Anak-anak akan meniru apa yang mereka tonton. Jika tokoh-tokoh yang mereka lihat menyelesaikan masalah dengan kekerasan, maka begitu juga dengan anak-anak. Merka akan memandang semua persoalan akan dapat diselesaikan dengan kekerasan.
- Rasa takut berlebihan
TV dapat membentuk pencitraan seorang anak mengenai realitas. Terlalu sering melihat kekerasan membuat anak memandang dunia sebagai tempat yang penuh permusuhan dan tidak aman. Sehingga muncul rasa takut yang berlebih pada anak. Anak akan mudah merasa cemas bahkan menimbulkan trauma terhadap kekerasan yang ia lihat.
George Gerbner dari University of  Pennsylvania menyebutnya "Sindrom dunia yang picik". Dimana orang yang terkena sindrom ini percaya bahwa kekerasan dan kejahatan merupakan bagian yang melekat pada dunia.
Gerbner yakin bahwa anak-anak tidak punya cukup informasi tentang dunia nyata sehingga mereka tidak mampu menempatkan apa yang mereka lihat dalam perspektif yang sebenarnya.
Apa yang orang tua dapat lakukan?
Ada banyak cara yang dapat dilakukan para orang tua untuk mengurangi dampak psikologis kekerasan adegan TV terhadap anak.
- Batasi aktivitas menonton televisi
- Evaluasi acara yang ditonton anak
- Jelaskan mengapa anak tidak boleh menonton TV dalam waktu yang lama
- Cegahlah anak yang masih berusia pra sekolah untuk menonton berita yang mengandung unsur kekerasan
- Mengajarkan kemampuan menonton secara kritis dalam artian mampu membedakan antara dunia nyata dan tidak.
- Jelaskan apa yang dilakukan para tokoh dalam cerita yang ia tonton
- Mendampingi anak ketika menonton
Kemajuan teknologi yang semakin pesat dengan sangat mudah bagi anak untuk mengakses konten kekerasan media. Dengan demikian, sudah menjadi tanggung jawab orang tua dalam mengawasi dan mengontrol anak dalam mengkonsumsi media tontonan serta memberikan edukasi penggunaan media yang baik pada anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H