Dua puluh dua tahun menghirup napas dunia, satu kali pun aku belum pernah mengatakan 'aku sayang Ibu'. Entah kenapa ada perasaan malu untuk mengatakannya. Bagiku perasaan sayang tak melulu harus diucapkan. Selama aku bisa menjaga senyum di wajah teduhnya, sudah cukup membuktikan betapa aku sangat menyayangi malaikat tanpa sayap itu.
Setidaknya itu pemikiranku selama ini. Sampai suatu hari, aku melihat mendung di wajah malaikatku.
Pagi kelabu di bulan Desember itu, Ibu menyiapakan kue yang akan kuantar ke warung-warung sebagaimana biasa. Setelah kepergian ayah, beliau memutuskan berjualan demi mencukupi kebutuhan, bahkan setelah aku mendapatkan pekerjaan yang gajinya lumayan, beliau tetap kekeuh berjualan karena pelanggannya semakin banyak.
Aku menghampirinya setelah meneguk teh hangat. "Ada apa, Bu?"
"Kemarin pas Ibu belanja di warung, ibu-ibu cerita kalau mereka dapat hadiah dari anaknya."
"Hadiah ulang tahun?" Kali ini sembari mencomot satu donat cokelat.
"Bukan. Ah, sudahlah. Cepat sarapan dan antar kue ke warung." Ibu beranjak dari dapur, menuju kamar. Langkahnya cepat, dan sesaat tadi kulihat tirta menggenang di mata cantiknya.
***
Aku sengaja pulang terlambat hari ini, dan tidak mengabari Ibu. Tadi setelah melihat tanggal di gawai, aku tahu penyebab mendung di wajahnya.
"Assalamualaikum. Bu, Kama pulang."
Aku segera menuju kamar Ibu setelah melihat ruang tamu yang biasanya menjadi tempat favorit Ibu kosong. Biasanya Ibu selalu menonton televisi sembari menungguku pulang.
Cklekk.