...dari alam aku ada, aku ada untuk alam...Â
Berawal dari obrolan singkat dengan kakak sepupu, tak sengaja menyinggung tentang Mapala. Waktu itu saya tidak tahu apa itu Mapala. Berhubung sepupu saya juga bukan anak Mapala, jadi saya tidak bisa bertanya banyak untuk mencari tahu. Tapi intinya, Mapala punya kegiatan "Kemah dan naik gunung". Â
Saya sama sekali tidak tertarik untuk ikut Mapala, apalagi setelah melihat rambut gondrong dan kumis yang dibiarkan tumbuh panjang. Sampai akhirnya, Mapala Tursina menarik atensi saya kala pengenalan UKM (daring). Di tengah kebosanan saya memantau HP seharian demi menjalani acara PBAK, Mapala Tursina adalah UKM yang paling minim informasi.Â
Jadi resume saya hanya berisi arti Mapala Tursina dan kapan terbentuknya UKM ini. Saat itu saya baru tahu arti Mapala adalah mahasiswa pencinta alam. Dalam hati saya langsung berpikir, "Pasti ada kegiatan memungut sampah".
Seiring berjalannya waktu, saya hampir melupakan semua UKM. Tapi karena saya cukup sering membuka media sosial instagram (dan wajib follow semua akun UKM) akhirnya banyak postingan yang muncul di beranda Instagram saya tentang pendaftaran UKM yang sudah ditutup.
Tapi saya tidak terlalu memikirkan itu. Sampai suatu ketika lewat instastory, Mapala membuka pertanyaan dan saya iseng bertanya tentang syarat menjadi Mapala. Hanya dua kata yang menjawab, tapi cukup mengusik ego saya sebagai manusia.Â
Yakin dan Wani (berani!). Saya orang yang butuh waktu banyak untuk mengambil suatu keputusan, menimbang baik-buruk serta tanggung jawab yang akan saya ampu nantinya.Â
Semua harus dipikir berkali-kali, hingga terkadang membuat saya melewatkan banyak kesempatan dan mundur karena tidak cukup yakin bisa bertanggungjawab atas konsekuensi yang nantinya terjadi. Atas dasar itu, akhirnya saya memantapkan hati mengikuti UKM Mapala Tursina.
Selama seminggu, saya menunda masuk grub peserta dan mencari tahu tentang Mapala lewat blog-blog di internet. Dan akhirnya karena sudah terlalu lama berpikir, saya memutuskan masuk grub. Lalu mengisi formulir, mengikuti wawancara lewat Zoom, dan melaksanakan TC. Awal TC, adalah hal cukup berat. Saya lari pada siang hari sekitar jam 12 siang (setelah kuliah online) dan jam 8 malam.
Berputar dari rumah ke jalan raya hingga tiba di kantor desa (tepatnya di perempatan, saya hampir ingin menyerah).Â
Tapi karena saya sendirian dan jarak cukup jauh, saya tetap harus berjalan diselingi lari kecil untuk sampai ke rumah. Dan sampailah saya di rumah, dengan napas yang masih abnormal saya jadi teringat sebuah novel tentang pendakian berjudul "Sweet Edelweis".Â
Dalam hati saya mengakui kebenaran di dalam tulisan itu, jika menjadi pencinta alam tidak mudah. Terutama harus lari berkilo-kilo sebelum mendaki.Â
Termasuk dilarang sok keren padahal hanya bisa nyampah dan memetik tanaman langka hanya untuk buah tangan.Â
Saat itu juga, foto-foto keren tentang pendakian langsung hilang dari otak saya. Yang ada hanya tubuh kotor penuh keringat dan berhari-hari tidak mandi. Tapi saya merasakan kesenangan sendiri setelah TC, melihat angka di aplikasi Strava membuat saya merasa jika saya "Gak males-males banget". And finally, saya memutuskan untuk lanjut.
Saya seringkali mengeluh selama masa TC. Mulai dari TC pertama tanggal 2-8 November 2020 sampai dengan TC kesepuluh tanggal 11-17 januari 2021. Saya hanya bisa melakukan pull up 3 kali dan itupun tidak naik-naik banget.Â
Dan saya sangat menghindari jalan jongkok, karena itu yang paling berat. Hal paling menyebalkan adalah ketika harus kehujanan di tengah jalan tapi jarak yang ditempuh masih banyak. Rasanya benar-benar ingin menangis karena takut akan dimarahi. Tapi ternyata, saya dapat pendamping yang cukup ramah, yaitu Mas Amar Fawazi (Tuwak). Orangnya baik dan tidak hobi marah-marah kalau saya telat setor TC dan seringkali dobel di minggu berikutnya.
Dan di TC minggu terakhir, saya selalu menunda-nunda ketika Strava menunjuk mil ke-4. Karena memang saya lagi malas keluar dan sering hujan, tiba-tiba Mas Amar (Tuwak) menagih saya bukti TC dari awal, bukti transfer, surat pernyataan, dan mengumumkan pelaksanaan BATAFIA XXV.Â
Saya kaget bukan main, setelah kelabakan mencari bukti transfer tapi malah tidak ketemu akhirnya Mas Tuwak bersedia merepotkan diri untuk meminta bukti transfer dari Mbak Nazilah (Mantul). Dan setelah itu setiap hari saya ngebut TC sebelum hari diklat.
Saat pengumuman perlengkapan yang wajib dibawa, saya kembali berada di titik persimpangan antara lanjut atau tidak. Tapi memikirkan kembali semua jalan yang sudah saya lalui demi masuk Mapala, saya membulatkan tekad jika tidak ada kata mundur lagi. Sangat sulit mencari perlengkapan, terutama pisau lipat. Setiap toko saya masuki tapi tidak ada yang menjualnya.
 Apalagi sepatu gunung ukuran 36, saya hanya menemukan di Bandung. Tapi khawatir tidak keburu, akhirnya saya mencari di daerah Malang. Dan mendapat ukuran terkecil adalah 38. Dan itu pun saya dapat pas hari H. Pukul 11 siang tanggal 25 Januari 2021 seharusnya saya sudah di tempat registrasi.Â
Tapi saya masih baru mengambil pesanan tas carrier di daerah Kedungkandang. Setelah ba'da dzuhur, saya melakukan packing dadakan dan saya sempatkan tidur siang sembari menunggu kakak saya pulang kerja. Pukul 4 sore, saya berangkat dengan membawa tas carrier 80l penuh dengan alas tidur dan perlengkapan memasak serta makanan yang banyak.Â
Sempat berputar-putar di sekitar kejaksaan, sampai akhirnya kakak saya bertanya pada abang berjaket hitam. Ternyata, tepat di belakang saya berdiri. Saya langsung menurunkan tas carrier yang membuat pundak saya terasa mau copot, lalu berlari ke dalam untuk memastikan kebenaran tempat registrasi. And well... we get started in here!
Diklat terlaksana mulai tanggal 25 Januari 2021 s/d 31 Januari 2021. Sangat berkesan untuk saya pribadi. Luar biasa dan di luar ekspetasi. Saya mendapatkan banyak ilmu dan menemukan hal-hal baru.Â
Belajar untuk tidak egois karena di suatu titik kita pasti butuh bantuan orang lain (jadi beban)
Dan lebih menghargai hal-hal kecil di sekitar. Sampai rumah saya langsung dimarahi emak karena dari awal sampai sampai pulang saya tidak mengabari sekali pun. Saya pulang dengan empat jari tangan dan kaki yang terkena cantengan dan beberapa luka serta lebam di bagian tubuh. Beserta baju penuh lumpur dan sepatu yang rusak (Emak saya ngomel lagi).Â
Tapi di luar itu, saya bisa merasakan efeknya ketika pulang dari diklat, mengangkat carrier 80l tidak lagi membuat pundak saya ingin lepas. Dan yah, ada kesenangan tersendiri yang saya dapat. I loved it.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H