The Dropout merupakan sebuah miniseri yang tayang di layanan streaming film Hulu dan Disney+ Hotstar, menceritakan kisah nyata dari seorang Elizabeth Holmes dan skandal yang menimpa startup diagnostik medis miliknya yakni Theranos.Â
Dalam delapan episode yang disajikan, The Dropout berfokus pada kronologi Elizabeth Holmes dalam mendirikan Theranos yang dijelaskan secara sistematis, dimulai dari ide dan niat yang positif, hingga akhirnya berubah menjadi bumerang bagi Elizabeth sendiri dan orang-orang yang terlibat didalamnya.Â
Dalam miniseri ini juga terdapat plot hubungan asmara antara Elizabeth dengan Sunny Balwani, dan hubungan antar keduanya cukup esensial dalam perkembangan skandal Theranos, sebab Sunny sendiri dulunya menjabat sebagai kepala operasi (chief operating officer) Theranos.
Who Is Elizabeth Holmes?
Elizabeth Anne Holmes adalah pendiri sekaligus CEO dari sebuah startup diagnostik medis yaitu Theranos (Therarapy and Diagnostic).Â
Forbes pernah menyebutnya sebagai miliarder wanita swadaya termuda di dunia dengan kekayaan senilai $4,5 miliar pada tahun 2014, yang mana saat itu Elizabeth masih berusia 30 tahun.Â
Elizabeth juga kerap menghiasi sampul buku Fortune dan Forbes, kemudian menjadi pembicara di TED Talk, dan juga berbicara di panel bersama dengan Bill Clinton dan Jack Ma dari Alibaba.Â
Dari berbagai pencapaian Elizabeth tersebut, cukup jelas seberapa besar sosok Elizabeth dan pengaruhnya saat itu. Namun, siapa sangka, Elizabeth Holmes yang berhasil mencapai kejayaannya di usia muda melalui Theranos.
Justru saat ini sudah dinyatakan bersalah atas kasus penipuan dan persekongkolan. Adapun kasus tersebut merupakan ekor dari permasalahan startup diagnostik medis yang didirikannya.
The Beginning of The Story
Saat kuliah, Elizabeth mengejar gelar teknik kimia di Stanford University. Saat duduk di bangku perkuliahan tersebut, Elizabeth termasuk mahasiswa yang aktif dan cerdas.Â
Selama liburan musim panas dari studinya di Stanford, Elizabeth mengisi waktunya dengan bekerja di Genome Institute of Singapure untuk mengerjakan chip komputer yang dirancang untuk mendeteksi keberadaan virus SARS dalam tubuh.Â
Dari kesempatan bekerja tersebut kemudian Elizabeth tertarik untuk mengembangkan perangkat medis yang lebih efisien yaitu Theranos.Â
Theranos merupakan gagasan dan ide Elizabeth untuk menciptakan sebuah perangkat diagnostik medis melalui pengujian darah. Akan tetapi di tahun kedua studinya, Elizabeth memutuskan untuk meninggalkan Stanford (dropout) untuk meluncurkan Theranos.Â
Adapun keputusan yang diambilnya tersebut terinspirasi dari kisah tokoh-tokoh sukses dan kaya yang memilih dropout dari kampus, seperti Steve Jobs, Bill Gates, Elon Musk, Mark Zuckerberg, dan masih banyak lagi. Yang mana, Elizabeth muda sangat mengidolakan sosok Steve Jobs, pendiri Apple.Â
Menurut saya, keputusan Elizabeth untuk dropout dari kampus merupakan keputusan yang kurang tepat. Sebab, untuk mengembangkan bisnis di bidang kesehatan, saya rasa butuh ilmu yang matang mengingat hasil dari ide bisnis Elizabeth tersebut (Theranos) akan didistribukan dan berdampak bagi kesehatan banyak orang.Â
Jika ilmu yang diemban masih kurang, perangkat kesehatan tersebut dapat berbahaya bagi kesehatan manusia (bisa jadi salah diagnosis, ataupun hal buruk lainnya). Dua tahun pendidikan rasanya ilmu yang didapatkan masih kurang untuk berani menciptakan suatu bisnis yang besar.
Theranos
Dibalik keputusan dropout yang dinilai kurang tepat, dapat diakui bahwa ide dan konsep Theranos yang digagas Elizabeth cukup inovatif, revolusioner, dan bermanfaat bagi dunia medis.Â
Theranos merupakan sebuah perusahaan yang difokuskan untuk mengembangkan layanan pengujian laboratorium minimal invasif (meminimalkan luka). Perbandingan antara proses Theranos dengan tes darah pada umumnya yaitu, tes darah pada umumnya mengandalkan penarikan 5-10 ml darah melalui jarum besar untuk mengisi satu tabung untuk setiap tes yang diminta oleh dokter.Â
Proses tersebut acap kali menyakitkan bagi pasien dan mahal bagi operator asuransi, dan para ahli khawatir bahwa prosedur tersebut terasa berat bagi pasien yang masih belia, lansia, atau yang memiliki rasa takut berlebih terhadap jarum suntik.Â
Di sisi lain, proses Theranos hanya membutuhkan sampel yang jauh lebih kecil/sedikit (hanya membutuhkan beberapa tetes diambil dari tusukan jari) sudah cukup untuk menyediakan bahan baku tes diagnostik perusahaan, dan tentunya jauh lebih tidak menyakitkan dan lebih murah dibandingkan tes darah biasanya. Elizabeth juga mengklaim bahwa tes ini dapat secara instan mendeteksi kondisi medis seperti kanker dan kolestrol tinggi.
Elizabeth mengembangkan Theranos dengan mengamankan pendanaan perusahaan dari investor. Para investor dijanjikan untung yang besar oleh Elizabeth, sehingga Theranos berhasil menarik banyak investor dan mampu mengumpulkan lebih dari US$ 700 juta dari venture capital dan private investor.Â
Terdapat deretan nama orang-orang yang berkuasa dan memiliki jabatan ikut tertarik berinventasi di Theranos tanpa melihat rekening keuangan yang diaudit. Adapun tokoh tinggi yang kerap mendukung yaitu Menteri Keuangan AS George Schultz, Rupert Murdoch, dan keluarga terkaya Amerika, keluarga Walton.
Namun dibalik kekayaan dan kesuksesan tersebut, Elizabeth tidak berterus terang bahwa teknologi Theranos yang dihasilkannya melalui Theranos tidak berfungsi.Â
Pada kenyataannya, teknologi Theranos telah gagal sedari awal dan tidak layak didistribusikan serta diujicobakan oleh manusia sebab diagnosisnya tidak valid sehingga dapat membahayakan.Â
Singkatnya, hal tersebut dapat dikatakan sebagai manipulasi data. Bahkan, Ian Gibbons, kepala ilmuwan di Theranos dan salah satu karyawan pertama perusahaan, telah memperingatkan Elizabeth bahwa tes belum siap untuk diuji publik, dan ditemukan ketidakakuratan dalam teknologi tersebut.Â
Selain itu, Elizabeth berusaha menggaet dan meyakinkan investor serta tokoh-tokoh tinggi supaya dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadapnya. Akan tetapi, Elizabeth sendiri belum bisa memberikan wujud nyata dari teknologi Theranos yang dimaksudkan kepada investor. Progres dari Theranos pun tidak jelas.
Pada 2015, The Wall Street Journal, salah satu surat kabar harian internasional yang diterbitkan di New York City, New York, mempertanyakan keefektifan dan keefisienan dari teknologi yang digunakan Theranos, dan mengungkapkan bahwa Theranos telah menggunakan mesin dari perusahaan lain.Â
Selain itu, The Wall Street Journal, The Washington Post, dll juga berpendapat bahwa kompetensi dari perangkat pengujian medis utama Theranos, yakni Edison, terlalu dilebih-lebihkan sebab perangkat medis tersebut hanya digunakan untuk sebagian kecil dari pengujian perusahaan.
Kemudian pada 2016, Forbes merevisi jumlah kekayaan bersih milik Elizabeth menjadi $0, hal ini buntut dari munculnya berbagai pertanyaan serius terkait praktik bisnis Theranos dan banyaknya penyelidikan dari agen federal atas laporan-laporan yang masuk. Dengan kata lain, kekayaan menurun secara drastis.
Pada Maret 2018, Komisi Sekuritas dan Bursa AS (SEC) mendakwa Elizabeth Holmes dan kekasihnya, Sunny Balwani, atas penipuan yang telah mengambil lebih dari $700 juta dari investor sembari mengiklankan produk palsu.Â
Elizabeth dan Sunny telah menipu pasien, mitra, investor, dan karyawan tentang perkembangan perusahaan dan kemampuan teknologi Theranos. Pada tahun yang sama, Elizabeth Holmes mengundurkan diri dari Theranos, dan Theranos berhenti beroperasi.
Pada Agustus 2021, Elizabeth Holmes diadili di pengadilan federal atas 11 dakwaan penipuan, kemudian pada 3 Januari 2022 Elizabeth Holmes dinyatakan bersalah atas empat dari 11 tuduhan penipuan.Â
Elizabeth Holmes, yang pernah menyandang status wanita terkaya di dunia, terbukti bersalah menipu investor mengenai efektifitas alat tes darah buatan perusahaannya.
Moral of The Story
Theranos pada dasarnya merupakan sebuah ide dan langkah yang baik bagi dunia medis, namun dalam prosesnya terkesan terlalu terburu-buru dan lebih mengutamakan keuntungan dibandingkan manfaat. Kiranya ini dapat menjadi pembelajaran bagi kaum muda supaya lebih mawas diri, rendah hati, dan senantiasa menikmati proses dalam menggali ilmu.Â
Ambisi yang kita punya memang kerap kali menjadi dorongan untuk mencapai target atau keberhasilan, namun di sisi lain juga dapat menjadi ancaman bagi diri sendiri. Terlebih di era modern seperti saat ini, kaum millenial hingga Gen Z diterpa sederet kisah kesuksesan yang berhasil dicapai di usia muda. Untuk itu, kita perlu menyeimbanginya dan mengontrol diri. choose the right path and enjoy the proccess.Â
Disamping kisah kesuksesan Steve Jobs yang memilih dropout dari kampusnya, kisah Elizabeth Holmes justru memberi pesan moral bahwa tidak semua entrepreuner yang memilih dropout dari universitas berakhir dengan kesuksesan. Berambisilah tanpa perlu menjadi obsesif, it's help you a lot to avoid feeling depressed and uncontrollable emotions.
"Don't be in a hurry to turn the page. Live and experience the current phase of your life with ease and calm. The page will anyway turn by itself."Â Hiral Nagda.
References
https://www.britannica.com/biography/Elizabeth-Holmes
https://www.forbes.com/profile/elizabeth-holmes/?sh=38a2227b47a7
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H