok lain muncul dari balik bahuku. Seorang laki-laki tinggi tegap. Laki-laki yang telah menghadiahi aku bidadari kecil, Sekar.

“Hi Honey, c’mon!”

“Bunda…!” Sekar memanggil. Kulihat tawa riang di bibirnya. Aku memeluknya. Mengecupnya. Ada rasa lega yang hadir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun