Mohon tunggu...
Teguh Wiyono
Teguh Wiyono Mohon Tunggu... Freelancer - Terus Tegak Berdiri

I'm nothing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Slametan dalam Adat Budaya Jawa

22 Desember 2021   18:50 Diperbarui: 22 Desember 2021   19:15 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi diambil dari https://commons.m.wikimedia.org/wiki/File:Slametan_nyewu.jpg

Dalam sistem kebudayaan Jawa ada sebuah upacara kecil, sederhana, dan mengandung makna kebatinan bagi masyarakat yang sering disebut slametan. Slametan merupakan upacara persembahan (aneka makanan: tumpengan, ingkung, buah-buahan, sayuran) sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan agar segala harapan dan keinginan terkabulkan. 

Di era modern saat ini, sebagian besar masyarakat Jawa masih mengaplikasikan kebudayaan ini dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai didalamnya, sebab slametan tidak hanya hubungan antara manusia dengan Tuhan tetapi juga antara manusia dengan manusia. Kebudayaan ini sangat efektif dalam menjaga kerukunan masyarakat sehingga terwujud sifat sosial yang baik.

Di kota tradisi slametan secara tradisional menurun karena dianggap kurang efisien sebagai mekanisme integrasi dan kurang memuaskan bagi sebagian warga kota yang disebabkan perubahan pola kehidupan warga kota. 

Perubahan pola kehidupan di kota bisa disebabkan karena rutinitas kerja menjadikan waktu yang dimiliki sedikit, luas rumah dan halaman tidak seperti di desa, dan tidak semua waktu istirahat untuk kegiatan sosial warga kota sama karena kerja shift. 

Pada akhirnya slametan di kota tidak benar-benar hilang, sebab warga kota mengganti tradisi slametan menjadi lebih modern berupa sedekah walaupun ada sedikit penurunan secara sosial dalam lingkup kecil (bertetangga).

Slametan biasanya diadakan sore hari setelah matahari terbenam atau setelah maghrib. Apabila kegiatannya khitanan, ganti nama, panen raya, atau pernikahan tuan rumah meminta tetua atau pemuka agama untuk menentukan hari baik menurut kalender Jawa. 

Kalau kelahiran atau kematian maka slametan tidak harus ditentukan hari baiknya dan bisa dilakukan saat peristiwa itu terjadi. Siang hari perempuan bekerja menyiapkan hidangan dan ubo rampenya. Ubo rampe adalah segala sesuatu untuk  yang dibutuhkan untuk melengkapi hidangan tersebut.

Upacara komunal slametan hanya dilakukan oleh wong Lanang (pria) dan wong wadon (wanita) tinggal di mburi (belakang atau dapur). Acara ini dihadiri tetangga terdekat dan dipimpin oleh modin (tetua atau tokoh agama) untuk memimpin doa. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun