Mohon tunggu...
aisyah zhafirah
aisyah zhafirah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

without Allah we're nothing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

The Answer

29 Juni 2024   09:38 Diperbarui: 29 Juni 2024   09:57 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ia berlari kecil menuju balkon atas sambil tersenyum, seperti biasa di sana sudah tersedia buku dengan pena imut berbulu, juga secangkir Energen yang masih mengepulkan asap pertanda seseorang baru saja menyeduh untuknya.

Hari ini tak seperti biasa, ia tak sedang ingin melanjutkan bait-bait dongeng yang selalu digelutinya setiap waktu, terlihat jelas sebab buku ini bukan seperti buku yang biasa ia pakai untuk merangkai sinopsis-sinopsis yang berseliweran di otaknya. Sebab, buku di depannya saat ini berisikan garisan-garisan saksi perjalanan, perjuangan, serta memori-memori hidup yang tersusun rapih di setiap lembaran. Yah benar itu diary, diary lama yang nyaris terbuang saat ia dan keluarganya memutuskan untuk pindah ke rumah baru yang cukup jauh dari hunianya saat ini. Ia membolak-balikan setiap lembaran-lembaran sembari sesekali tersenyum kecil. Tidak ada yang begitu menarik, karna ia adalah pelaku dari sinopsis-sinopsis itu, sebelum akhirnya ia membuka lembaran ke 13.

Hay diary apa kabar? Hahaha hari-hari yang memuakkan, bagaimana bisa keluarga ini berlagak bahagia? Hei bukanya anak pun punya hak-haknya? mulai sekarang aku putuskan lebih baik tidak memiliki ayah sekalian, untuk apa memiliki ayah jika sosoknya pun hanya bisa di lihat di layar hp? kalau hanya sekedar memberi uang mungkin paman lebih cocok menjadi ayah buatku wkwkwk huftt... tetap sajaa, kapan yah ayah pulang.

Ia terpaku, mungkin tulisan ini sudah terlampau lama membuatnya sedikit lupa pernah menulis itu semua. Ia membuka lembar selanjutnya, terkejut sebab di lembaran itu bagian bawah sekali tertulis    "Maafkan ayah yaah, ayah akan berusaha." dengan tulisan yang terbilang cukup  kecil hingga harus sedikit butuh kefokusan untuk membacanya.

Deg.."Apaa ayah telah baca buku ini?" tanyanya dalam hati, sembari mengambil pena yang sedari tadi di sampingnya kemudian mulai menulis.

Hayy diary, sudah lama yaahh.. aku sedikit terkejut dengan apa yang tersimpan di dalam sana hahaha, ntahlah mungkin saat itu aku masih terlalu kecil untuk menyimpulkan sesuatu sehingga setiap kata di sana terkesan norak dan terburu-buru.. kau tauu diary, di umurku yg ke 25 ini aku menemukan ribuan jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan yang sering memenuhi kepala kuu dulu, terlalu banyak sampai membuatku bingung harus mulai dari mana.

Heyy aku ingin berkisah padamu tentang ayahku bersediakah mendengarkannya?

Dia sosok yang sama seperti sebagian ayah yang lain, bekerja untuk keluarga, kemudian perlahan menua.. namun banyak hal yang tak ku temukan darinya seperti ayah-ayah yang lain, ia tak mengantarku ke sekolah, ia juga tak menemaniku bermain sepeda, ia juga tak selalu ada di rumah seperti ayah-ayah yang lain, apalagi mengajariku tentang pelajaran-pelajaran ketika malam tiba, padahal asal kau tau ketika aku menduduki kelas 4 SD  aku  menyadari ternyata ayahku adalah orang yang pandai matematika pelajaran yang selalu membuat rangkingku terancam turun. Dia  menghitung semua dengan cepat membuat rumus-rumus yang jelas aku tak mengerti kala itu, saat itu aku mulai memintanya untuk mengajariku matematika katanya "Okee nanti malam kita belajar." Bohoong, buktinya sore pun ia sudah harus berangkat kembali ke kota yang ntah sejauh mana lagi, dan yaah itu terus terulang hingga ku putuskan untuk tidak mengharapkan waktunya lagi, namun anehnya aku selalu menunggu kedatanganya, padahal ku tau setelah itu ia akan pergi kembali, ayahku memang paling pandai membuat semua terasa menyedihkan.

Aku sering berfikir ayahku sedikit aneh, bagaimana bisa ia menyukai perpisahan, jauh dari keluarga, dan hal-hal aneh lainya. Mengapa ia tak pernah terlihat bersedih bahkan saat kami semua menangisi kepergiannya. Kakak ku yang tepat satu di atasku benar-benar berisik, ia menggedor-gedor dinding rumah memaksa ayah agar tak pergi lagi, tapi usahanya tak pernah berhasil sekali pun, ayahku tetap pergi bagaimana pun keadaanya. Kini ayah mulai menua,dan aku mulai beranjak dewasa, ajaibnya aku mulai mengerti semua keadaan yg dulu sering membuatku muak, yaaa benar saat itu aku sedih sangat sedih namun aku lupa aku tak sendiri, ayahku pun bertaruh untuk tetap tegar melihat kesedihan kami walau ia benar-benar rapuh. Ia juga selalu menepis kesepian karna jauh dari keluarga, yaa ia memang tak mengantar ku kesekolah, tak juga bermain denganku, tak pernah mengajariku hal-hal baru dan lain sebagainya, tapi ia rela tak makan pagi untuk membelikan aku sepeda, ia juga rela tidur di emperan pelabuhan agar usaha yang di bangun untuk kami berjalan lancar, ku ingat dulu aku dan adikku sangat suka nasi goreng China yang harganya memang lumayan pricey, katanya begini : " Ayah pesan dua aja yah soalnya ayah masih kenyang." bohoong, buktinya ia ikut makan dengan kami beberapa suap dari piring ku dan beberapa suap dari piring adikku, kau tau saat itu ia ingin mengambil lagi dari piringku namun ku cegah "Ahh ayah nanti habis." dia hanya tertawa kecil dan menaruh sendoknya kembali. Jangan menghakimiku, saat itu aku masih kecil untuk faham tentang semuanya, ayahku tak pernah marah ketika kami membeli segala makanan ringan yang kami mau ketika waktu belanja bulanan rumah tiba,  ia juga selalu mengusahakan kami bisa makan dengan makanan-makanan yang enak walau iya harus berpuasa di siang harinya katanya sih supaya sehat, padahal dekat ini aku tau itu semua hanya alasan belaka, kala itu ia harus masuk penjara karna beberapa masalah, namun saat aku menelfonya kau tau apa yg di tanyakan padaku, "Bagaimana nak uangnya masih ada? Kalau sudah habis langsung bilang ayah yah." heii aku tauu segalanya, aku tau dia sedang dalam kesulitan tapi ia tak pernah mau mengabaikan tanggung jawabnya, sedetik pun. Dalam segala hal aku salah, ku kira selama ini ia tak pernah sedih apalagi menangis tapi nyatanya ia selalu menangis saat sudah jauh tak terlihat, ia juga sangat merasa kesepian karna jauh dari keluarga. Kau tau, ini semua bukan pilihannya, iya tak diperkenankan untuk memilih antara berjauhan atau berdekatan dengan kami, karna apa? Karna kami membutuhkan sosok ayah sepertinya untuk masa depan kami, untuk kebaikan kami semua.

Kini aku sadar bahwa yang dulu ia lakukan adalah perjuangan, perjuangan seorang ayah.. mungkin cerita perjuangan ayah mereka berbeda, namun inilah kisah perjuangan ayahku. Ayahku, ayahmu mereka semua hebat dan luar biasa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun