Negeri di Atas Awan
[caption id="attachment_324684" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]
Sore hari,..
Aku sampai di kotamu saat langit terjatuh,
Hampir mencium puncak gunung yang aku pandang dari kejauhan,
Awan bergulung, pada hening biru pucuk cemara,
membawa aroma wangi tanahmu,
aroma tanah syurga.
Remang lampu jalanan di lereng bukit,
Kepul dapur, kepul tembakau.
Tang – ting pande besi bertabuh,
Mengasah karat menjadi penyayat,
Di liku jalan menuju rumahmu,
Aku tersesat.
Aku lupa mengeja aksara pada papan panah,
Negeri ini terlalu melimpah,
Bukankah akasia ini dahulu hanya ilalang?
Bukankah randu di teras rumahmu dahulu hanya perdu?
Mantra apa yang kau jinakkan untuk bumi,
Hingga negerimu seperti tanah syurgawi?
Di simpang jalan aku kembali tersesat,
Seorang penjual kopi menawarkan secangkir kopi,
Kopi bubuk yang pernah masyhur,
Kopi bubuk yang pernah kau ramu untukku,
Setiap serbuknya mengandungi mantra cinta,
Rasa pahitnya adalah mantra do’a,
Mengajakku kembali,
Di sinilah bumi pertiwi tempatku berjanji,
Untuk tidak pernah mungkir janji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H